Arsip:

SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan

LM-Ngariung 2024

Diskusi Ngariung 2024 Bahas Inklusivitas dalam Industri Kreatif

Lembaga Mahasiswa (LM) Psikologi UGM kembali menggelar “Ngariung”, diskusi tentang fenomena sosial di masyarakat, pada Sabtu (25/5). Ngariung 2024 kali ini mengangkat tema “Diskursus Ableisme: Adakah Inklusivitas untuk Hiburan Berkualitas?”. Acara ini menghadirkan Senoaji Julius, seorang sutradara, produser, dan penulis, serta Elga Andriana, S.Psi, M.Ed, Ph.D., dosen Fakultas Psikologi UGM. 

Diskusi yang berlangsung di Auditorium Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM ini dilatarbelakangi minimnya representasi inklusivitas dalam dunia kreatif. Hal ini memunculkan pandangan masyarakat terhadap kaum disabilitas sebagai individu dengan kekurangan yang harus diperbaiki.  

“Kegiatan ini ditujukan sebagai langkah solutif dalam memberikan edukasi pada irisan pemahaman ableisme dan industri kreatif,” terang Janur Kesumadadi (2022), Wakil Kepala Departemen Kajian Strategis LM Psikologi UGM, Senin (27/5). 

Diskusi ini mencakup pemaparan materi dan tanya jawab yang melibatkan peserta secara langsung. Salah satu poin menarik adalah pertanyaan mengenai eksistensi dark jokes di industri kreatif. Senoaji menjelaskan bahwa produser sering menggunakan rumusan tertentu untuk membuat film laris berdasarkan analisis algoritma. Dark jokes menjadi populer karena banyak diminati masyarakat, sehingga tampak ada permintaan yang tinggi. Antusiasme masyarakat inilah yang membuat keberadaan dark jokes terus berlanjut. “Film memang memberikan pengalaman, tapi tidak selamanya memberikan pengalaman yang baik bagi semua orang,” kata Senoaji. 

Elga menambahkan bahwa dark jokes bisa menjadi intellectual exercise bagi pengamat film untuk mengkritisi. Tidak hanya film yang mengandung dark jokes, tetapi semua film menuai komentar sebagai sarana kemajuan inklusi. Ia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan pandangan dari pihak yang didiskreditkan, terutama dalam industri kreatif modern. 

“Penyandang disabilitas mulai ditunjukkan dengan karakter yang baik, membawa suasana positif, dan resiliensi seperti yang hadir pada beberapa K-Drama,” ungkap Elga. 

Industri kreatif saat ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga berfungsi sebagai media edukatif. Melalui diskusi ini, diharapkan masyarakat menjadi lebih peka terhadap isu-isu mikro yang masih ada dalam kehidupan sehari-hari. 

Kesuksesan acara Ngariung 2024 tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari Fakultas Psikologi UGM, PT Komatsu Indonesia, dan Arsana Ecosystem. Ini menunjukkan pentingnya kerjasama antara berbagai pihak dalam mendukung kegiatan yang mempromosikan pemahaman dan kesadaran sosial. 

 

Sumber: Departemen Kajian Strategis LM Psikologi UGM 

Editor: Erna 

Sebanyak 69 Wisudawan/wisudawati Ikuti Pelepasan Program Sarjana Periode III 2023/2024

Sebanyak 69 wisudawan/wisudawati Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengikuti pelepasan Program Studi Sarjana Psikologi Periode III Tahun Akademik 2023/2024 di Hall-D Fakultas Psikologi UGM, Rabu (22/5). Wisudawan terdiri dari 60 program reguler dan sembilan dari International Undergraduate Program (IUP). Dari jumlah tersebut, 54 wisudawan meraih penghargaan akademik dengan predikat pujian. 

Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., mengucapkan apresiasi atas capaian para wisudawan. “Dengan tambahan 69 wisudawan ini, Fakultas Psikologi UGM telah meluluskan 6.531 sarjana,” ujarnya.  

Dekan menegaskan bahwa tingginya nilai kelulusan mencerminkan penguasaan para wisudawan terhadap target capaian pembelajaran. “Kami memiliki keyakinan tinggi tidak mengobral nilai, tetapi nilai menggambarkan kemampuan kalian dibandingkan dengan siapapun sarjana psikologi yang dihasilkan di berbagai perguran tinggi di Indonesia,” tegasnya.  

Rahmat juga menyampaikan bahwa memperoleh gelar sarjana psikologi bukanlah perjalanan yang mudah. “Kalian memiliki kapasitas pribadi, kekuatan karakter, serta bekal ilmu, sikap, dan etika sebagai sarjana psikologi,” katanya.  

