Arsip:

SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan

Fakultas Psikologi UGM Berkontribusi pada Pencapaian SDGs Melalui Penelitian Kesejahteraan Finansial

Yogyakarta, 13 November 2024 — Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dengan melakukan penelitian adaptasi alat ukur kesejahteraan finansial. Penelitian ini berfokus pada kelas menengah yang sedang berkembang di Indonesia, yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengadaptasi Financial Well-Being Scale yang dikembangkan oleh Consumer Financial Protection Bureau (CFPB), guna mengukur kesejahteraan finansial dalam konteks budaya dan sosial ekonomi Indonesia. Alat ukur ini tidak hanya menilai kondisi finansial secara objektif, tetapi juga mencakup persepsi individu terkait keamanan dan kebebasan finansial.

“Melalui penelitian ini, kami berharap dapat memberikan kontribusi nyata bagi kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” ujar Rahmat Hidayat, Ph.D., peneliti utama dari Fakultas Psikologi UGM. “Ini sejalan dengan komitmen UGM untuk berperan aktif dalam pencapaian SDGs, khususnya SDG 1 (Tanpa Kemiskinan), SDG 3 (Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan), dan SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi).”

Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala yang telah diadaptasi memiliki validitas dan reliabilitas yang baik, dengan Cronbach’s alpha sebesar 0,692 dan McDonald’s omega sebesar 0,701. Skala ini dapat menjadi alat yang andal untuk menilai kesejahteraan finansial di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan yang lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini juga mendukung SDG 10 (Mengurangi Kesenjangan) dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan finansial di kalangan kelas menengah. Melalui pendekatan kolaboratif, Fakultas Psikologi UGM berupaya mendorong kemitraan strategis untuk mencapai SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan), baik di tingkat nasional maupun internasional.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai penelitian ini, silakan hubungi Fakultas Psikologi UGM di r.hidayat@ugm.ac.id.

Simbah Bercerita, Memperkuat Ikatan Lintas Generasi dan Mendukung SDGs

Program Duta Lansia Istimewa (DLI) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Center for Life-Span Development (CLSD) telah meluncurkan berbagai inisiatif yang mendukung pemberdayaan lansia di Yogyakarta. Salah satu inisiatif unggulan pada Juli 2024 adalah Simbah Bercerita, suatu kegiatan yang menghubungkan lansia dengan generasi muda melalui kisah dan pengalaman hidup. Program tersebut tidak hanya memfasilitasi pertukaran pengetahuan lintas generasi, tetapi juga berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang berfokus pada pendidikan berkualitas (SDG 4), kesetaraan gender (SDG 5), dan pengurangan ketimpangan (SDG 10).

Program Simbah Bercerita bertujuan untuk menggali dan membagikan kearifan lokal yang dimiliki oleh para lansia kepada generasi yang lebih muda. Kegiatan tersebut dilakukan di berbagai lokasi, seperti Kelurahan Giwangan dan Museum Sandi Yogyakarta, dengan melibatkan Duta Lansia sebagai narator yang bercerita kepada anak-anak dan remaja. Setiap pertemuan dihadiri oleh puluhan peserta, baik dewasa maupun generasi muda, yang antusias mendengarkan cerita tentang nilai-nilai tradisional, sejarah lokal, hingga pengalaman hidup yang inspiratif.

Sebagai contoh, pada tanggal 11 Juli, Edy Muhammad, salah satu Duta Lansia, memimpin sesi di Kelurahan Giwangan, Yogyakarta, yang dihadiri oleh 24 peserta. Melalui cerita yang disampaikan dengan penuh penghayatan, peserta muda dapat belajar dari pengalaman Bapak Edy dan lansia lainnya mengenai masa lalu Yogyakarta, tradisi budaya yang hampir punah, dan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur. Kegiatan seperti ini berfungsi sebagai jembatan antar generasi, memperkuat hubungan sosial, sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai kebudayaan yang mulai terlupakan.

