Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Theory Building Training (TBT) berupa diseminasi penelitian berjudul “Etnografi dalam Psikologi: Refleksi dari Penelitian Relasi Antarkelompok di Kalimantan Barat”, Jumat (12/01).
Peneliti utama sekaligus Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Kerja Sama Fakultas psikologi UGM, Dr. Wenty Marina Minza, S.Psi., M.A., menyampaikan pengalaman dan refleksinya selama dibimbing oleh akademisi antropologi saat menempuh pendidikan S1 dan S2, hal tersebut membuat Wenty menjadi mahasiswa hybrid yang menekuni psikologi dan antropologi.
“Penelitian saya, baik thesis, disertasi, maupun saat mengikuti Program Riset Kolaborasi Indonesia (RKI) berfokus di daerah Kalimantan Barat, khususnya Pontianak. Khusus pada studi RKI, kami meneliti tentang meta-beliefs pada kelompok pendatang Madura-Sambas dengan pendekatan etnografi. Pemilihan etnografi bukan hanya karena konteks kultural saja, melainkan juga karena keinginan untuk betul-betul memahami apa yang terjadi di komunitas tujuan,” ujar Wenty.
Wenty memaparkan gambaran temuan penelitian, “Kelompok Madura-Sambas mendapatkan julukan Orang Barak dan tuduhan-tuduhan kriminal, hal tersebut diiringi oleh counter-narrative bahwa kelompok Madura-Sambas adalah kelompok yang agamis dan berjasa dalam pembangunan dan pengembangan di tanah relokasi. Dengan demikian, meta-belief negatif ternyata justru menimbulkan counter meta-belief positif. Kesimpulannya, etnografi memiliki potensi secara metodologis untuk mengembangkan kajian-kajian dalam psikologi”.
Dalam menjalankan penelitian, Wenty turut dibantu oleh asisten lapangan, yaitu Sofyan Hadi Surya, S.Psi., M.A., Lu’luk Syahrul Kamal, S.Psi., dan Niken Nahesti, S.Pd. Masing-masing asisten lapangan mendapatkan kesempatan untuk menceritakan pengalaman penelitiannya di TBT ini.
“Selama pengambilan data, kami senantiasa membawa buku monyet, pena, dan ponsel untuk mencatat sekaligus memotret data verbal dan visual yang didapatkan. Kami sempat mengalami penolakan, tetapi Alhamdulillah seiring bergantinya waktu kehadiran kami dapat diterima dengan baik oleh masyarakat,” ucap Sofyan.
“Kami berusaha mendekati masyarakat dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti ikut mengajar PAUD, hadir di acara tahlilan, dsb,” jelas Niken.
“Awalnya, tentu saya sempat merasakan culture shock namun tidak berlangsung lama. Dalam berbaur dengan masyarakat, kita membutuhkan fleksibilitas dan melepaskan nilai dan identitas pribadi. Saya merefleksikan bahwa tema-tema psikologi ternyata dapat dipahami melalui kerja lapangan. Bukan hanya data mengenai dinamika psikologis, tetapi juga bisa melihat perilaku yang berkaitan dengan budaya dan lingkungan dimana masyarakat tinggal,” terang Lu’luk sekaligus sebagai penutup dalam acara ini.
Penulis: Relung