Dekan berpesan kepada wisudawan untuk tidak melupakan komitmen sebagai alumi Universitas Gadjah Mada untuk terus belajar dan mengembangkan ilmu. “Kami melepaskan kalian semua keluar dari gerbang Fakultas Psikologi untuk terbang tinggi, untuk menjelajahi dunia, untuk mengembangkan diri, untuk mengeksplorasi bagian-bagian dari kapasitas yang kalian miliki, untuk dimanfaatkan, untuk memberikan manfaat bagi kalian sendiri, keluarga kalian, masyarakat dan bangsa,” tutupnya.  

IPK tertinggi dari program IUP diperoleh oleh Putri Aida Rahman, dengan IPK 3.90. Virna Annisya Charisma menjadi wisudawan dengan masa studi tercepat dari program reguler, menyelesaikan studi dalam waktu 3 tahun 4 bulan 15 hari. Di sisi lain, Marsyanti Mahira memperoleh gelar dengan masa studi tercepat dari program IUP, menyelesaikan dalam 3 tahun 4 bulan 9 hari. Daniella Assyifa Budiharto (21) menjadi wisudawan termuda dari program reguler, sementara Aurel Carissa Rahardjo (20) menjadi wisudawan termuda dari program IUP.  

Dyah Pitaloka Putri Sutanto, wisudawan berprestasi dengan IPK tertinggi 3.93 dari program reguler, memberikan sambutan mewakili seluruh wisudawan. Ia mengungkapkan rasa bangganya bisa mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi UGM dan mengingat perjalanan studinya yang terdampak pandemi. “Tantangan ini membentuk kita menjadi pribadi yang tangguh. Kita digembleng dalam kawah Candradimuka, ditempa realita, dimatangkan oleh dinamisnya dunia. Sudah semestinya kita berterima kasih kepada diri kita sendiri karena telah berjuang sejauh ini,” katanya dengan haru. 

Dyah menyampaikan tiga hal untuk menghadapi transisi dari kehidupan kampus ke dunia nyata: menghadapi ketidaknyamanan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, menyadari nilai diri tidak bergantung pada penerimaan orang lain, dan memahami bahwa kebahagiaan dan keyakinan berasal dari dalam diri.   

“Dunia sesungguhnya tidak akan senyaman di kampus kita tercinta ini teman-teman. Kita perlu berdamai dengan ketidaknyamanan tersebut dan kita bisa memperluas zona nyaman kita untuk menjadi pribadi dan versi yang terbaik dari diri kita,” pesan Dyah.  

Arief Rahman, S.E., M.Com., Ph.D., orang tua dari Putri Aida Rahman mewakili orang tua wisudawan/wisudawati, menyampaikan apresiasinya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan selama perjalanan studi wisudawan yang tidak mudah. “Ini menjadi bukti bahwa anda semua telah berhasil menghadapi tantangan dan menyelesaikan berbagai masalah dengan baik. Anda semua diharapkan berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain di sekitar Anda,” kata Arief Rahman.  

Perwakilan Keluarga Alumni Psikologi Gadjah Mada (KAPSIGAMA), Kumala Windya Rochmani, S.Psi, M.Psi, Psikolog, menyambut wisudawan/wisudawati sebagai keluarga baru KAPSIGAMA. Ia memperkenalkan KAPSIGAMA serta manfaat bagi anggotanya, seperti jejaring, silaturahmi, dan kolaborasi. “Mari kita buat jejaring, sama-sama berkarya, dan juga berkolaborasi sama-sama,” pungkasnya.  

Pada pelepasan ini, Ketua Program Studi Sarjana Psikologi, Dr. Ridwan Saptoto, S.Psi., M.A., Psikolog, menyerahkan tranksrip wisudawan/wisudawati program reguler. Selanjutnya, Ketua Pelaksana Pengelolaan International Undergraduate Program (IUP), Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D., menyerahkan transkrip kepada wisudawan/wisudawati IUP. Kemudian, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Dr. Wenty Marina Minza, M.A., mengalungkan syal alumni kepada para wisudawan/wisudawati. 

Jason Ebenhaezer Samuel (2020) dan Maulana Hizrian Hazazi (2021), mahasiswa Program Sarjana, memberikan persembahan dengan menyanyikan lagu yang menyemarakkan acara pelepasan ini. Penutupan acara pelepasan wisudawan/wisudawati diakhiri dengan pembacaan doa oleh Nur Abidin serta sesi foto bersama. 