Simbah Bercerita secara langsung berkontribusi terhadap pencapaian SDG 4, yang bertujuan memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan merata. Meskipun bukan kegiatan formal pendidikan, sesi bercerita tersebut memberikan pembelajaran berbasis pengalaman yang kaya akan nilai-nilai sosial dan budaya. Anak-anak yang hadir tidak hanya mendapatkan informasi baru, tetapi juga belajar mengenai pentingnya menghormati lansia dan menjaga hubungan antar generasi. Dalam konteks global, kegiatan tersebut sejalan dengan upaya memperkuat pendidikan yang lebih luas, di mana transfer pengetahuan dan nilai melalui interaksi sosial menjadi salah satu elemen penting.

Di samping itu, program tersebut juga berhubungan dengan SDG 5, yaitu kesetaraan gender. Kegiatan Simbah Bercerita melibatkan lansia dari berbagai latar belakang gender untuk berperan sebagai narator, termasuk perempuan lansia yang selama ini jarang mendapatkan platform untuk berbagi cerita. Hal ini penting dalam memperkuat posisi perempuan lansia di masyarakat, mengingat mereka seringkali menghadapi marginalisasi sosial dan ekonomi. Dengan terlibat aktif dalam kegiatan tersebut, perempuan lansia diberi kesempatan untuk tampil sebagai tokoh penting yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat.

Lebih jauh lagi, Simbah Bercerita juga mendukung SDG 10, yaitu pengurangan ketimpangan, dengan memberikan kesempatan kepada lansia dari berbagai latar belakang sosial ekonomi untuk berpartisipasi aktif. Kegiatan tersebut dilaksanakan di berbagai lokasi yang mencakup wilayah perkotaan dan semi-perkotaan, yang bertujuan memastikan bahwa setiap lansia memiliki akses yang sama untuk menyampaikan kisah mereka. Dengan memfasilitasi ruang bagi para lansia untuk berbagi cerita, program tersebut membantu mengurangi ketimpangan dalam hal partisipasi sosial dan budaya di kalangan lansia, khususnya mereka yang jarang mendapatkan sorotan dalam aktivitas masyarakat.

Tidak hanya bermanfaat bagi anak-anak dan generasi muda, kegiatan Simbah Bercerita juga memiliki dampak positif bagi para lansia. Melalui kesempatan untuk bercerita, para lansia merasa dihargai dan diakui perannya dalam masyarakat. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri serta kesejahteraan emosional Merika yang seringkali berkurang seiring bertambahnya usia. Dengan mendapatkan kesempatan untuk berbagi, para lansia juga merasa lebih terhubung dengan komunitas mereka, sehingga mengurangi rasa kesepian yang seringkali dialami oleh banyak lansia.

Sesi-sesi Simbah Bercerita juga memberikan ruang bagi lansia untuk menghidupkan kembali memori kolektif mereka, yang dapat berfungsi sebagai bentuk terapi kognitif yang tidak formal. Lansia yang terlibat dalam bercerita menggunakan kemampuan kognitif mereka untuk mengingat detail dari pengalaman masa lalu, yang pada akhirnya membantu mempertahankan fungsi otak mereka. Melalui interaksi sosial yang terjalin, mereka juga merasa lebih berenergi dan termotivasi untuk terus berpartisipasi dalam kegiatan sosial lainnya.

Walaupun program Simbah Bercerita telah berjalan dengan baik, terdapat sejumlah tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah keberlanjutan program dalam hal pendanaan dan logistik. Laporan pengeluaran menunjukkan bahwa setiap kegiatan membutuhkan biaya untuk honorarium Duta Lansia dan kader, serta dukungan administrasi dan logistik lainnya. Oleh sebab itu, kerja sama lebih lanjut dengan pihak swasta maupun pemerintah sangat dibutuhkan untuk memastikan program tersebut dapat terus berjalan.

