Arsip:

Rilis

Kunjungan MAN 1 Jember ke Fakultas Psikologi UGM

Senin, (25/2) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapatkan kunjungan dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Jember. Kunjungan ini merupakan salah satu agenda rutin yang diadakan MAN 1 Jember bagi siswa kelas 11. Siswa yang mengikuti kunjungan ini berjumlah sekitar 130 siswa yang berasal daru Jurusan Bahasa dan IPS. Kegiatan kunjungan dilakukan di ruang Auditorium G-100 Fakultas Psikologi UGM.

Acara kunjungan diulai pukul 09.00 WIB dengan dibuka oleh Rr. Zurida Ramawati, S.IP.,M.Sc selaku Kepala Seksi Akademik dan Kemahasiswaan. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian sambutan oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kehumasan, Drs. Dardiri, M.PdI. “Pada kunjungan ini saya berharap siswa-siswi kami dapat bertanya sebanyak-banyaknya mengenai UGM dan Fakultas Psikologi”, tutur Dardiri dalam sambutannya.

Acara kunjungan ini dipandu oleh Zurida yang mengawali penjelasannya mengenai macam-macam jalur masuk UGM seperti SNMPTN, PBU, SBMPTN melalui sistem Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), dan UM. Selain itu ia juga memberikan informasi mengenai UGM dan fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya. Hal ini bertujuan agar siswa-siswi MAN 1 Jember dapat lebih memahami mengenai UGM.

Pada sesi selanjutnya acara dipandu oleh Aliyaturrahmah, S.Psi. dari unit Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM. Ia memulai sesi dengan mengajak siswa-siswi mengikuti permainan ice breaking agar mereka dapat lebih fokus mendengarkan materi yang disampaikan. Aliya melanjutkan dengan memberikan penjelasan mengenai Fakultas Psikologi terkait kegiatan perkuliahan, hal-hal yang dipelajari dan karir yang bisa didapat sebagai lulusan fakultas psikologi. “Pada saat kuliah carilah pengalaman sebanyak-banyaknya tetapi dengan tetap fokus dalam kuliah”, ujarnya untuk memotivasi siswa-siswa yang hadir. Aliya juga  banyak menjelaskan mengenai apa yang harus dilakukan agar dapat diterima di fakultas psikologi, dan cara meyakinkan diri dalam memilih jurusan.

Pada akhir sesi Agus Riyanta, salah satu staf Akademik S1 menjelaskan mengenai UKT. “UKT di Fakultas Psikologi dibagi menjadi 9 golongan, dimulai dari UKT 0 hingga UKT 8. Penentuan UKT disesuaikan dengan penghasilan kedua orangtua.” Jelas Agus. Pada pukul 11.00 WIB, kunjungan ditutup dengan penyerahan cinderamata dari MAN 1 Jember ke Fakultas Psikologi UGM. (Humas Psikologi UGM/Jehna)