 

Penulis: Erna 

Tantangan dan Solusi: Kesiapsiagaan Darurat bagi Penyandang Disabilitas dalam Angkringan CICP

Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar diseminasi penelitian dalam acara Angkringan 4 dengan tema Disabilitas, Kesiapsiagaan, dan Hubungan Sosial. Acara diadakan secara bauran di aula gedung D Fakultas Psikologi UGM dan zoom meeting pada Kamis (16/5).

Kepala Inklusi Disabilitas Nossal Institute for Global Health Universitas Melbourne, Alex Robinson, Ph.D., dan tim peneliti CICP, Fega Ayu P, S.Psi., menjadi narasumber pada sesi pertama acara ini dengan tema “Penyandang Disabilitas dan Kesiapsiagaan Darurat di Indonesia dan Filipina”. 

“Disabilitas bukan lagi menjadi isu individu, melainkan isu masyarakat yang harus diperhatikan. Pada kesempatan ini kita akan menjelaskan bagaimana penyandang disabilitas saat menghadapi situasi darurat yang tentu akan semakin meningkatkan risiko karena penyandang disabilitas memiliki keterbatasan, baik keterbatasan informasi maupun keterbatasan akan kondisi yang dimiliki,” ujar Alex. 

Alex menjelaskan secara detail aksi antisipatif sebagai modalitas penyaluran bantuan kemanusiaan, “Enam hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menjalankan aksi antisipatif adalah penentuan target, peringatan dini, penyedia jasa keuangan, biaya universal dan biaya spesifik disabilitas, pengeluaran minimum dan maksimum, serta pengambil keputusan”. 

Mendukung pernyataan yang sebelumnya telah dipaparkan oleh Alex, Fega menerangkan, “Terdapat kesenjangan informasi tentang bagaimana penyandang disabilitas mengakses dan merespon pesan peringatan dini, termasuk implikasi dari aksi dan sumber daya yang dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas sistem peringatan dini”. 

“Hasil penelitian mengungkap pemahaman yang beragam tentang sistem peringatan dini. Dalam hal ini, pengumuman dari Pak Dukuh banyak diandalkan oleh para responden penilaian. Oleh karenanya diperlukan standarisasi sistem peringatan dini yang mencakup pemahaman masyarakat dan sikap untuk merespon. Pemimpin juga perlu diberdayakan untuk menyampaikan informasi secara akurat dan terkoordinir,” jelas co-researcher.

Berkenaan dengan cara penyandang disabilitas mengenali tanda-tanda bencana, mereka banyak mengandalkan informasi dari media massa, melihat tanda-tanda alam, pengumuman dari kepala desa, dan ajakan informasi dari tetangga. 

Terakhir, co-researcher. Juga menjelaskan tentang tantangan yang dihadapi saat akan melakukan evakuasi bencana pada disabilitas berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan, “Pertama, data ragam disabilitas berbeda, misalnya di data tuli namun ternyata tidak atau mungkin justru mengalami cacat ganda. Kedua, hambatan komunikasi dengan responden dan warga setempat. Ketiga, responden membawa benda berbahaya. Keempat, tantangan dengan Juru Bicara Isyarat (JBI) terkait jadwal. Kelima, responden dengan disabilitas ganda (tuli + grahita) sulit memahami pertanyaan dan tidak menjawab pertanyaan”.  

 

Penulis : Relung Fajar Sukmawati 

kajian-ramadan-Ratna Syifaa Rachmahana

Kajian Ramadan: Menggali Makna Metamorfosa Menuju Hidup Lebih Berwarna

Di penghujung bulan Ramadan, Fakultas Psikologi UGM menggelar Kajian Ramadan 1445 H terakhir secara bauran pada Jumat (5/4). Kajian keempat kali ini menghadirkan Ratna Syifa’a Rachmahana, S.Psi., M.Si., Psikolog, dari Dharma Wanita Persatuan Unsur Pelaksana Fakultas Psikologi UGM yang menyampaikan materi bertajuk “Metamorfosa Ramadan Menuju Hidup Lebih Berwarna”.

Dalam kajian tersebut, Ratna mengejak peserta untuk kembali memahami makna metamorfosa kaitannya dengan Ramadan, yang dimaknai sebagai proses seorang muslim menjadi lebih baik.

“Proses metamorfosa adalah i’tibar bagi kita, bahwa siapapun kita bisa menjadi lebih daik, dengan proses belajar di madrasah Ramadan,” terang Ratna.

Ratna menjelaskan proses metamorfosa dari ulat menjadi kupu-kupu sebagai dua hal yang berbeda. Ulat cenderung dihindari karena dianggap merugikan, sedangkan kupu-kupu indah dan dianggap mulia. Perbedaan ini dianalogikan dengan diri manusia, sebuah himbauan untuk tidak merusak dan merugikan orang lain layaknya ulat, serta menghindari kerakusan layaknya kupu-kupu.

