Di awal pertemuan, T. Novi Poespita Chandra, M.Si menyampaikan bahwa pendekatan Grounded Theory merupakan suatu bentuk perlawanan riset positivisme yang hasilnya bersifat konfirmasi. Grounded Theory menuntut peneliti untuk staying, living di tempat penelitian. Peneliti juga harus memahami betul kenapa harus disana. Selain itu penelitian Grounded Theory membutuhkan waktu yang lebih lama. Tidak bisa hanya seminggu, 2 minggu. Minimal waktu yang dibutuhkan 6 bulan atau bahkan juga bertahun-tahun. Grounded Theory juga berbeda dengan fenomenologi, dimana fenomenologi memotret proses terjadinya, ketika telah berada pada tahap aksial coding kemudian bisa langsung dianalisis. Sementara hal yang sama tidak bisa ditemukan pada Grounded Theory.
Peneliti Grounded juga diharapkan untuk tidak pernah berhenti dalam mempertanyakan penelitiannya sendiri, bahkan ketika penelitian tersebut sudah diaplikasikan di lapangan banyak hal yang dapat membuat teori tersebut menjadi harus dimodifikasi. Esensinya, peneliti Grounded Theory adalah harus “gelisah” karena disanalah tanggung jawab moral seorang peneliti yang mengarahkannya untuk dapat memberikan benefit kepada masyarakat dan masalah sosial.
Hal yang membuat dirinya tertarik untuk meneliti dengan pendekatan ini berawal semenjak dirinya pulang ke Indonesia setelah menghabiskan banyak waktu tinggal di Australia. Dirinya melihat fakta anak-anak di Indonesia lebih banyak yang ingin libur sekolah sementara di Australia justru kebalikannya, anak-anak ingin sekolah. Dari pengamatannya inilah yang membuat beliau berupaya untuk menjawab kegelisahannya seputar pertanyaan sekolah seperti apa yang dapat mempromote anak-anak bisa sekolah. Dirinya mengaku bahwa ini juga suatu bentuk kegelisahan tersendiri karena ia memiliki visi yang sangat besar dalam membangun generasi yang cerdas sementara kurikulum di Indonesia masih seperti ini, belum lagi fakta guru-guru yang ada serta rating Indonesia yang belum dapat menyaingi keunggulan pendidikan di negara lain bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara sesama Asia Tenggara. Dalam penelitiannya, Novi memperlihatkan adanya positive dan negative experiences pada kehidupan di sekolah. Hasil penelitiannya pun mengalami proses berkali-kali dimana setelah diimplementasikan kemudian dilakukan riset kembali atas apa -apa yang belum sesuai.
Pada dasarnya, sebuah masalah yang dapat diangkat untuk diteliti dengan pendekatan Grounded juga tidak perlu masalah yang besar. Masalah-masalah sehari-hari juga bisa dijadikan sebagai salah satu dari masalah yang diangkat. Misalnya seperti pengamatannya yang berangkat dari pengetahuannya pula soal dunia perkembangan dan pendidikan. Ia juga menambahkan bahwa proposal Grounded Theory tidak seperti proposal yang bentuknya literature review, namun dari masalah yang kita lihat dapat diramu menjadi sebuah proposal. Walaupun masih banyak yang bingung antara grounded dan pendekatan kualitatif lain seperti etnografi ataupun fenomenologi. Hal ini sebenarnya tidak perlu menjadi sebuah kerisauan karena ketika peneliti mengambil data kemudian memikirkannya, lama-lama peneliti akan menemukan sensing untuk mengkategorikan dengan pendekatan kualitatif lain.
Riset Grounded ini juga cukup panjang, yang membuat waktunya menjadi lama bukan karena teknik yang digunakan, tetapi pada mindset dan semangat menelitinya. “Karena Grounded itu paradigma bukan sekedar metodologi. Artinya bagaimana peneliti percaya untuk membangun konstruk dari bawah, dari Ground”, terang Novi.