 
						
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP) menjajaki peluang kerja sama melalui pertemuan yang digelar Rabu (17/9) di ruang D-506 Fakultas Psikologi UGM. Pertemuan ini membahas peluang kolaborasi terkait riset, kajian, dan model pendampingan berkelanjutan berbasis keluarga dan komunitas.
WKCP merupakan komunitas orang tua yang memiliki anak dengan Cerebral Palsy (CP) di DIY. Sejak berdiri pada 2012, WKCP aktif berbagi pengetahuan, pengalaman, serta cerita terkait penyandang Cerebral Palsy, orang tua, dan keluarga mereka.
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerja Sama Fakultas Psikologi UGM, Pradytia Putri Pertiwi, S.Psi., Ph.D., menyambut baik kolaborasi ini.
“Senang sekali, ini kalau saya bayangkan itu mimpi yang menjadi nyata. Beberapa kali diskusi, bagaimana Fakultas Psikologi ini bisa juga mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di WKCP,” ungkapnya.
Ia menambahkan, WKCP telah memberikan ruang bagi mahasiswa untuk belajar melalui kunjungan kuliah serta melakukan penelitian skripsi atau tugas akhir bersama orang tua di WKCP.
“Harapannya, kedepan tidak berhenti hanya di kajian, karena apa yang kita harapkan bersama adalah untuk kesejahteraan anak-anak kita, khususnya anak-anak dengan Cerebral Palsy secara khusus tapi juga secara lebih luas. Harapannya nanti kajian psikologi untuk teman-teman yang memiliki disabilitas bisa lebih didalami lagi di Fakultas Psikologi UGM,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua WKCP, Reny Indrawati menjelaskan WKCP kini telah menjangkau lebih dari 300 keluarga di DIY, serta beberapa daerah lain seperti Sumatera dan Jawa Tengah.
“Kita berusaha selalu ada riset, kemudian dari riset itu kita menghasilkan sesuatu. Sehingga sesuatu itu nanti bisa diimplementasikan oleh komunitas orang tua lain di daerah lain. Jadi praktiknya bisa dikerjakan oleh orang lain, mereka bisa sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing,” ujar Reny.
Dari survei yang dilakukan WKCP, ditemukan bahwa kebutuhan utama orang tua meliputi dukungan psikologis, informasi tentang kondisi anak CP, dan kelelahan merawat. Sedangkan tantangan anak mencakup akses terapi, pendidikan, dan dukungan sosial yang masih terbatas.
“Harapannya, untuk orang tua ada support group, ada pelatihan coping untuk stress dan parenting. Kemudian untuk penyandang CP-nya juga konseling individu dan grup, serta program keterampilan hidup dan sosial,” jelas Reny.
Penulis: Erna Tri Nofiyana