“I’tibar apa kepada diri kita? Bahwa kita itu sebagai manusia jangan sampai merugikan orang lain,” tegasnya.

Melalui fase metamorfosis, ulat akan berubah menjadi kepompong, yang menjauhkan diri dari makan dan minum, serta menutup diri dari dunia luar. Fase ini dianalogikan dengan muslim yang i’tikaf di bulan Ramadan.

“Ramadan melatih kita untuk menahan diri dari nafsu, banyak bermuhasabah, memohon ampun dengan memperbanyak sunnah, serta memberikan sebagian kenikmatan sedekah dan zakat,” jelas Ratna.

Ratna menyampaikan bahwa terdapat dua bentuk ibadah, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah.

“Ibadah mahdhah, Ibadah yang segala tata caranya diatur oleh Allah dan Rasul. Kita tidak boleh mengotak-atik aturan lainnya, misalnya salat. Sebaliknya ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang semua boleh, kecuali yang dilarang,” jelasnya.

Ibadah puasa Ramadan, lanjut Ratna, telah diatur oleh Allah SWT. Sebagaimana tertuang pada surat At-Tin ayat 4-6, Ratna menjelaskan bagaimana kedudukan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan Allah. Kedudukan manusia juga dapat menjadi rendah bila tidak berhati-hati. Namun, hal tersebut tidak akan terjadi pada orang yang beriman dan beramal saleh.

Puasa dimaknai sebagai perisai, dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah kontrol diri yang menjadi pelindung dari hal-hal negatif.

“Bulan Ramadan diharapkan mampu menjadi perisai kita untuk lebih baik kualitasnya, meningkatkan kualitas diri kita sehingga menjadi pribadi yang lebih menyenangkan seperti kupu-kupu,” lanjutnya.

Selanjutnya, Ratna menjelaskan tiga kriteria muslim yang disayang Allah SWT, yaitu orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, orang yang mendidikan salat lima waktu dan salat tahajud di malam hari sebagai wujud syukur kepada Allah, dan orang yang berhasil dalam puasanya.

“Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah, senantiasa bermetamorfosis lebih baik kepada ketaaatan kepada Allah Azza wa Jalla untuk meraih ridha-Nya,” pungkas Rita menutup materinya.

 

Penulis: Erna

Memahami Tazkiyatun Nafs dan Muhasabah Diri: Refleksi Kajian Ramadan 1445 H bersama Ustaz K.H. Syatori Abdul Rauf

Fakultas Psikologi kembali menggelar Kajian Ramadan 1445 H untuk ketiga kalinya secara bauran pada Kamis (28/3). Kajian kali ini menghadirkan Ustaz K.H. Syatori Abdul Rauf, Al Hafidz, yang membawakan materi bertajuk “Tazkiyatun Nafs: Muhasabah Diri Menjadi Pribadi Mulia”.  

Membuka pemaparannya, Ustaz K.H. Syatori mengajak peserta untuk memahami makna dari tazkiyah dah muhasabah. Tazkiyah diibaratkan layaknya cermin untuk mengenal diri sendiri, sedangkan muhasabah merupakan upaya introspeksi atau evaluasi diri.  

“Cermin itu dihadirkan oleh Allah melalui Ramadan, sepanjang kita memahami pesan moral yang ada di bulan Ramadan. Pesan moral itu menjadi hal yang sangat penting, Allah SWT menyampaikan kepada kita di Surat Ar-Rum ayat ke-30. Jadi Allah SWT memerintahkan kita untuk menghadapkan hidup kita ini kepada agama Allah, agama Islam,” terang Ustaz K.H. Syatori.  

Dikatakan bahwa fitrah manusia yang diciptakan oleh Allah SWT adalah mengarahkan hidup kepada agama Allah. Begitu pula, Ramadan merupakan salah satu nilai dalam ajaran agama Allah. 

“Jadi sebenarnya pesan moral dari Ramadan ini, kesempatan untuk kita kembali kepada fitrah. Bahwa hidup ini hanya akan selamat kalau kita kembali kepada agama Allah,” tegasnya.  

Bulan suci Ramadan mengajak umat Islam untuk kembali kepada fitrahnya. Kekacauan dalam kehidupan terjadi karena manusia tidak mengenal fitrahnya, yang menyebabkan ketidaksesuaian dan berbagai permasalahan.  