Selain itu, program tersebut masih memiliki potensi untuk diperluas. Salah satu peluang ke depan adalah memperkenalkan teknologi sebagai bagian dari program tersebut, seperti dengan merekam sesi bercerita dan menyebarkannya melalui media sosial atau platform digital. Hal tersebut akan memungkinkan lebih banyak orang, khususnya mereka yang tidak dapat hadir langsung, untuk menikmati cerita-cerita tersebut dan mendapatkan manfaat dari nilai-nilai budaya yang dibagikan.

Simbah Bercerita merupakan inisiatif yang sangat berharga dalam memperkuat hubungan antar generasi, menghidupkan kembali kearifan lokal, serta mendukung pencapaian SDGs, khususnya dalam bidang pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, dan pengurangan ketimpangan. Melalui program tersebut, para lansia tidak hanya menjadi narator yang membagikan kisah mereka, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk terus terlibat aktif dalam masyarakat. Dengan dukungan yang berkelanjutan dari berbagai pihak, program Simbah Bercerita diharapkan dapat terus berkembang serta memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

Pembinaan Duta Lansia Istimewa Melalui Kegiatan Obat Jawara Untuk Membangun Kesehatan Lansia

Pada bulan Juli 2024, program Duta Lansia Istimewa (DLI) kembali menjalankan salah satu inisiatif unggulannya, yaitu Obah Tresna Jiwa lan Raga (Obat Jawara). Program tersebut merupakan bagian dari rangkaian pembinaan DLI yang diinisiasi oleh Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan Obat Jawara bertujuan untuk memberikan perhatian khusus pada kesejahteraan lansia, khususnya dalam menjaga kesehatan fisik, mental, dan sosial mereka. Selain itu, program tersebut juga secara langsung mendukung berbagai poin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya yang berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan (SDG 3), kesetaraan gender (SDG 5), serta pengurangan ketimpangan (SDG 10).

Selama bulan Juli, kegiatan Obat Jawara dilaksanakan di berbagai lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melibatkan sembilan pertemuan. Setiap pertemuan dihadiri oleh lansia dari berbagai daerah, dan dikoordinasikan oleh para Duta Lansia Istimewa yang berasal dari kota yang berbeda. Pertemuan pertama yang dilaksanakan di BKL Wreda Cemara RW 20 Candibinangun Pakem, Sleman (4/7) dihadiri oleh 30 peserta. Kegiatan tersebut kemudian berlanjut ke berbagai lokasi seperti Posyandu Keji Beling VII, Puskesmas Umbulharjo, serta beberapa wilayah lainnya di Yogyakarta dan Bantul. Jumlah peserta dalam setiap pertemuan bervariasi, mulai dari 27 hingga 55 peserta, yang menunjukkan minat dan partisipasi aktif dari komunitas lansia setempat.

Program Obat Jawara berfokus pada peningkatan kualitas hidup lansia dengan pendekatan holistik. Dalam setiap pertemuan, berbagai kegiatan disusun untuk mengajak para lansia berpartisipasi dalam senam lansia, konsultasi kesehatan, dan diskusi tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisik. Aktivitas tersebut tidak hanya membantu meningkatkan kesehatan fisik, tetapi juga memperkuat hubungan sosial di antara para lansia, mengurangi rasa kesepian, dan mendukung kesehatan mental mereka.

Kegiatan Obat Jawara sangat relevan dengan pencapaian SDG 3, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia. Dengan memberikan akses kepada lansia untuk berkonsultasi tentang kesehatan fisik dan mental, serta mengadakan kegiatan yang mempromosikan gaya hidup sehat, program tersebut mendukung terciptanya populasi lansia yang lebih sehat dan berdaya. Hal tersebut penting mengingat peningkatan jumlah populasi lansia di Indonesia dan tantangan yang mereka hadapi dalam hal akses layanan kesehatan dan dukungan sosial.

Di sisi lain, program tersebut juga mendukung pencapaian SDG 5 yang berfokus pada kesetaraan gender. Sebagian besar peserta yang hadir dalam program Obat Jawara adalah perempuan lansia yang kerap kali menghadapi tantangan ganda dalam hal kesehatan dan akses terhadap layanan. Dengan memastikan bahwa mereka mendapatkan perhatian yang setara dan akses yang sama terhadap layanan kesehatan, program tersebut berkontribusi pada penguatan posisi perempuan lansia di komunitas mereka.

