Angkringan 10 : Dekolonisasi dalam Narasi Hubungan Makassar-Marege di Indonesia dan Australia

Menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78, Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan Angringan 10 bertajuk “Dekolonisasi dalam Narasi Hubungan Makassar-Marege di Indonesia dan Australia. Webinar online yang diadakan pada hari Jumat (16/08) ini mengundang Co-founder Marege Institute, Fikri Yathir, sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman refleksivitasnya dalam memilih dan memilah sumber, data, dan temuan dalam penelitian dengan isu dekolonisasi.

Fikri membahas pentingnya perspektif dalam memahami dekolonisasi, “Perspektif berbeda dengan representatif. Representatif cenderung memandang hal fisik yang tampak sebagai perwakilan dekolonisasi, sementara perspektif melibatkan sudut pandang tertentu untuk memahami atau memaknai sesuatu dengan menyimak teks dan konteks”.

Aspek pengakuan juga penting dalam kajian dekolonisasi, Fikri menjelaskan, “Dekolonisasi tidak resmi terjadi tanpa adanya pengakuan dan keberpihakan. Contoh sederhana adalah pengakuan suku Amborigin di Australia dengan mengibarkan bendera Amborigin di hampir semua gedung-gedung pemerintahan”.

“Dalam konteks narasi hubungan Makassar-Marege di Indonesia dan Australia, saya mengangkat cerita Saribanong yang berkontribusi mempertemukan dua negara lagi pada tahun 1986 setelah 79 tahun tidak berinteraksi sejak berlakunya peraturan pemerintah yang menetapkan pajak bagi pelaut yang memasuki pelayaran teripang. Sayangnya, cerita tentang Saribanong tidak pernah ada di literasi manapun,” lanjut Fikri.

Aspek terakhir yang tidak kalah penting dalam diskursus dekolonisasi adalah kurasi. Fikri menerangkan, “Hal pertama yang saya kurasi adalah diri sendiri karena saya berperan sebagai orang Makassar sekaligus peneliti. Oleh karena itu, saya harus berusaha keras untuk menghulangkan bias-bias yang ada”.

“Literatur juga perlu dikurasi, mencari yang sesuai dengan topik pembahasan riset. Selanjutnya yang perlu dikurasi ada teks, konteks, History vs history, past history vs recent history, arsip empiris, dan arsip memori”.

Fikri menegaskan di akhir webinar, “Proses dekolonisasi bersifat berkelanjutan agar selalu relevant. Tugas peneliti adalah menghadirkasi narasi-narasi pembanding atau naratif karena dekolonial bukan hanya dekonstruksi namun juga rekonstruksi. Refleksi personal penting karena ini akan menentukan sudut pandang, keberpihakan, pemilihan keputusan, dan cara bekerja. Jadi tidak hanya berdampak personal tapi juga profesional”.

 

Penulis : Relung Fajar Sukmawati