“Kita oleh Allah diciptakan dengan fitrah yang sama. Kalau diciptakan dengan fitrah yang sama tentunya dalam hidup kita ini akan selalu ada kesesuaian, kesesuaian dalam fitrah. Tapi karena tidak mengenal, tidak mengetahui fitrah atau bahkan mengabaikan fitrah, maka hidup ini banyak masalah,” tambahnya.  

Ustaz K.H. Syatori juga menguraikan tentang tiga golongan manusia dalam menjalani kehidupan, yaitu merantau, keluyuran, dan minggat. Merantau mengacu pada pergi untuk tujuan dan harapan yang jelas baiknya, sementara keluyuran adalah pergi tanpa tujuan yang jelas atau manfaat yang nyata, dan minggat adalah pergi dengan tujuan dan harapan yang jelas akan dampak buruknya. 

“Kalau kita lihat tiga golongan ini, yang betul-betul sesuai dengan fitrah menjalani hidup di alam dunia ini, adalah merantau, bukan keluyuran, apalagi minggat”, ujarnya.  

Dengan penjelasan tentang tiga jenis perjalanan hidup tersebut, Ustaz K.H. Syatori mengundang peserta untuk melakukan muhasabah tentang bagaimana mereka menjalani hidup selama ini, apakah termasuk dalam golongan yang merantau atau tidak.  

Melalui berbagai contoh teladan yang ia berikan, K.H. Syatori menjelaskan bagaimana sebuah amal tidak hanya mendapatkan ridha Allah, tetapi juga memperoleh pujian dari-Nya. 

“Mendahulukan orang lain, walau diri sendiri membutuhkan. Ini amal yang mengundang pujian luar biasa dari Allah SWT,” ujarnya.  

Terkadang teladan ini tidak diindahkan oleh umat Muslim, mencari ridha Allah memang berat, namun hal tersebut dapat diperoleh melalui upaya keras untuk mendapatkan rahmat Allah. 

“Karena Ramadan itu kan bulan yang penuh rahmat. Jadi ibaratnya sebulan ini kita terus menerus dihujani rahmat Allah SWT. Lewat puasa, tarawih, tilawah Quran, Itu sudah rahmat semua itu,” pungkasnya.  

 

Penuli & Foto: Erna 

CLSD Membangun Semangat Literasi di Kampung Suronatan melalui Pelatihan Membaca Nyaring

Pada hari Sabtu, 2 Maret 2024 pukul 08.30-11.30 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM melalui Tim The Reading Buddies mengadakan acara pelatihan read aloud atau membaca nyaring di Kampung Suronatan, Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan, Kota Yogyakarta. Acara dihadiri oleh 19 orang, terdiri dari Kader Bina Keluarga Balita (BKB) dan orang tua yang memiliki anak usia dini. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengenalkan dan meningkatkan kemampuan para kader BKB dan orang tua dalam praktik membaca nyaring di rumah maupun di komunitas. Kegiatan pelatihan ini merupakan kelanjutan dari aktivitas membaca nyaring oleh Tim The Reading Buddies dua minggu sebelumnya, dengan tujuan agar masyarakat di Kampung Suronatan mampu secara mandiri melanjutkan aktivitas literasi ini.

Acara dimulai dengan sambutan dari perwakilan BKB, diikuti oleh sambutan dari moderator juga merupakan perwakilan dari CLSD, yaitu Kevin Pasquella Helian, S.Psi. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pemateri oleh Navia Fathona Handayani, S.Psi., seorang pegiat literasi yang memiliki pengalaman luas dalam gerakan membaca nyaring. Materi yang disampaikan mencakup penjelasan tentang pentingnya membacakan nyaring, unsur-unsur buku yang perlu diperhatikan saat membaca nyaring, serta demonstrasi praktik membaca nyaring. Peserta menyimak dengan antusias untuk memahami berbagai aspek membaca nyaring yang diajarkan oleh pemateri.

Selanjutnya, acara melibatkan pembagian peserta pelatihan ke dalam empat kelompok kecil. Tujuan dari agenda ini adalah untuk mengaplikasikan materi yang telah diajarkan sebelumnya oleh pemateri. Dua orang fasilitator, Rahmita Laily Muhtadini, S.Psi., dan Riskhi Pratama Kusuma Arum Jati, S.Psi., bertugas memandu dinamika peserta di dalam kelompok kecil. Dalam proses ini, peserta diberi waktu untuk memilih buku dengan mempertimbangkan berbagai unsur seperti tema, alur, latar, dan tokoh cerita. Setiap peserta kemudian berlatih membaca nyaring di dalam kelompok kecil. Proses ini sangat penting untuk memastikan bahwa peserta memahami konsep membacakan nyaring tidak hanya di ranah pengetahuan, tetapi juga dalam ranah keterampilan.