Selain itu, kegiatan tersebut juga berperan dalam mendukung SDG 10, yaitu mengurangi ketimpangan, dengan memberikan perhatian khusus kepada lansia dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial. Kegiatan tersebut diadakan di berbagai lokasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk di daerah-daerah yang memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan yang memadai. Dengan demikian, program Obat Jawara berupaya untuk mengurangi kesenjangan akses layanan kesehatan yang sering dihadapi oleh lansia, khususnya mereka yang tinggal di daerah-daerah dengan fasilitas kesehatan yang terbatas.

Walaupun program tersebut telah berhasil menjangkau puluhan peserta dalam setiap pertemuan, terdapat sejumlah tantangan yang perlu dihadapi di masa mendatang. Salah satu tantangan utama adalah kesinambungan program, khususnya dalam hal pendanaan dan dukungan logistik. Setiap pertemuan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, terutama untuk subsidi konsumsi dan penyediaan sarana kegiatan. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerjasama yang lebih luas, baik dengan pemerintah maupun pihak swasta, untuk memastikan program tersebut dapat terus berjalan dan menjangkau lebih banyak lansia. Harapan ke depan adalah agar program Obat Jawara dapat diperluas ke lebih banyak daerah, sehingga lebih banyak lansia yang dapat merasakan manfaat dari kegiatan tersebut. 

Kegiatan Obat Jawara yang diinisiasi oleh DLI dan CLSD merupakan contoh nyata dari upaya pemberdayaan lansia yang terintegrasi dengan pencapaian SDGs. Dengan mempromosikan kesehatan fisik dan mental, kesetaraan gender, serta pengurangan ketimpangan sosial, program tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan lansia di Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, untuk memastikan keberlanjutan dan perluasan program tersebut, dibutuhkan komitmen yang lebih besar dari berbagai pihak, seperti pemerintah, masyarakat setempat, dan sektor swasta. Dengan demikian, diharapkan program tersebut dapat terus menjadi wadah bagi para lansia untuk tetap aktif, sehat, dan berdaya, sekaligus mendukung tercapainya tujuan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Narasi Kecantikan Nusantara sebagai Gerakan Feminisme Poskolonial

Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menggelar Angkringan 11 bertajuk “Narasi Kecantikan Nusantara sebagai gerakan Feminisme Poskolonial” pada hari Jumat, (30/8). Webinar yang digelar secara online ini membahas secara detail pengaruh kolonialisme dalam membentuk standar kecantikan perempuan Indonesia.

Hadir sebagai narasumber alumni Fakultas Filsafat UGM, Antika Widya Putri. Antika mengatakan, “Kolonialisme menjadi salah satu fenomena historis yang paling berpengaruh bahkan sampai saat ini karena meninggalkan jejak mendalam, salah satu pengaruhnya yakni dalam hal penentuan standar kecantikan”.

“Awalnya, karya kesusastraan jawa Sragen Dini pada abad ke-19 mendefinisikan kecantikan perempuan Indonesia dengan rambut hitam berkilau, kulit kuning bersih, dada bidang, dan leher jenjang. Namun hal itu berubah saat masa kolonialisme, dimana standar kecantikan menjadi berkulit putih bersih, bertubuh langsing, tinggi semampai, dan berhidung mancung. Hal tersebut diperkuat dengan data ZAP Beauty Index 2020 yang menyatakan bahwa 82.5% responden perempuan di Indonesia memiliki kepercayaan bahwa kulit bersih, cerah, dan glowing merupakan definisi dari cantik,” lanjut Antika.