Ajang Kreativitas Insan Psikologi Disuguhkan oleh PASAKRAB 2019

Kemeriahan dapat dirasakan saat persiapan event PASAKRAB yang merupakan singkatan dari Pas Ketemu Akrab. Acara tahunan yang diadakan oleh mahasiswa di angkatan-angkatan awal program sarjana ini memang selalu memiliki keinginan tersendiri. Tak terkecuali PASAKRAB yang diadakan pada tanggal 22 Februari 2019 dengan mengusung ide Karnival. Acara ini dimulai pada pukul 16.30 dan berakhir pada pukul 22.00. Bertempat di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada para penampil semua berasal dari Fakultas Psikologi semester  awal dan juga melibatkan mahasiswa dari angkatan yang sudah lama serta para alumni. Patrick Manurung Hernandez, mahasiswa semester 2 program sarjana Fakultas Psikologi UGM ini didapuk menjadi ketua pelaksana acara ini. Sebelumnya Patrick sudah sempat menangani event yang serupa dengan PASAKRAB ini yakni Pensi SMA-nya. Patrick mengaku bahwa kakak angkatannya yang memberikan kepercayaan kepadanya dikarenakan mengetahui pengalaman Patrick saat menjadi ketua acara Pensi di sekolahnya. Menurutnya, menjadi ketua acara tidak jauh berbeda dengan menjadi ketua pelaksana. Secara garis besar ketua acara mengetahui seluk-beluk acara dan managerial. Pada awalnya Patrick hanya ditawari sebagai ketua acara saja. Tetapi setelah dirinya bertanya kepada kakak tingkatnya mengenai siapa yang akan menjadi ketua pelaksana, dirinya agak sedikit menyangsikan bahwa akan sangat beresiko menyerahkan urusan pelaksanaan acara secara kseluruhan  tanpa ada basic pengalaman sebelumnya. Sehingga, ia langsung menawarkan diri dengan berani untuk menjadi ketua pelaksana. “Kakak tingkat aku, kasih tahu ke aku kalau kita punya pilihan untuk mengadakan PASAKRAB ini atau tidak, sehingga acara ini terselenggara tanpa ada paksaan dari siapapun alias merupakan kemauan kami sendiri”, Ucapnya saat ditemui beberapa jam sebelum acara dimulai. Permintaan ini langsung disambut olehnya dan teman-teman seangkatannya. Hal yang melandasi mereka menyelenggarakan acara ini adalah untuk memberikan ucapan terimakasih kepada kakak tingkat dan juga kepada Fakultas yang sudah memfasilitasi dan mengarahkan sampai di semester ini. Kondisi yang lain adalah untuk menjalin solidaritas dan keakraban seluruh insan Psikologi khususnya mahasiswa semester awal dengan para kakak tingkat dan juga para alumni. “Kreativitas seni hendak ditonjolkan di tengah kesibukan kuliah”, Pungkasnya. Sekitar 200 orang panitia terlibat dalam acara ini. Hal yang unik dari PASAKRAB tahun ini dengan PASAKRAB di tahun-tahun sebelumnya yaitu diadakannya Rumah Hantu. Patrick mengaku bahwa Rumah Hantu baru terpikirkan beberapa hari sebelum terselenggaranya acara. Walaupun acara ini sudah disiapkan jauh-jauh hari yaitu semenjak UTS di semester kemarin berlangsung. Pengisi acara ini di dominasi oleh band dari mahasiswa dan alumni. Selain itu Patrick sendiri juga mengisi acara ini. Dikarenakan dirinya juga memiliki Band. Bahkan untuk acara ini, dirinya dan Bandnya berlatih hanya 3 hari untuk menyanyikan beberapa lagu seperti lagu duet dan 2 lagu lain merupakan lagu kejutan.  Bandnya adalah penampil pertama yang akan tampil sehingga Patrick mengatakan bahwa menurutnya inilah penampilan yang ditunggu. Kesulitan saat menyelenggarakan acara ini adalah masalah komunikasi. Sampai acara ini diselenggarakan pun masih banyak miskom yang terjadi. Namun hal ini tidak menjadi kendala yang berarti karena panitia yang terlibat dapat langsung mengantisipasi. Banyaknya tantangan saat menyiapkan acara ini pun juga menjadi salah satu hal yang disukai oleh Patrick karena dengan begitu timnya dapat mencarikan alternatif yang bisa terpacu sehingga saling mengerti dan secara keseluruhan sangat senang menjalankannya. Harapan yang disampaikan pun kedepannya adalah acara PASAKRAB di Fakultas Psikologi ini bukan hanya dapat dinikmati oleh seluruh insan Psikologi namun juga bisa di rasakan dan disaksikan oleh mahasiswa di luar Fakultas atau bahkan diselenggarakan di luar kampus. Kemudian juga kedepannya diharapkan bisa menjadi mentor untuk adik-adik tingkat yang akan menyelenggarakan PASAKRAB selanjutnya.  “Semoga bisa enjoy ajah karena acara ini susah bareng seneng juga bareng semuanya dijalani bareng”, ucap Patrick. Salah satu peserta yang hadir juga mengatakan bahwa  acaranya sangat seru, yang tampil pun juga sangat menghibur. “Lumayan lah bisa refreshing dari kegiatan-kegiatan kuliah. Gak nyesel dateng kesini”, ungkap salah seorang peserta.

