
Penanganan gangguan psikologis seperti PTSD, depresi, atau OCD sering kali terfokus pada terapi standar yang selama ini digunakan secara luas. Namun, tidak semua orang merespons terapi tersebut dengan baik, terutama mereka yang mengalami trauma interpersonal sejak usia dini.
Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Anke Karl dalam One Day Workshop berjudul Measurement Research in Mood & Sleep Disorders, Depression, and Clinical Hypnosis pada Kamis (10/7), di ruang B-104 Fakultas Psikologi UGM. Workshop ini menyoroti pentingnya pendekatan baru dalam menangani trauma.
Berkolaborasi dengan Kelompok Penelitian Hypnotic Guided Imagery and Transpersonal Research Studio (HGI Studio), Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan workshop ini yang diikuti oleh total 201 peserta dari berbagai latar belakang. Peserta terdiri dari mahasiswa UGM, mahasiswa non-UGM, serta masyarakat umum termasuk pegawai UGM yang memiliki ketertarikan pada topik tersebut. Workshop berlangsung secara bauran, dengan 179 peserta mengikuti secara daring melalui Zoom dan 22 peserta hadir langsung di lokasi.
Prof. Dr. Anke Karl merupakan peneliti dan pengajar di University of Exeter yang telah lama mendalami kaitan antara trauma, regulasi emosi, dan hubungan interpersonal. Dalam pemaparannya, Karl menyoroti bagaimana pengalaman trauma yang terjadi dalam konteks hubungan interpersonal. Pengalaman tersebut seperti kekerasan atau pengabaian di masa kecil dapat meninggalkan luka yang mendalam dan mempengaruhi cara seseorang membentuk hubungan, merespons stres, bahkan menyikapi diri sendiri.
“Kalau seseorang sangat kritis terhadap dirinya, dalam situasi penuh tekanan, mereka justru makin menambah stres alih-alih menenangkan diri,” ujarnya.
Ia menjelaskan banyak penyintas trauma mengalami kesulitan membangun rasa aman dalam hubungan sosial, mereka cenderung menarik diri atau menaruh kepercayaan pada orang yang salah. “Mereka kesulitan untuk mempercayai orang lain dan saat akhirnya mempercayai seseorang, sering kali yang dipercaya justru orang yang salah”.
Merespons hal ini, Karl bersama timnya mengembangkan pendekatan yang memadukan ilmu saraf, psikologi sosial, dan fisiologi tubuh menggunakan konsep self-compassion dan secure attachment sebagai dasar. Karl menekankan bahwa intervensi yang ada tidak harus diganti, tapi perlu dilengkapi, khususnya dengan pendekatan berbasis self-compassion dan dukungan sosial.
“Sudah sejak awal tahun 2000-an kita tahu dari meta-analisis bahwa dukungan sosial adalah salah satu prediktor paling konsisten dalam kesembuhan dari trauma,” jelasnya.
Melalui ilustrasi sederhana, ia menggambarkan bagaimana bias negatif terhadap diri seringkali justru memperparah luka psikologis. “Kalau sahabatmu gagal ujian menyetir, kamu akan memeluknya dan bilang: ‘Nggak apa-apa, coba lagi.’ Tapi ketika kamu yang gagal, kamu malah bilang pada dirimu sendiri: ‘Aku payah, aku bodoh’”.
Pendekatan ini juga dibuktikan secara fisiologis. Dalam sejumlah studi eksperimental, Karl mengukur heart rate variability sebagai indikator dari kemampuan regulasi emosi. Hasilnya menunjukkan bahwa latihan seperti loving-kindness meditation dan secure attachment priming dapat meningkatkan keseimbangan sistem saraf dan menurunkan respons ancaman di otak. “Saat merasa aman, seseorang tidak hanya lebih rileks, tapi juga lebih terhubung dengan orang lain,” tambahnya.
Menutup sesinya, Karl mendorong para peserta untuk mulai menerapkan kasih sayang terhadap diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sebagai bentuk kelemahan, melainkan sebagai kekuatan untuk bertahan dan pulih dari luka masa lalu.
Penulis: Fadia Hayu Godwina
Editor: Erna Tri Nofiyana