Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menggelar Angkringan 11 bertajuk “Narasi Kecantikan Nusantara sebagai gerakan Feminisme Poskolonial” pada hari Jumat, (30/8). Webinar yang digelar secara online ini membahas secara detail pengaruh kolonialisme dalam membentuk standar kecantikan perempuan Indonesia.
Hadir sebagai narasumber alumni Fakultas Filsafat UGM, Antika Widya Putri. Antika mengatakan, “Kolonialisme menjadi salah satu fenomena historis yang paling berpengaruh bahkan sampai saat ini karena meninggalkan jejak mendalam, salah satu pengaruhnya yakni dalam hal penentuan standar kecantikan”.
“Awalnya, karya kesusastraan jawa Sragen Dini pada abad ke-19 mendefinisikan kecantikan perempuan Indonesia dengan rambut hitam berkilau, kulit kuning bersih, dada bidang, dan leher jenjang. Namun hal itu berubah saat masa kolonialisme, dimana standar kecantikan menjadi berkulit putih bersih, bertubuh langsing, tinggi semampai, dan berhidung mancung. Hal tersebut diperkuat dengan data ZAP Beauty Index 2020 yang menyatakan bahwa 82.5% responden perempuan di Indonesia memiliki kepercayaan bahwa kulit bersih, cerah, dan glowing merupakan definisi dari cantik,” lanjut Antika.
Standar kecantikan yang berkiblat pada Barat memberikan efek negatif bagi perempuan Indonesia. Antika menjelaskan, “Perempuan Indonesia yang tidak memenuhi standar kecantikan merasa terdiskriminasi. Oleh karena itu, mereka berusaha lebih keras lagi untuk memaksa tubuhnya menjadi cantik melalui treatment-treatment yang terkadang justru berakibat buruk bagi kesehatan fisik. Padahal sebenarnya, kecantikan Timur memiliki keunikan dan pesona tersendiri. Selain itu, kecantikan Timur semakin disempurnakan oleh tingkah laku yang baik, sopan, serta selalu menjunjung tinggi keselarasan antara jiwa dan raga. Kecantikan Timur perlu dibanggakan karena menyangkut representatif keragaman dan keunikan”.
Antika memberikan saran yang dapat diterapkan agar masyarakat Indonesia kembali menjadikan standar kecantikan nusantara sebagai kiblat, “Kita perlu meningkatkan kesadaran dan sosialisasi mengenai kecantikan yang beragam, membangun solidaritas dan dukungan antar perempuan dalam menghadapi tekanan dan ekspektasi mengenai penampilan, dan mendukung inisiatif dan upaya yang bertujuan untuk merangkul keberagaman dalam industri kecantikan dan media”, pungkasnya.
Penulis : Relung Fajar Sukmawati