
Sebagai bagian dari rangkaian Pre-International Course Series of the International Course on Public Mental Health, Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM menghadirkan dua pakar untuk membahas pentingnya memahami bunuh diri bukan hanya sebagai persoalan individu, tetapi juga terkait erat dengan faktor budaya, sosial, dan sistemik. Acara ini diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai kalangan secara daring, pada Jumat (19/9).
Kegiatan ini merupakan bentuk psikoedukasi yang bertujuan meningkatkan literasi masyarakat mengenai fenomena bunuh diri. Mengusung tema “Stronger Together: A Collective Journey to Prevent Suicide”, CPMH berharap peserta dapat memahami metode penanganan dan pencegahan bunuh diri berbasis sistem kolektif.
Hadir sebagai pembicara, Prof. Erminia Colucci, Ph.D., dari Middlesex University London yang memaparkan materi sekaligus memperkenalkan bukunya berjudul Suicide and Culture 2.0: Understanding the Context. Ia menegaskan bahwa bunuh diri tidak dapat dipandang hanya sebagai persoalan individu, melainkan juga terkait erat dengan faktor budaya, norma sosial, hingga sistem yang melingkupinya.
“Bunuh diri merupakan salah satu dari 20 penyebab utama kematian di seluruh dunia, namun masih dianggap tabu di banyak masyarakat,” ungkap Colucci.

Ia menambahkan, “Faktor-faktor budaya, sistem makna dan keyakinan, tidak boleh diabaikan dalam penelitian dan pencegahan bunuh diri karena faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara orang menghadapi bunuh diri, baik dalam kehidupan mereka sendiri maupun dalam kehidupan orang lain”.
Sementara itu, Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog, menekankan pentingnya memperkuat sistem dukungan, baik internal maupun eksternal, dalam upaya pencegahan bunuh diri di Indonesia. Ia menyoroti bahwa pendampingan pascakrisis perlu difokuskan pada penanaman harapan, peningkatan kepercayaan diri, serta memperhatikan sensitivitas budaya serta nilai agama.
“…yang paling penting itu instilling hope. Kita harus membuat dia merasa percaya diri, memiliki keterampilan mengatasi stres, dan didukung oleh keluarga maupun komunitas,” jelasnya.
Diana juga mengingatkan bahwa stigma justru dapat memperburuk penderitaan. Ia mencontohkan pendekatan berbasis Islam yang menekankan kasih sayang dan pengampunan, serta menyoroti kerentanan remaja akibat media sosial, krisis identitas, hingga toxic positivity dari lingkungan sekitar. “Anak-anak ingin sekali didengar. Jangan buru-buru menyuruh mereka bersyukur, karena itu bisa membuat mereka makin bersalah dengan emosinya,” tegasnya.
Kedua pembicara menegaskan bahwa pencegahan bunuh diri bukanlah tugas individu semata, melainkan tanggung jawab kolektif. Melalui penguatan sistem kesehatan mental yang peka budaya dan penuh empati, diharapkan semakin banyak nyawa yang dapat diselamatkan.
Penulis: Fadia Hayu GodwinaEditor: Erna Tri Nofiyana