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Meluluskan 38 Sarjana

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada meluluskan 38 sarjana pada wisuda periode II tahun akademik 2018/2019. Jumlah lulusan laki-laki sebanyak 12 orang dan wanita sebanyak 26 orang. Pelepasan wisudawan bertempat di ruang auditorium Fakultas Psikologi setelah prosesi seremonial wisuda di Grha Sabha Pramana UGM (20/2). Jumlah lulusan berpredikat cumlaude sebanyak 10 orang dan lainnya berpredikat sangat memuaskan. Mereka yang menyandang gelar wisudawan cumlaude adalah Zafira Ayusti Abrar, Dita Permata Aditya, Rizqi Karomatul Khoiroh, Imelia Loly Wijaya, Fika Nadia Tirta Maharani, Amrina Husna Salimah, Akistya Inggamara, Hadafi Farisa Romadlon, Kukuh Rizki Widyatmoko, dan Denita Linggar Asmarani. Fakultas memberikan penghargaan kepada dua wisudawan. Pertama, Zafira Ayusti Abrar tampil sebagai peraih indeks prestasi kumulatif tertinggi yakni 3.84. Kedua Hadafi Farisa Romadlon tampil sebagai wisudawan dengan waktu studi tercepat tiga tahun tiga bulan 11 hari. Selamat dan sukses!

ICHTI 2019, Konferensi Internasional dalam Menyikapi Perkembangan Teknologi

Pada tanggal 15-16 Februari 2019, Laboratorium Mind, Brain, Behavior (MBB) bekerjasama dengan Program studi S3 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menggelar konferensi internasional di Fakultas Psikologi UGM. Konferensi bernama ICHTI (International Conference on Human Technology Interactions) mengusung tema  How The Human-Technology Interactions Shape Modern Life. ICHTI menghadirkan para ahli terkemuka seperti Prof. Elkhonon Goldberg, Ph. D. dari New York University. Prof. Byron Good, Ph. D. dari Harvard University, Prof. Joel Pearson, Ph. D dari New South Wales University, dan Prof. Jeffrey Sachs dari Columbia University. Peserta dalam konferensi ini berasal dari berbagai instansi dan Univesitas. Prof. Dr. Faturochman, M.A sebagai Dekan Fakultas Psikologi UGM beserta Galang Lufityanto, Ph. D selaku Kepala Laboratorium Mind, Brain, Behavior membuka acara dengan memberikan sambutannya. Setelah itu secara resmi acara dibuka dengan penampilan gamelan. Pada hari pertama penyelenggaraan ICHTI, Prof Elkhonon Goldberg, Ph. D dan Prof Joel Pearson, Ph. D menjadi Pembicara pertama di Executive Forum. Keduanya menyampaikan pandangannya mengenai pesatnya teknologi saat ini telah mempengaruhi perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Prof Joel Pearson Ph.D mengatakan bahwa kebanyakan manusia saat ini tidak menyadari mengenai perubahan dunia yang disebabkan teknologi. Pada saat yang bersamaan mereka khawatir dan ketakutan dengan perkembangan tersebut. “Jika teknologi diibaratkan sebuah gelombang di laut yang siap menyapu siapa saja yang ada di hadapannya maka kita selaku manusia di era teknologi ini tidak punya pilihan selain terjun ke dalam gelombang teknologi”, jelas Pearson. Sementara Prof Elkhonon Goldberg , Ph. D melihat perkembangan teknologi dari sisi yang lain. Professor di bidang Neurologi ini menyampaikan bahwa perkembangan teknologi mempengaruhi wilayah-wilayah otak manusia yang teraktifasi. Berdasarkan fakta jika dibandingkan sepuluh tahun terakhir misalnya saja dalam penggunaan cell phone saat ini meningkat tajam yaitu menjadi 67% dari pengguna populasi dunia, sementara untuk penggunaan internet juga menunjukkan hal yang serupa dimana peningkatannya menyentuh angka 49 % pengguna populasi dunia. Selain forum bersama para ahli, ICHTI juga menyelenggarakan sesi oral presentasi dari para peserta untuk dapat mempresentasikan penelitian mereka. Sesi oral presentasi sendiri dibagi menjadi 2 hari dengan jumlah 3 sesi oral. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang disebar di setiap ruangan. Hari kedua penyelenggaraan ICHTI, pada sabtu 16 februari 2019 juga tidak kalah menarik. Prof. Jeffrey Shacs tampil dengan memberikan mini seminar. Special advisor untuk UN ini menjelaskan dengan gamblang mengenai digital revolution: what kind of society will we create. Sebagai seorang ekonom, Jeffrey memberikan sudut pandang dari beragam aspek termasuk dari aspek ekonomi. Beberapa point dalam penyampaiannya adalah mengenai revolusi digital, sustainability development, dan geopolitical convergence. “Teknologi merubah banyak hal (dimensi) dalam setiap kehidupan manusia baik itu politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan lainnya “ pungkasnya. Teknologi menggeser semua hal yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Hal ini yang disebut dengan digitalisasi. Ia menambahkan bahwa digital merupakan tujuan utama dari adanya teknologi. Namun teknologi yang kita lihat saat ini baik dan tidaknya tergantung bagaimana kita yang menggunakannya. Terdapat juga sesi panel oleh Prof Byron Good dan Dr Neila Ramdhani, M.Si., M.Ed. Keduanya mendapat kepercayaan untuk membahas teknologi secara psikologis dan kesehatan mental. Prof Byron good menyoroti dari sisi psikopatologi dan mental health yang juga merupakan hasil penelitiannya di Indonesia yaitu melibatkan wilayah Jogja dan Aceh. Sementara Dr. Neila Ramdhani berbicara penggunaan Virtual Reality dalam mengatasi persoalan klinis dan mental health seperti Phobia dan gangguan kecemasan. Dari pemaparan keduanya ini dapat diambil beberapa point yang relevan dengan masalah-masalah di bidang psikologi seperti sistem mental health di Indonesia, kemudian juga mental health service yang semuanya membutuhkan dukungan dari banyak pihak.