Agenda berikutnya adalah sesi praktik membaca nyaring oleh perwakilan peserta dari masing-masing kelompok. Selain bertujuan untuk melihat kemampuan peserta setelah pelatihan, agenda ini juga dirancang untuk proses evaluasi bersama. Peserta memberikan apresiasi dan masukan terhadap sesama peserta selama proses membaca nyaring di depan kelas. Acara ditutup dengan pemberian sertifikat, doorprize, serta foto bersama.

Seluruh rangkaian acara dalam pelatihan membaca nyaring ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan dan kemampuan kader BKB serta orang tua. Acara ini juga diharapkan dapat membangun kemandirian bagi warga Kampung Suronatan dalam menyebarkan semangat literasi di rumah maupun masyarakat.

Sumber: CLSD UGM

Editor: Erna

Fakultas Psikologi Perdana Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk pertama kalinya menggelar kegiatan Pos Binaan Terpadu (Posbindu) bekerja sama dengan Gadjah Mada Medical Center (GMC), Jumat (22/3). Acara yang dilangsungkan di Hall D Fakultas Psikologi ini menyediakan pemeriksaan kesehatan gratis bagi dosen, tenaga kependidikan, dan tenaga outsource.

Posbindu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemantauan kesehatan secara berkala. Pemeriksaan kesehatan yang disediakan mencakup cek fisik serta pemeriksaan darah untuk mengukur kadar gula darah, asam urat, dan kolesterol.

Dr. Sumaryono, M.Si., Psikolog, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Psikologi UGM, menyampaikan bahwa posbindu ini merupakan upaya Fakultas Psikologi UGM untuk meningkatkan kualitas hidup dan memastikan kesehatan civitas.

“Paling tidak dengan melakukan Posbindu ini, kita masing-masing bisa mendapatkan semacam warning, alarm bahwa apa yang harus dikelola, apa yang harus diantisipasi di dalam kesehatan kita masing-masing,” ungkapnya.

Posbindu direncanakan akan dilaksanakan secara rutin sebanyak tiga kali dalam setahun. “Ini kali pertama, dan semoga ada kader-kader dari fakultas untuk bisa membantu proses pemeriksaan itu. Kali ini mungkin masih di tenaga kependidikan, kemudian dosen dan outsource. Kalau nanti memungkinkan, ya bisa jadi diperluas bagi siapa saja yang mau ikut,” tambahnya.

Kegiatan perdana ini disambut dengan antusiasme tinggi dari peserta, meskipun dengan kuota terbatas. Peserta yang hadir mengapresiasi layanan kesehatan yang diberikan dan menyambut baik inisiatif ini.

“Senang dengan adanya program Posbindu ini, semoga kedepannya program Posbindu bisa diadakan rutin paling tidak sebulan sekali atau dua bulan sekali. Saya juga merasa senang karena hasil cek tadi bagus,” ujar Ekky, salah satu peserta.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ari, “Harapannya kedepan untuk program Posbindu dapat dilanjutkan paling tidak enam bulan atau tiga bulan sekali.”

Posbindu Fakultas Psikologi UGM diharapkan dapat menjadi salah satu upaya konkrit dalam mendorong pola hidup sehat dan meningkatkan kualitas hidup bagi seluruh civitas.

Penulis: Erna

Foto: Edwin

Kajian Ramadan Fakultas Psikologi UGM: Menyelami Kesehatan Jasmani dan Rohani di Bulan Suci

Fakultas Psikologi kembali menggelar Kajian Ramadan 1445 H secara bauran pada Jumat (22/3). Pada kesempatan kali ini, DR. dr. Probosuseno, SpPD, K-Ger, FINASIM, SE, MM, seorang dokter spesialis berpengalaman dari RSUP Dr. Sajito, Departemen Geriatri Ilmu Penyakit Dalam, hadir sebagai pembicara utama. Ia membawakan tema “Sehat di Bulan Ramadan: Berkah dalam Kesejahteraan”, yang menghadirkan wawasan tentang pentingnya kesehatan dan keterkaitannya dengan puasa serta keberkahannya.  

Dalam tausiahnya, ia memberikan pemahaman mendalam tentang makna sehat, puasa, dan berkah kepada seluruh peserta. Sebagai seorang pakar di bidangnya, pengetahuan dan pengalamannya memberikan sudut pandang yang berharga dalam memahami pentingnya menjaga kesehatan selama bulan Ramadan. 

“Sehat ini ada banyak definisi, karena manusia itu strukturnya atas empat komponen, dimensi jasmani, rohani, sosial, dan spiritual,” ujarnya.  