Standar kecantikan yang berkiblat pada Barat memberikan efek negatif bagi perempuan Indonesia. Antika menjelaskan, “Perempuan Indonesia yang tidak memenuhi standar kecantikan merasa terdiskriminasi. Oleh karena itu, mereka berusaha lebih keras lagi untuk memaksa tubuhnya menjadi cantik melalui treatment-treatment yang terkadang justru berakibat buruk bagi kesehatan fisik. Padahal sebenarnya, kecantikan Timur memiliki keunikan dan pesona tersendiri. Selain itu, kecantikan Timur semakin disempurnakan oleh tingkah laku yang baik, sopan, serta selalu menjunjung tinggi keselarasan antara jiwa dan raga. Kecantikan Timur perlu dibanggakan karena menyangkut representatif keragaman dan keunikan”.

Antika memberikan saran yang dapat diterapkan agar masyarakat Indonesia kembali menjadikan standar kecantikan nusantara sebagai kiblat, “Kita perlu meningkatkan kesadaran dan sosialisasi mengenai kecantikan yang beragam, membangun solidaritas dan dukungan antar perempuan dalam menghadapi tekanan dan ekspektasi mengenai penampilan, dan mendukung inisiatif dan upaya yang bertujuan untuk merangkul keberagaman dalam industri kecantikan dan media”, pungkasnya.

Penulis : Relung Fajar Sukmawati

Angkringan 10 : Dekolonisasi dalam Narasi Hubungan Makassar-Marege di Indonesia dan Australia

Menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78, Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan Angringan 10 bertajuk “Dekolonisasi dalam Narasi Hubungan Makassar-Marege di Indonesia dan Australia. Webinar online yang diadakan pada hari Jumat (16/08) ini mengundang Co-founder Marege Institute, Fikri Yathir, sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman refleksivitasnya dalam memilih dan memilah sumber, data, dan temuan dalam penelitian dengan isu dekolonisasi.

Fikri membahas pentingnya perspektif dalam memahami dekolonisasi, “Perspektif berbeda dengan representatif. Representatif cenderung memandang hal fisik yang tampak sebagai perwakilan dekolonisasi, sementara perspektif melibatkan sudut pandang tertentu untuk memahami atau memaknai sesuatu dengan menyimak teks dan konteks”.

Aspek pengakuan juga penting dalam kajian dekolonisasi, Fikri menjelaskan, “Dekolonisasi tidak resmi terjadi tanpa adanya pengakuan dan keberpihakan. Contoh sederhana adalah pengakuan suku Amborigin di Australia dengan mengibarkan bendera Amborigin di hampir semua gedung-gedung pemerintahan”.

“Dalam konteks narasi hubungan Makassar-Marege di Indonesia dan Australia, saya mengangkat cerita Saribanong yang berkontribusi mempertemukan dua negara lagi pada tahun 1986 setelah 79 tahun tidak berinteraksi sejak berlakunya peraturan pemerintah yang menetapkan pajak bagi pelaut yang memasuki pelayaran teripang. Sayangnya, cerita tentang Saribanong tidak pernah ada di literasi manapun,” lanjut Fikri.

Aspek terakhir yang tidak kalah penting dalam diskursus dekolonisasi adalah kurasi. Fikri menerangkan, “Hal pertama yang saya kurasi adalah diri sendiri karena saya berperan sebagai orang Makassar sekaligus peneliti. Oleh karena itu, saya harus berusaha keras untuk menghulangkan bias-bias yang ada”.

“Literatur juga perlu dikurasi, mencari yang sesuai dengan topik pembahasan riset. Selanjutnya yang perlu dikurasi ada teks, konteks, History vs history, past history vs recent history, arsip empiris, dan arsip memori”.

Fikri menegaskan di akhir webinar, “Proses dekolonisasi bersifat berkelanjutan agar selalu relevant. Tugas peneliti adalah menghadirkasi narasi-narasi pembanding atau naratif karena dekolonial bukan hanya dekonstruksi namun juga rekonstruksi. Refleksi personal penting karena ini akan menentukan sudut pandang, keberpihakan, pemilihan keputusan, dan cara bekerja. Jadi tidak hanya berdampak personal tapi juga profesional”.