Pakar Keluarga dari The University of Newcastle Kunjungi Fakultas Psikologi UGM

Selasa (30/1), Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapat kehormatan dikunjungi oleh pakar keluarga dari Australia, Prof. Alan Hayes. Hayes merupakan Direktur Family Action Centre (Pusat Aksi Keluarga) dan juga pengajar di Fakultas Kesehatan dan Kedokteran The University of Newcastle. Sebelumnya, Hayes pernah menjabat selama 11 tahun sebagai direktur Australia Institute of Family Studies (AIFs), yaitu sebuah pusat penelitian kepanjangan tangan pemerintah Australia yang khusus bergerak di bidang kajian kesejahteraan keluarga. Selain mengedukasi keluarga di Autralia terkait isu-isu seputar keluarga, peran AIFS lainnya adalah melakukan kajian yang dapat menjadi dasar penentuan kebijakan publik terkait keluarga di Australia (evidence-informed policy). Hayes menjadi perwakilan dari The University of Newcastle untuk melakukan pertemuan khusus dalam rangka pembahasan kerjasama antara The University of Newcastle dengan Fakultas Psikologi UGM dalam bidang Psikologi Keluarga. Ia datang ke Fakultas Psikologi bersama dengan wakil dari NIAFS (Network of Indonesia-Australia on Family Studies), Drs. Jarot Wahyudi, SH, MA dari UIN Sunan Kalijaga. Pada kunjungan ini Fakultas Psikologi UGM diwakili oleh Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, MMedSc., Ph.D., selaku Wakil Dekan bidang penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama, Diana Setiyawati, M.HSc.Psy. selaku kepala CPMH, Ph.D., Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si., dan Dr. Bagus Riyono, M.A. NIAFS merupakan jejaring baru yang diinisiasi oleh UIN Sunan Kalijaga dan The University of Newcastle untuk mendorong studi tentang keluarga di Indonesia. Fakultas Psikologi UGM, sebagai lembaga akademis yang telah berkecimpung melakukan kajian keluarga di Indonesia sejak lama, berinisiatif untuk membangun jejaring yang lebih luas dengan mengajak NIAFS UIN dan Prof. Alan Hayes berkolaborasi untuk memasifkan kajian tentang keluarga di Indonesia. Dalam hal ini, Centre of Public Mental Health (CPMH) yang juga bekerja beriringan dengan BPPM dalam mengembangkan indeks ketahanan keluarga di DIY, direkomendasikan oleh Fakultas Psikologi UGM sebagai perwakilan untuk melakukan kolaborasi dengan NIAFS UIN dan Family Action Centre, School of Health Sciences, The University of Newcastle. Harapan besar dari pertemuan ini adalah adanya kolaborasi berkesinambungan antara UGM, NIAFS dan The University of Newcastle dalam penelitian di bidang psikologi keluarga yang dapat dijadikan bahan rekomendasi pembentukan kebijakan bagi pemerintah baik daerah maupun pusat. (Humas Psikologi UGM/Jehna)