Puasa memiliki keterkaitan dengan keempat komponen ini, yaitu dapat meningkatkan kondisi kesehatan. Namun, untuk mencapai kondisi kesehatan yang optimal, seringkali dihadapkan dengan berbagai rintangan, salah satunya adalah penyakit. 

“Tentang mengapa sakit, saya meringkaskan dari berbagai sumber yaitu bawaan lahir, defisiensi, degeneratif, psikosomatik, autoimun disease, metabolik, latrogenesis, infeksi, trauma, tumor dan kanker,” jelasnya.  

Keadaan sakit dapat disebabkan oleh pola hidup yang kurang sehat, seperti mengkonsumsi jenis makanan tertentu secara berlebihan. Pada kenyataannya, tubuh tidak mampu menanggung semua makanan yang dikonsumsi secara berlebihan, yang kemudian dapat menyebabkan berbagai penyakit muncul sebagai reaksi tubuh.  

“Kalau itu dari segi raga, bagaimana kita menyiasati, ya harus hidup sehat. Puasa itu salah satu rumus untuk sehat. Karena sehat itu ada rumus sembilan, dalam bahasa yang mudah diingat yaitu makan minum, tayib halal, olahraga tidak stress, lingkungan bersih dan indah, tidur cukup bertakwa, tinggalkan hal-hal tak perlu, hobi aktif bersosial,” terangnya. 

Selain menjaga kesehatan fisik, penting juga untuk merawat kesehatan jiwa. DR. Probosuseno menjelaskan bahwa mewujudkan jiwa yang sehat dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain dengan menjalin silaturahmi, meningkatkan pemahaman tentang iman dan amal dalam Islam, rajin berzikir, mendoakan, serta membaca Al Quran. Bersyukur dan tetap optimis juga merupakan bagian penting dalam merawat kesehatan jiwa, begitu juga dengan mendoakan kebaikan untuk orang lain.  

“Kalau kita sudah puasa berkali-kali, jika setiap puasa dilakukan dengan benar maka, perbaikan tekanan darah & berat badan, pikiran makin bagus, ujut kelainan kulit semakin membaik, alat dalam makin bagus, sperma makin bagus, semuh lebih cepat, awet muda,” pungkasnya.  

Secara psikologis dan sosial, puasa dapat memberikan berbagai manfaat, antara lain meningkatkan stabilitas emosi, memperkuat kendali internal, meningkatkan ketahanan terhadap stres dan kecemasan, mencegah munculnya beberapa gangguan jiwa, meningkatkan rasa aman dan kebersamaan, serta meningkatkan kepekaan sosial. 

 

Penulis: Erna 

Foto: Edwin  

Angkringan #1 CICP Fakultas Psikologi UGM Membahas Cara Komunitas Maiyah Merawat Common In-group Identity

Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) gelar Angkringan #1 bertajuk Rumah Untuk Kembali: Cara Komunitas Maiyah Merawat Common In-Group Identity, Jumat (1/3). Tema ini merupakan hasil thesis salah satu mahasiswa program studi Magister Psikologi Sains Fakultas Psikologi UGM, Sofyan Hadi Surya. 

Penelitian dilatarbelakangi oleh keresahan Sofyan dalam mengamati fenomena sekitar, “Keresahan bermula saat saya tinggal di Bante, di sana saya melihat bahwa salah satu cara untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah dengan mengeruk bebatuan di pegunungan, para pengeruk mayoritas mantan buruh dan petani yang tidak memiliki basic kerja di proyek. Setelah itu, keresahan juga saya rasakan saat tahun politik 2019. Ketika gejolak panas politik itu saya mengenal dan tertarik dengan Maiyah karena mendengar Mbah Nur berceramah bahwa kekayaan dan kepangkatan itu palsu jika tidak digunakan untuk membantu kaum-kaum yang lemah”.

Maiyah sendiri merupakan sebuah gerakan keagamaan dalam masyarakat akar rumput yang dengan kreatif mengkombinasikan unsur mistisme, fundamentalisme, dan politik. 

“Masyarakat Indonesia banyak mengalami fragmentasi sosial karena perbedaan agama dan kelompok, kemudian muncul istilah in group dan out group. Akibatnya, dua istilah itu memunculkan depersonalisasi dan diskriminasi terhadap kelompok lain. Sehingga, diperlukan ruang yang dapat mempertemukan dan menjembatani interaksi masyarakat dari berbagai latar belakang dan golongan. Satu-satunya ruang yang saya ketahui bernama Maiyah,” jelas Sofyan. 

