
Center for Indigenous and Cultural Psychology(CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar Angkringan CICP yang ke-18 pada hari Jumat (14/02) dengan tema “Young Men Navigating Pathways to Livelihood in Resettlements of West Kalimantan, Indonesia”. Diskusi ini diangkat dari hasil penelitian etnografi yang dipimpin oleh Dr. Wenty Marina Minza mengenai kehidupan pemuda di daerah pemukiman baru (resettlement) di Kalimantan Barat. Tamu Angkringan 18 ini adalah Lana Savira, mahasiswa Magister Psikologi UGM sekaligus asisten penelitian dalam kelompok penelitian etnografi Kalimantan Barat CICP.
Angkringan ke-18 ini membahas perjalanan pemuda dalam membangun jalan hidup dan masa depannya di daerah pemukiman baru pascarelokasi imbas konflik di Sambas 1999. Tim penelitian menyoroti bagaimana stigma terhadap orang Madura masih cukup kuat di masyarakat. “Bicara tentang Madura di sini menarik, ada sentimen terhadap orang Madura yang dianggap kasar, suka carok, rusuh, dan sebagainya. Stigma terhadap orang Madura masih melekat,” ujar Lana.
Berangkat dari keingintahuan terhadap kehidupan orang Madura Sambas 20 tahun setelah kerusuhan terjadi, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemuda Madura Sambas menavigasi tantangan serta mencari mata pencaharian di tengah kondisi yang tidak selalu berpihak pada mereka. Lana menjelaskan bahwa meskipun dua dekade sudah berlalu, setelah kerusuhan terjadi, para pemuda Madura Sambas masih kesulitan mencari pekerjaan karena sudah kalah terlebih dahulu dari mereka yang memiliki orang dalam.
Ia juga menekankan bahwa perjalanan hidup mereka tidak bisa dilihat secara linear. “Orang-orang Madura, terutama pemuda, tidak bisa dilihat dalam rentang secara umum karena ada konteks yang harus dilibatkan disana. Mereka menghadapi realitas yang lebih lebih kompleks, dari anak-anak bisa langsung beralih ke tahap dewasa. Setelah lulus SMA, mereka langsung dituntut untuk ikut andil dalam mengurus finansial keluarga,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa sejak lahir, pemuda Madura Sambas sudah menghadapi beberapa identitas rentan sebagai triple minority. Mereka bukan hanya bagian dari kelompok Madura yang sering mendapat stigma tertentu, tetapi juga mantan pengungsi, serta anak muda dalam masa transisi yang kerap dianggap belum dewasa. Maka dari itu, penelitian ini tidak hanya fokus pada transisi dari pendidikan ke pekerjaan, tetapi juga melibatkan konteks budaya yang melingkupinya.
Selain faktor identitas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa akses ke pekerjaan formal bagi pemuda Madura Sambas sangat terbatas, terutama karena pemuda tidak mendapat pendidikan tinggi. Akibatnya, mayoritas dari mereka hanya bisa mengisi pekerjaan-pekerjaan di sektor informal. Untuk menghadapi tantangan ini, penelitian mengungkap bahwa banyak pemuda Madura Sambas memilih bermigrasi ke luar negeri demi mencari pekerjaan, baik secara legal maupun ilegal. Selain itu, mereka juga membangun persepsi bahwa mereka adalah “generasi perintis”. Tugas utama mereka sebagai generasi perintis meliputi mengamankan hubungan berbasis etnis melalui berbagai cara yang memungkinkan, menciptakan orang dalam sendiri, dan menjadi orang dalam untuk memberikan akses bagi generasi mendatang untuk menjadi bagian dari sistem.
“Para pemuda Madura Sambas menavigasi jalur menuju mata pencaharian dengan membangun identitas sebagai generasi perintis. Identitas ini dibentuk dari aspirasi dan imajinasi sehingga menciptakan harapan kemajuan di masa depan. Mereka perlahan-lahan membuka jalan bagi generasi berikutnya dari Sambas Madura. Tentu, tujuan akhirnya nanti, tidak hanya untuk mencapai stabilitas ekonomi semata, tetapi juga untuk diakui sebagai setara,” tutup Lana dalam sesi diskusi tersebut.
Penulis: Anargya Salung Narda Prastya