Dekan Se-Asia Tenggara Kunjungi Fakultas Psikologi

Kursus dekan se-Asia Tenggara yang dilaksanakan pada tanggal 6-9 Februari 2019 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dihadiri oleh kurang lebih 40 pimpinan fakultas dari berbagai negara kawasan Asia Tenggara. Negara yang berpartisipasi baik sebagai peserta maupun pemateri diantaranya adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Kamboja dan Jerman. Dekan dari negara-negara tersebut mengikuti serangkaian kegaiatan yang dilaksanakan 4 hari berturut-turut di UGM. Fakultas Psikologi UGM menjadi tempat pelaksanaan kegiatan pada hari ke-3 dengan agenda presentasi akhir PAPs (Project Actions Plans), yaitu rencana pelaksanaan proyek yang akan diimplementasikan di universitas masing-masing. Acara yang bertajuk Dies International Deans’ Course ini berlangsung pada hari Kamis pukul 08.00 hingga 15.00 di ruang Auditorium G-100, Fakultas Psikologi UGM. Acara dibuka oleh Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D selaku panitia acara Dies International Deans’ Course. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D, Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerjasama. Pada sambutannya Kwartarini menyampaikan “Fakultas Psikologi UGM menyambut kerjasama dengan berbagai universitas yang ingin bekerjasama baik dalam rangka penelitian maupun proyek lain. Pada acara ini kami juga mengudang peserta untuk mengunjungi pusat penelitian, dan unit-unit yang ada di Fakultas Psikologi”. Setelah acara pembukaan selesai dilaksanakan, peserta diajak untuk melanjutkan ke acara inti yaitu presentasi PAPs. Pada sesi ini peserta dibagi dalam 3 kelompok yang beranggotakan kurang lebih 10 orang peserta. Masing-masing kelompok diketuai oleh satu orang perwakilan German Academic Exchange Service (DAAD) yaitu Prof. Dr. Peter Mayer, Prof. Dr. Frank Ziegele dan Dr. rer. nat. Jutta Fedrowitz. Pada sesi presentasi, peserta menjelaskan PAPs yang sudah dibuat yang berisi kondisi dan masalah yang dihadapi di institusi masing-masing. Tiap-tiap peserta selesai melaksanakan presentasi akan dilanjutkan dengan diskusi. Sesi diskusi berperan sangat penting karena memberikan kesempatan bagi peserta untuk bertukar pendapat dan informasi. Sehingga para peserta dapat saling memberikan masukan, ide dan solusi bagi peserta lain dalam hal pengelolaan lembaga pendidikan tinggi sesuai pengalaman dan pengetahuan mereka. Setelah sesi presentasi dan diskusi usai dilaksanakan, peserta kemudian diajak untuk berkeliling Fakultas Psikologi UGM. Masing-masing kelompok mengunjungi unit dan pusat penelitian diantaranya adalah CPMH (Center for Public Mental Health), CICP (Center for Indigenous and Cultural Psychology), UKP (Unit Konsultasi Psikologi), LPKM (Lembaga Pengembangan Kualitas Manusia), UPAP (Unit Pengembangan Alat Psikodiagnostika), Laboratorium Mind, Brain and Behavior dan juga Learning Center. Pada saat kunjungan ke unit dan pusat penelitian ini Prof. Dr. Peter Mayer, pengajar dari Fakultas Manajemen Bisnis dan Ilmu Sosial, Osnabruck University, Jerman, menuturkan bahwa unit-unit dan pusat penelitian yang berada di Fakultas Psikologi sangat baik karena memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk praktik menerapkan ilmu yang dipelajari secara langsung sebelum mereka nantinya bekerja. (Humas Psikologi UGM/Jehna)