Sofyan memaparkan hasil penelitian mengenai Maiyah, “Maiyah memberikan identitas baru yang inklusif kepada jamaah. Akibatnya, para jamaah melepas sekat pemisah yang menghalangi untuk bersatu, jamaah saling memberikan dukungan sehingga terbentuklah kepercayaan dan rasa aman. Simbol pemersatu di Maiyah yaitu sosok Mbah Nun, jamaah sering berbagi cerita tentang perjalanan figur Mbah Nun, pengalaman bermaiyah, dan berbagi nilai serta aspirasi”.

Di akhir sesi diskusi Sofyan berkata, “Ikatan persaudaraan dan kepercayaan antar jamaah turut  menjaga keharmonisan komunitas Maiyah. Kebersamaan yang terjalin mendorong jamaah untuk turut berkontribusi menjaga keharmonisan komunitasnya. Inklusifitas dalam Maiyah berperan dalam membentuk identitas Maiyah”.

 

Penulis : Relung 

Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi UGM Gelar Webinar Evidence-based Practice in Psychology (EBPP)

Unik Konsultasi Psikologi (UKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan UKP Talks sesi tiga bertajuk Strategies to Implement Culturally Responsive Evidence-based Psychotherapeutic Interventions in Diverse Clinical Setting, Rabu (17/01). Bertempat di Ruang A-203 Fakultas Psikologi UGM, webinar ini dihadiri oleh segenap civitas akademika UGM, peneliti, dosen psikologi, mahasiswa S2 dan S3 di bidang psikologi, dan pihak- pihak yang yang tertarik dalam topik Layanan Psikologi Berbasis Bukti (Evidence-based Practice in Psychology).

Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., hadir membuka acara, “Webinar ini mendukung salah satu misi fakultas, yaitu mendorong praktik psikologi yang berbasis kajian-kajian ilmiah”. Ketua UKP UGM, Restu Tri Handoyo, Ph.D., Psikolog, lanjut menjelaskan, “Kita akan belajar strategi bagaimana mengimplementasikan intervensi psikologi berbasis riset yang tidak hanya disesuaikan dengan budaya namun juga setting klinis yang beragam”.

Moderator acara, Smita Dinakaramani, M.Psi, Psikolog memperkenalkan narasumber, Ajeng Puspitasari, Ph.D., LP., ABPP, yang merupakan Regional Executive Director – Clinical, Rogers Behavioral Health, Amerika Serikat. Ajeng menekankan kepada seluruh peserta untuk mempraktikkan meaningfulness, melatih pemikiran agar tidak sibuk memikirkan segala yang telah terjadi ataupun yang akan datang, sehingga seluruh Indera menikmati semua yang sedang berlangsung saat ini.

Gerakan Evidence-based Practice in Psychology (EBPP) merupakan salah satu perkembangan praktik intervensi psikologi, Ajeng menjelaskan, “Sekitar 40 – 50 tahun yang lalu, di Amerika Serikat dan negara-negara berkembang lainnya, pelayanan psikologi mayoritas tidak berbasis sains dan penelitian, psikolog dapat menggunakan treatment yang mereka pelajari meskipun belum diteliti secara scientific. Baru sekitar 20 tahun yang lalu, pemerintah Amerika Serikat mulai memberi funding penelitian untuk berbagai macam terapi. Bermula dari itu, EBPP mulai berkembang”.

EBPP penting dilakukan agar intervensi yang diberikan kepada pasien sudah terbukti keefektifannya. Ajeng mengatakan, “EBPP merupakan gabungan dari tiga komponen. Penemuan ilmiah, pengalaman psikolog, dan pengalaman pasien. Selamanya, meskipun psikolog expert di bidang profesionalnya, namun psikolog tidak akan pernah bisa expert di pengalaman hidup orang lain”.

“EBPP memiliki beberapa kriteria. Sangat kuat, kuat, lemah, dan bukti yang tidak cukup. EBPP sangat kuat memiliki kriteria yaitu treatment yang dapat memperbaiki symptom, tidak memiliki efek samping, memiliki berbagai resource dan makalah yang dapat membantu psikolog untuk menggunakkan, memiliki metode riset yang kuat, dan sudah diteliti efektifitasnya dengan berbagai jenis pasien,” jelas Ajeng.

Di akhir webinar, Ajeng berpesan, “Terdapat tiga poin penting yang perlu menjadi perhatian psikolog terlepas dari pemilihan intervensi. Cultural humility, kemampuan mempertahankan sikap interpersonal yang berorientasi pada orang lain. Cultural opportunities, memahami identitas dan latar belakang pasien. Cultural comfort, merasa nyaman berinteraksi dengan berbagai macam manusia, cara membangun kenyamanan adalah terbiasa bergaul dengan manusia dari berbagai macam jenis.”