 

Penulis : Relung Fajar Sukmawati

Industri Garmen: Kontribusi Besar dengan Tantangan Kesejahteraan Pekerja

Industri garmen berhasil mencatatkan diri sebagai salah satu kontributor utama dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2022. Data dari Survei Tahunan Perusahaan Industri Manufaktur (STPIM) 2020 yang dilakukan oleh Direktorat Statistik Industri menunjukkan bahwa sektor ini menyumbang 7,31 persen dari total industri manufaktur, berada di bawah industri makanan. Di sektor ketenagakerjaan, industri tekstil menyerap 12,65 persen tenaga kerja manufaktur, menjadikannya salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia.

Namun, di balik kontribusi ekonomi yang signifikan, ada kenyataan pahit di sektor ini. Tuntutan produksi yang tinggi seringkali diiringi oleh praktik pendisiplinan yang menekan para pekerja, khususnya pekerja wanita. Pendisiplinan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja justru sering menambah beban stres dan berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik pekerja.

Isu multidimensional ini membuat mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada angkatan 2022 yang terdiri dari Dyan Dhanandjaya Pambudi, Allodya Vanesh Marcella, M. Fazle Mawla Prajadiredja, dan Nur Latifah, serta Elin A. Wulandari dari Fakultas Ilmu Budaya Studi Sastra Indonesia angkatan 2022 tergerak untuk menegakkan pentingnya kesehatan jiwa raga dalam industri garmen Indonesia melalui Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora. Mereka bersama Ardian Rahman Afandi, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing mengangkat judul Dominasi Wanita dalam Industri Garmen: Tuntutan Kerja dan Pendisiplinan terhadap Produktivitas Pekerja Manufaktur Wanita.

Menggunakan Mixed method sequential, selama empat bulan mereka mengidentifikasi pengalaman pekerja wanita terhadap tindakan pendisiplinan yang dilakukan di pabrik garmen dan dampaknya terhadap produktivitas. Menggunakan LMX-MDM, Role of Stress, dan Individual Work Performance Questionnaire sebagai instrumen, diharapkan penelitian ini dapat dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika antara tindakan pendisiplinan, stres kerja, dan kinerja, serta bagaimana pengalaman pekerja wanita berdampak terhadap produktivitas pekerja

Data dari survei 208 partisipan menunjukkan adanya hubungan signifikan antara tingginya tingkat stres kerja dan rendahnya produktivitas. “Pendisiplinan sering dilakukan dengan cara-cara yang kasar dan merendahkan, yang bertujuan memenuhi target produksi tetapi pada kenyataannya menimbulkan tekanan mental yang berkepanjangan.”, ungkap Dyan selaku ketua peneliti.

Selain itu, isu ketidakadilan di tempat kerja juga semakin memberatkan para pekerja wanita, yang tidak hanya menghadapi perbedaan upah, pelecehan seksual, dan kondisi kerja yang buruk, tetapi juga beban sosial sebagai pengurus rumah tangga. Stres yang terus menumpuk menyebabkan masalah kesehatan fisik seperti gangguan psikosomatis, kelelahan kronis, hingga kecelakaan kerja.

Temuan ini menggugah perlunya pendekatan manajemen yang lebih manusiawi di industri garmen. Pemerintah, pemilik pabrik, dan pihak terkait harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, di mana kesejahteraan mental dan fisik pekerja menjadi prioritas, bukan sekadar produksi dan efisiensi.

Penulis: Fathia Zalfa Khairani

Tim PKM K UGM Kembangkan Permainan Augmented Reality “Dakdokkonkan” untuk Tingkatkan Literasi Anak Usia Dini

Kemampuan literasi pada anak usia dini memegang peran kunci dalam perkembangan akademik mereka di masa depan. Data dari Rapor Pendidikan Indonesia (2023) menunjukkan bahwa 39% siswa sekolah dasar masih berada di bawah standar literasi yang diharapkan. Menyadari pentingnya peningkatan literasi, tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) berinovasi melalui permainan edukatif Dakdokkonkan.