Psikologi UGM Gelar Kuliah Umum Psikologi Forensik

Psikologi forensik merupakan bidang yang baru di Indonesia bahkan dunia. Di berbagai negara tidak banyak yang mengakui profesi psikologi forensik sebagai profesi yang penting. Namun, seiring berjalannya waktu bidang psikologi forensik semakin dibutuhkan terutama dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum dan keadilan sosial. Hal itu diungkapkan oleh pakar psikologi forensik dari Maastricht University, Prof. Dr. Corine de Ruiter, pada kuliah umum di ruang Auditorium G-100, Fakultas Psikologi UGM. Kuliah umum tersebut mengusung tema “Psikologi Forensik dalam Upaya Penegakan Hukum”. Tak kurang dari 150 peserta hadir pada acara yang dilaksanakan pada hari Rabu (30/1) atas kerjasama Fakultas Psikologi UGM dengan Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR). Corine menjelakan bahwa psikologi forensik merupakan bidang yang berkaitan erat dengan hukum. Hal-hal seperti persidangan, polisi, perlindungan wanita dan anak akan menjadi hal yang biasa dihadapi oleh orang yang berkecimpung pada bidang ini. Hal tersebut yang membuat bidang psikologi forensik menjadi sangat menantang karena selain harus menguasai bidang psikologi, seorang ahli psikologi forensik juga harus menguasai bidang hukum seperti mengetahui tentang undang-undang, paham mengenai aparat hukum, memiliki banyak referensi mengenai literatur ilmiah yang berhubungan dengan tindak kejahatan dan kriminal, serta harus paham dengan instrument forensik dan cara penggunaannya. “Pekerjaan di bidang psikologi forensik harus disertai dengan tanggungjawab tinggi dikarenakan kesaksian dari psikologi forensik dapat menentukan nasib hidup seseorang, apakah seseorang itu dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum atau bahkan tidak terbukti bersalah sama sekali oleh pengadilan. Oleh karena itu asesmen yang dilakukan oleh psikologi forensik harus sangat objektif dan dijaga kerahasiaannya”, jelas Corine. Selain Prof. Dr. Corine de Ruiter, kuliah umum ini juga mendatangkan Nathanael E.J. Sumampouw, M.Psi., M.Sc, atau lebih sering dikenal dengan sapaan mas Nael, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sekaligus pakar psikologi forensik Indonesia. Nael menjelaskan bahwa peran psikologi forensik di Indonesia mulai diperhitungkan terutama dalam membantu menyelesaikan kasus yang membutuhkan pakar dari bidang psikologi di persidangan, dalam hal ini diwakili oleh psikologi forensik. Pada akhir sesi Nael mengajak mahasiswa khususnya mahasiswa psikologi untuk melakukan penelitian di bidang psikologi forensik. “Indonesia butuh banyak riset psikologi forensik agar Indonesia punya banyak pakar psikologi forensik sehingga nantinya banyak kolega yang bersedia untuk melakukan riset bersama”, jelas Nael. (Humas Psikologi UGM/Jehna)

Perbedaan Pola Dukungan Sosial dalam Masyarakat Komunal dan Non-Komunal

“Manusia tanpa interaksi sosial dapat menimbulkan masalah. Lemahnya relasi sosial dapat menyebabkan bekembangnya demensia,” ujar Yohanes Heri Widodo, Mahasiswa S3 Ilmu Psikologi UGM pada ujian terbuka untuk meraih Derajat Doktor pada Selasa (29/1) di Auditorium G-100 Fakultas Psikologi UGM. Lebih lanjut, Heri menyatakan bahwa dukungan sosial diperlukan untuk mencegah hal tersebut. Menurutnya, konsep ini sejalan dengan pola kehidupan bertetangga masyarakat Indonesia yang terkenal komunal, terutama di area perkampungan. Akan tetapi, dengan berjalannya waktu, Heri menyebut bahwa masalah muncul ketika relasi komunal mulai bergeser menjadi relasi non-komunal seiring dengan juga bergesernya bentuk pemukiman dari pedesaan menjadi perumahan seperti di perkotaan. Berdasarkan Clark & Milis (2011), relasi komunal lebih sehat secara psikologis dibanding relasi non-komunal atau yang bisa disebut pula relasi pertukaran sosial. “Semakin banyaknya relasi non komunal membawa konsekuensi melemahkan interaksi dan interdepedensi kehidupan bertetangga yang berdampak negatif terhadap psikologis dan fisik bagi individu-individu di dalamnya,” sebutnya. Heri menjelaskan bahwa pada masyarakat komunal pola dukungan sosial menjadi lebih sederhana karena tiap individu dipastikan saling mengenal, kebersamaan sangat menonjol bahkan menjadi kedekatan, serta pola relasi resiprositas muncul dan bekembang dengan lancar. Sedangkan pada masyarakat non-komunal karena tidak semua individu saling kenal pola yang sama terjadi, namun cenderung lebih kompleks dan tidak terlalu kuat. Perbedaan ciri tersebut, menurut Heri, membuat perbedaan pula pada cara pandang kedua jenis masyarakat terhadap dukungan sosial. “Masyarakat komunal menganggap dukungan sosial sebagai bagian dari interdependensi yang memunculkan adanya jaminan dan rasa aman, sementara masyarakat non-komunal menganggapnya secara fungsional dalam konteks individual,” terangnya. Selain itu, Heri menjabarkan bahwa kebutuhan akan rasa aman ditafsirkan secara berbeda oleh kedua jenis masyarakat. Masyarakat non-komunal mendapat rasa aman didapat dari adanya pagar rumah, sementara masyarakat komunal didapatkan dari relasi yang dibangun dengan tetangga sekitarnya. Heri menemukan dalam penelitian Landman (2010) bahwa pembatasan yang dibuat masyarakat non-komunal semacam itu tidak hanya akan berdampak negatif terhadap pada keberlanjutan relasi dengan masyarakat di luar perumahan. Namun, hal itu juga berdampak pada mereka yang tinggal di dalamnya. “Individu yang tidak mendapat dukungan sosial yang memadai akan meningkatkan depresi dan stres dalam dirinya. Sebaliknya, ketika mendapat dukungan sosial yang cukup, individu akan menjalani kehidupan dengan lebih positif sehingga lebih sehat tidak hanya secara psikologis, namun juga fisik,” pungkas dosen Prodi Bimbingan Konseling Universitas Sanata Dharma itu. (Humas UGM/Hakam)

