Pre-conference Workshop Islamic Psychology Summit (IPS) 2024 kembali digelar pada hari Jumat, (25/10). Membahas khusus tentang Maqashid Methodology dan Tazkiya Therapy, workshop ini dilaksanakan di Hotel Portal Ambarukmo Yogyakarta dan dihadiri oleh 21 peserta dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia, dan Oman.
Dr. Bagus Riyono, M.A., Psy, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligusPresiden International Association of Muslim Psychologists (IAMP), hadir sebagai narasumber untuk membahas Tazkiya Therapy. Terapi ini menawarkan pendekatan psikoterapi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan psikologi, bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memperkuat kesehatan mental. Tazkiya Therapy menjadi alternatif menarik bagi individu yang mencari solusi holistik dalam kesejahteraan psikologis dan spiritual.
Dr. Bagus menjelaskan tujuh pokok utama dalam terapi Tazkiya, “Terapi Tazkiya memandang pengetahuan sebagai obat, penyembuhan yang berfokus pada hati, penyerahan total kepada Allah, berorientasi kepada hari akhir, pembersihan hati dari obsesi material, menghormati privasi klien (tidak ada unsur pemaksaan), dan sebuah proses pembelajaran berkelanjutan”.
Lebih lanjut, Dr. Bagus juga menerangkan beberapa realita kehidupan yang perlu dipahami sebagai bahan renungan agar individu dapat terhindar dari kekacauan jiwa, “Kehidupan adalah sebuah perjalanan dari Allah dan untuk Allah, setiap manusia memiliki potensi dasar, semua individu termotivasi oleh makna, dan kehidupan selalu penuh dengan ketidakpastian yang ada kalanya mengakibatkan kecemasan”.Prof. Dr. Jasser Auda, Direktur Eksekutif Maqasid Institute, hadir secara online dan memberikan pemaparan singkat tentang peninjauan kembali terhadap konsep cendekiawan Islam , “Islam bukan hanya sekedar membahas tentang rutinitas ibadah, melainkan juga tentang realita-realita kehidupan. Quran penuh dengan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan mengenai kemanusiaan. Cendekiawanadalah siapapun yang berusaha untuk memahami suatu bidang tertentu. Penting bagi setiap cendekiawan untuk tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, melainkan menciptakan pengetahuan dengan terus melakukan pengembangan keilmuan melalui riset dan aksi”.