Najla Ega Amalia, Ketua Tim PKM, menjelaskan, “Kondisi literasi yang masih perlu ditingkatkan ini mendorong kami untuk menciptakan Dakdokkonkan, sebuah permainan edukatif yang tidak hanya menyenangkan tetapi juga berperan dalam peningkatan literasi dan fokus anak usia dini”.

Tim ini dibimbingan oleh Dina Natasari, S.E., M.Si, Ak., yang diketuai Najla Ega Amalia (Psikologi, 2021), dan anggota Karita Dwi Oktavia (Sekolah Vokasi/DEB, 2022), Aditya Ramadhan (Teknologi Informasi, 2020), dan Anindya Verawati (Psikologi, 2022).

Dakdokkonkan dikembangkan sebagai adaptasi modern dari dakon tradisional yang dilengkapi dengan fitur Augmented Reality (AR) untuk pengalaman belajar yang interaktif dan efektif bagi anak usia dini.

Fitur AR memungkinkan interaksi melalui pertanyaan yang muncul ketika pemain meletakkan biji terakhir di lubang yang ditandai. Tidak hanya itu, penilaian otomatis akan muncul ketika pemain menjawab dengan benar.

Permainan ini memadukan cerita fabel dengan tiga latar belakang berbeda, yang mengisahkan petualangan dua tokoh utama dalam menyelesaikan misi. Setiap cerita mengandung nilai moral dan melatih kemampuan penyelesaian masalah anak melalui pertanyaan yang disampaikan di setiap tantangan.

Dalam satu paket permainan Dakdokkonkan, tersedia papan dakon beserta bijinya, buku cerita, panduan bermain, dan stiker karakter fabel yang bisa ditempel di papan dakon sesuai kreativitas masing-masing anak. Selain melatih kreativitas, stiker ini juga berfungsi sebagai media hiburan.

Tim Dakdokkonkan saat ini tengah menjajaki kerja sama dengan komunitas permainan anak-anak dan instansi pendidikan guna memperluas dampak edukasi dan meningkatkan semangat literasi. Permainan ini telah tersedia di marketplace Tokopedia, serta dapat diikuti di berbagai media sosial Instagram, TikTok, YouTube, dan Facebook dengan username @pkmkugm_dakonedukasi.

Penulis: Tim PKM-K “Dakdokkonkan” Dakon Edukasi

Editor: Erna Tri Nofiyana

Mahasiswa UGM dan Ubhara Jaya Berbagi Wawasan dalam Diskusi Psikologi Lintas Universitas

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyambut kunjungan Muhibah Psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) pada Rabu (17/7) di Selasar Gedung D.  Kegiatan bertema “Psikologi Tanpa Batas: Muhibah Psikologi ke Yogyakarta Lintas Universitas” ini merupakan bagian dari Program Kerja Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Psikologi Ubhara Jaya.

Kunjungan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang sistem keorganisasian, khususnya di Lembaga Mahasiswa (LM) Fakultas Psikologi UGM. Melalui kegiatan ini juga diharapkan dapat memperluas wawasan mahasiswa tentang berbagai aspek psikologi melalui pertukaran informasi dan diskusi dengan sesama mahasiswa. Selain itu, acara ini juga diharapkan dapat memperkuat jaringan kerja sama antara Fakultas Psikologi UBJ dan UGM.

Sebanyak 51 mahasiswa dan tiga dosen dari Ubhara Jaya berpartisipasi dalam kegiatan ini, yang juga diikuti oleh perwakilan LM Psikologi UGM, Badan Kegiatan Mahasiswa (BKM), komunitas, dan Forum Komunikasi (Forkom) mahasiswa Sarjana Fakultas Psikologi UGM.

Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., dalam sambutannya, menyampaikan apresiasi atas kunjungan ini. “Selamat datang di Fakultas Psikologi UGM. Interaksi seperti ini baik untuk kita bangun, untuk terus kita lakukan. Pertemuan antar mahasiswa seperti ini akan menambah kuatnya jejaring psikologi di Indonesia. Semoga nanti bisa saling menginspirasi,” ujarnya.