Palapsi UGM Siap Taklukan Sungai di Pegunungan Alpen Eropa

Tim mahasiswa Pecinta Alam Psikologi (Palapsi) UGM siap mengarungi sungai-sungai di sepanjang pegunungan Alpen Eropa. Rencananya mereka akan melakukan pengarungan pada bulan September 2019 mendatang. Dalam ekpsedisi bertajuk 2019: A Journey Under The Alps, Palapsi akan mengirimkan lima anggotanya untuk menaklukan derasnya sungai di Pegunungan Alpen. Kelima mahasiswa tersebut Giri Putra R, Muhammad Adzkia F, Muhammad Nabhan H, Muhammad Fadhil R, dan Dita Marfuah. Project Officer XPDC 2019, Luthfi, mengatakan mereka akan melakukan pengarungan menggunakan kayak selama dua hingga tiga hari. Nantinya mereka akan menghadapi medan yang berat karena sungai yang akan dilalui memiliki karakter yang berbeda dengan sungai-sungai yang ada di Indonesia. “Sungainya berbeda dengan di Indonesia, bentukan sungai sempit ditambah suhu yang dingin menjadi tantangan dalam pengarungan mendatang,” tuturnya, Kamis (24/1). Guna mempersiapkan pengarungan di Eropa tersebut, mereka telah menjalani serangkaian latihan rutin sejak awal tahun 2018. Salah satunya melakukan latihan pengarungan di sejumlah sungai yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah, seperti Sungai Elo, Sungai Progo, serta Sungai Serayu. “Setiap akhir pekan dalam training center, para atlet turun sungai sebagai proses pematangan keterampilan dan kompetensi,” jelasnya. Dalam ekspedisi di Eropa mendatang, tim Palapsi tidak hanya akan melakukan pengarungan saja. Mereka juga akan melakukan riset tentang psikologi budaya dan sosial masyarakat Eropa yang hidup di sekitar sungai. Selain itu, juga akan mengadakan audiensi dengan komunitas kayak di Eropa untuk mempromosikan wisata sungai di Indonesia. “Kegiatan ini tidak hanya untuk memperkenalkan kegiatan kayak pada masyarakat Indonesia, tetapi juga sekaligus untuk mempromosikan kepada dunia tentang keindahan sungai-sungai Indonesia,” pungkasnya. Sebelumnya, tim Palapsi UGM juga telah berhasil menjalankan ekspedisi kayak di Selandia Baru pada tahun 2015 silam. Dalam ekspedisi bertajuk “Spirit of Kiwi Kayaking” tersebut tim Palapsi UGM sukses menaklukan ganasnya arus diantara tebing yang tinggi dan curam di sungai-sungai Selandia Baru.  (Humas UGM/Ika)

