Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Kesehatan Mental Tuli Indonesia (KMTI) menyelenggarakan pelatihan bertajuk “Bridging Minds: Pelatihan Kesehatan Mental bagi Pemimpin Tuli dan Profesional Kesehatan Mental” pada 20–21 November 2025 di Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian upaya memperkuat dukungan kesehatan mental yang inklusif bagi komunitas Tuli di Indonesia.
KMTI merupakan kelompok kerja yang sejak 2018 berfokus pada kesejahteraan mental komunitas Tuli di Indonesia. Bersama Gerkatin dan Pusbisindo, KMTI aktif mengembangkan riset, seminar, dan pelatihan yang menyoroti pentingnya akses layanan kesehatan mental yang ramah Tuli. Pelatihan ini terbuka bagi pemimpin Tuli dari berbagai komunitas serta profesional kesehatan mental, dengan dukungan dari The Starbucks Foundation, Gerkatin, Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo), dan Fakultas Psikologi UGM.
Pelatihan ini berlangsung selama dua hari dengan total peserta sekitar 30 orang. Di hari pertama, acara ini berfokus pada pemimpin Tuli dari berbagai organisasi/komunitas. Di hari kedua ditujukan untuk profesional kesehatan mental (psikolog, psikiater, konselor, dan praktisi terkait). Rangkaian sesi pelatihan dirancang untuk menggali isu kesehatan mental dalam komunitas Tuli, termasuk stigma, hambatan akses layanan, dan peran dukungan sebaya, mengulas akses layanan dan pemahaman kesehatan mental dari perspektif Tuli dan profesional, melatih komunikasi efektif dan diskusi kolaboratif antara pemimpin komunitas dan tenaga profesional, serta mengembangkan rencana tindak lanjut agar peserta dapat meneruskan inisiatif di wilayah masing-masing.
Melalui pelatihan “Bridging Minds” edisi Yogyakarta kali ini, KMTI dan Fakultas Psikologi UGM berupaya tidak hanya memberikan informasi, tetapi benar‑benar menguatkan kapasitas para peserta. Pemimpin Tuli didorong untuk menjadi garda depan pendukung kesehatan mental di komunitasnya sendiri, mereka diajak mengenali tanda‑tanda masalah psikologis, membangun jejaring dukungan, dan mengorganisir respons yang sensitif terhadap pengalaman Tuli. Di saat yang sama, para profesional kesehatan mental diajak memperdalam pemahaman tentang konteks hidup, bahasa, budaya, serta kebutuhan spesifik komunitas Tuli, sehingga interaksi klinis tidak hanya berfokus pada gejala, tetapi juga pada realitas sosial yang menyertainya. Melalui serangkaian diskusi, studi kasus, dan latihan komunikasi, pelatihan ini membekali profesional dengan pengetahuan dan keterampilan praktis untuk memberikan layanan yang lebih responsif, inklusif, dan benar‑benar aksesibel bagi klien Tuli. Keseluruhan proses dirancang sebagai ruang kolaborasi, di mana pemimpin Tuli dan profesional kesehatan mental dapat saling belajar, menyusun strategi bersama, dan memperluas jangkauan layanan kesehatan mental yang ramah Tuli di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Salah satu narasumber mengatakan bahwa bahasa isyarat merupakan hal yang penting untuk diajarkan ke orang Tuli. “Bahasa isyarat perlu diajarkan sejak dini. Ketika anak Tuli mendapatkan paparan bahasa isyarat pada usia yang sama dengan anak Dengar mulai belajar bahasa, kemampuan berbahasa mereka dapat berkembang setara,” ujar Herbert Klein, Independent Deaf Advisor in Mental Health. “Di Indonesia, bahasa isyarat belum diakui sebagai bahasa resmi. Padahal, pengakuan tersebut sangat penting untuk menjembatani klien Tuli yang mengalami masalah kesehatan mental dengan layanan yang mereka butuhkan. Banyak orang Tuli yang memiliki identitas ganda, bukan hanya sebagai Tuli, tetapi juga sebagai individu dengan kondisi seperti demensia, sehingga dukungan bahasa yang memadai menjadi kunci agar mereka benar‑benar dapat mengakses layanan kesehatan mental.” Lebih lanjut, Herbert menuturkan bahwa untuk mendukung kesehatan mental Tuli secara keseluruhan, perlu adanya dukungan dari banyak pihak.

Seluruh sesi dilaksanakan dengan dukungan juru bahasa isyarat dan materi pelatihan yang diadaptasi agar dapat diakses peserta Tuli secara optimal.
Pelatihan ini menghadirkan fasilitator dan narasumber dari Indonesia dan luar negeri, antara lain:
- Adhesatya Ningsih, M.Psi., Psikolog – Psikolog Klinis ANIMO
- Dr. Rivo Mario Warouw Lintouran, Sp.KJ – Psikiater dan Dosen
- Herbert Klein – Independent Deaf Advisor in Mental Health
- Dr. Sally Austen – Consultant Clinical Psychologist
Para narasumber membawa perspektif lintas disiplin dan lintas budaya untuk memperkaya diskusi mengenai praktik layanan kesehatan mental yang lebih inklusif bagi komunitas Tuli.
Melalui penyelenggaraan kegiatan ini, Fakultas Psikologi UGM menegaskan komitmen untuk mengembangkan pendidikan dan praktik psikologi yang inklusif, memperluas jejaring dengan komunitas Tuli dan organisasi masyarakat sipil, serta mendukung riset dan inovasi layanan kesehatan mental yang dapat diakses oleh semua kelompok, termasuk komunitas Tuli.
Harapannya, pelatihan “Bridging Minds” di Yogyakarta tidak hanya menjadi kegiatan satu kali, tetapi juga pintu masuk bagi kolaborasi yang lebih berkelanjutan antara dunia akademik dan komunitas dalam memperjuangkan kesehatan mental yang setara bagi semua.
Penulis: Raden Roro Anisa Anggi Dinda