Sementara itu, Prof. Adi Fahrudin, Ph.D., Dekan Fakultas Psikologi Ubhara Jaya, mengungkapkan harapannya untuk kegiatan ini. “Kami berharap mahasiswa kami, membuka pikiran mereka, mengembangkan interaksi, kolaborasi dengan sesama mahasiswa psikologi,” ungkap Prof. Adi.

Prof. Adi juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam era saat ini. “Kolaborasi, interaksi, dan membangun relasi adalah kunci kemajuan di era sekarang. Kami berharap kolaborasi ini tidak hanya berhenti di sini tetapi dapat berkembang ke depannya,” tambahnya.

Kunjungan ini mencakup diskusi antar mahasiswa dari kedua universitas, serta tur ke berbagai BKM dan komunitas mahasiswa di Fakultas Psikologi UGM. Para peserta saling berbagi ide, inovasi, dan kreativitas yang diharapkan dapat memperkaya wawasan kedua belah pihak.

Penulis & Foto: Erna Tri Nofiyana

Psikologi Nusantara, Sudah Sampai Mana?

Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Angkringan ke-8 bertajuk Upaya Menemukenali Psikologi Nusantara, Jumat (12/7). Acara yang dilaksanakan secara daring ini bertujuan untuk merenungkan kembali upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam proses menemukenali psikologi nusantara, khususnya melalui pemikiran dekolonial. 

Olivia Hadiwirawan, Mahasiswi Doktor Ilmu Psikologi UGM hadir sebagai narasumber pada acara kali ini. Olivia mengajak peserta berpikir tentang realitas Indonesia, “Ketika menghadirkan realitas Indonesia, kita masih sering berkiblat pada naskah-naskah dekolonial yang ditulis oleh Belanda dimana Indonesia bukan menjadi subjek melainkan objek yang bergantung dengan subjek lainnya”. 

Olivia menjelaskan bahwa kehadiran suatu golongan atau negara pada suatu tempat mayoritas selalu diselubungi oleh niat politis yang mana dapat memengaruhi tempat yang menjadi objek, “Contoh kecil adalah gerakan Sekola Institute yang berawal dari tersingkirnya Orang Rimba karena kedatangan pihak tertentu yang memiliki muatan politis-ekonomis. Pendidikan dasar membuat keterpisahan peserta didik dari realitas keseharian masyarakat adat karena program dan aturan kaku dalam pendidikan sekolah formal berbeda dengan nilai-budaya di masyarakat adat. Solusinya, Sekola Institute menawarkan metode belajar kontekstual yang mampu menempatkan hakikat pengetahuan masyarakat adat sebagai subjek. Akibatnya, siswa Sekola Rimba justru dapat mengembangkan kemampuan krtitis karena memiliki kesadaran penuh tentang realitas kehidupan”.

Berbicara tentang posisi geopolitik-historis Psikologi Indonesia, Olivia menjabarkan, “Realitas yang terjadi saat ini dalam memahami manusia kita hanya berfokus pada individu itu sendiri dan cenderung mengabaikan kontribusi sistematik dan historis dalam persoalan psikologis. Padahal penyebab penderitaan juga tidak dapat dilepaskan dari akar sejarah, kultural, dan struktural yang ada”. 

“Salah satu cara untuk menempatkan kajian psikologi nusantara adalah meletakkan temuan-temuan yang sudah banyak dilakukan ke dalam narasi besar suatu bangsa dan tidak menjadikan suatu hegemoni,” ucap Olivia di akhir pemaparan materi. 

Penulis : Relung Fajar Sukmawati

Satu dari Lima Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi UGM Jalur SNBP Peroleh Beasiswa UKT 100%

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan komitmennya dalam mendukung akses pendidikan yang adil dan inklusif melalui penerapan Kebijakan Beasiswa UKT. Pada tahun akademik 2024/2025, sebanyak 22% mahasiswa baru yang diterima melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) di Fakultas Psikologi UGM mendapatkan subsidi UKT 100%. Sementara itu, 32% mahasiswa baru lainnya menerima subsidi UKT dengan besaran 75%, 50%, dan 25%.