Indonesia Kekurangan Tenaga Psikologi Forensik

Indonesia saat ini masih kekurangan tenaga ahli di bidang psikologi forensik. Sementara di setiap persidangan yang menangani kasus kriminal, korupsi dan terorisme, dibutuhkan masukan dari tenaga ahli forensik untuk menjadi pertimbangan para hakim dalam menjatuhkan putusan akhir. Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi, Psikolog, menuturkan saat ini terdapat 300 anggota asosiasi psikologi forensik yang jumlahnya masih sangat terbatas dibandingkan jumlah kasus yang  harus ditangani atas permintaan pihak aparat hukum. Ia menyebutkan untuk kasus teroris saja, pihaknya sudah menangani 200 kasus terorisme. “Sekitar 200 terduga pelaku teroris yang kita rekomendasi, apakah mereka termasuk memiliki tingkat radikal yang tinggi atau tidak sehingga perlu atau tidak dilakukan deradikalisasi atau memang harus diisolasikan ke lapas,” kata Reni kepada wartawan di sela-sela kegiatan workshop Asesmen Psikologi Forensik Dalam Praktik: Studi Kasus yang diselenggarakan Fakultas Psikologi UGM bekerja sama dengan APSIFOR di ruang seminar Fakultas Psikologi UGM, Selasa (29/1). Selain kasus teroris, kata Reni, pihaknya juga diminta bantuan untuk melakukan analisis psikologi forensik untuk terduga dan tersangka kasus korupsi. Sejak 2010 lalu, sedikitnya 50-an kasus korupsi yang sudah ditangani. “Sejak kasus AU hingga SN, kita rutin membantu untuk memberikan analisis rekomendasi,” ujarnya. Menurut Reni, analisis dan rekomendasi dari tim ahli psikologi forensik sebagian sudah menjadi rujukan para hakim dalam menentukan putusan di persidangan. “Syukur alhamdulillah, rekomendasi para ahli kita cukup didengar oleh hakim,” katanya. Selain itu, pihaknya juga banyak memenuhi permintaan bantuan untuk menangani kasus lain, seperti kasus pembunuhan, pencabulan hingga kasus perkosaan. Menurut Reni, meski ia mengapresiasi langkah pihak kepolisian dan kejaksaan yang meminta bantuan mereka dalam menanganai kasus, ia mengakui keterbatasan jumlah anggota asosiasi masih ada sehingga tidak semua permintaan tersebut bisa terpenuhi. “Tidak jarang banyak kasus dalam satu bulan harus ditangani dengan orang yang sama,” katanya. Keterbatasan tenaga psikologi forensik ini diakui Reni disebabkan tidak adanya lembaga pendidikan formal yang khusus mencetak tenaga psikologi forensik, padahal bidang ini memiliki keterampilan tertentu. Menurut Reni selama ini anggota asosiasi merupakan para psikolog yang telah mendapat sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. “Meski tidak ada pendidikan formal, tidak jadi maslah yang penting kode etik psikologi selalu dikedepankan dengan mengikuti uji kompetensi dan pelatihan,” katanya Pakar Psikologi Forensik dari Maastrich University, Prof. Corine De Ruiter, Ph.D., mengatakan bidang profesi psikologi forensik merupakan bidang pekerjaan baru di dunia. Di berbagai negara, menurutnya, tidak mudah menempatkan profesi ini dalam daftar profesi yang dianggap penting dalam penanganan sebuah kasus hukum. Di Belanda, kata Corine, saat ini rekomendasi tim tenaga psikologi forensik menjadi bahan pertimbangan bagi para hakim sebelum menentukan putusan akhir bagi tersangka di persidangan.”Peran dan rekomendasi para psikologi forensik didengar untuk masukan bagi hakim apalagi pekerjaan mereka ada payung hukumnya,” kata Corine. Di negaranya, kata Corine, setiap terdakwa yang akan dijebloskan ke lapas atau dikirim ke rumah sakit jiwa sangat bergantung dari rekomendasi tim psikologi forensik. Meski tidak mengetahui lebih jauh pekembangan dan peran para tenaga psikologi forensik di Indonesia, Corine mengapresiasi dengan adanya asosiasi tersebut yang kini sudah memberikan peran di setiap kasus di persidangan, bahkan didengar masukannya bagi para hakim. Untuk mendapatkan perlindungan payung hukum dan mendapat pendidikan formal bagi profesi ini, menurutnya, sangat diperlukan oleh profesi ini di kemudian hari. (Humas UGM/Gusti Grehenson)