Seminar Nasional Fakultas Psikologi UGM Bahas Artificial Intelligence dan Kaitannya dengan Pendidikan

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada resmi menutup rangkaian Dies Natalies ke-59 melalui Seminar Nasional bertajuk “Artificial Intelligence in Education: Kecerdasan Buatan dan Kaitannya dengan Masa Depan Pendidikan di Indonesia”, Senin (22/01). Seminar ini membuka wawasan baru tentang peran kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan saat ini.  

Smita Dinakaramani, S.Psi., M.Psi., Psikolog, berujar dalam sambutannya, “Berbagai perubahan yang terjadi terutama dalam bidang teknologi sudah seyogyanya semakin mendekatkan manusia pada sifat bestari, yaitu keluasan ilmu yang turut serta diimbangi oleh baiknya pendidikan dan luhurnya budi pekerti. Semua itu tidak lain guna membangun negeri”.  

“Jika diamati dari sudut pandang positif, perkembangan Artificial Intelligence (AI) akan mempercepat tercapainya SDGs point ke-4, pendidikan berkualitas yang inklusif dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia,” lanjut Dr. Sumaryono, M.Si., Psikolog. 

Narasumber pertama, Ir. Noor Akhmad Setiawan, ST., M.T., P.h.D., IPM., merupakan dosen Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada yang sudah mempelajari AI sejak tahun 2000. Beliau menjelaskan, “Sederhananya, pembuatan AI dilakukan agar mesin dapat memiliki kecerdasan sebagaimana manusia dengan memanfaatkan big data tanpa melibatkan kesadaran”. 

AI disinyalir sebagai teknologi bermata dua. Dalam paparannya, Noor menjelaskan bahwa Elon Musk menganggap AI lebih berbahaya daripada Korea Utara. Ancaman AI dapat ditekan dengan lebih banyak memfokuskan pada aspek positif, “AI dapat dimanfaatkan untuk menyurvei potensi kemiskinan, alokasi pesawat landing, penentuan harga tiket, penemuan vaksin, pengadaan robot untuk membantu tugas para buruh pabrik, dan manfaat lain yang dapat mempermudah serta mempercepat kerja manusia”, jelas Noor.  

AI memiliki keterkaitan dengan keilmuan psikologi, apakah di masa depan para ilmuwan psikologi akan menelisik dan membicarakan sistem kejiwaan dari mesin. Berkenaan dengan jenis AI, Noor menerangkan, “Jenis AI generalize (strong) memiliki tujuan untuk menjadikan mesin sama persis sebagaimana manusia, AI jenis ini disepakati memiliki efek negatif yang tinggi. Sementara AI narrow memiliki kebermanfaatan lebih spesifik, seperti alat pendeteksi depresi, dsb”.  

Lebih lanjut Noor menerangkan, “Psikolog perlu menguasai AI di kehidupan mendatang. Guna meminimalisir dampak buruk, psikolog yang menggunakan teknologi AI perlu memiliki sertifikasi khusus yang nantinya bertanggung jawab atas proses penggunaan AI, mengingat AI rawan eror karena hanya berdasarkan big data yang diinput. Meskipun nantinya AI turut digunakan dalam proses konseling, tetap ada beberapa hal yang tidak dapat dilakukan oleh teknologi AI. Seperti empati, kemanusiaan, dsb”. 

Narasumber kedua, Indrayanti, M.Si., Ph.D., Psikolog, merupakan dosen Fakultas Psikologi UGM. Beliau menjelaskan tentang integrasi antara AI dan keilmuan psikologi. Al dapat menggantikan tugas mental, bukan jiwa, “Psikologi mengandung dua unsur, mental dan jiwa. Mental merupakan aktivitas berpikir, merasa, dan bertindak yang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat (otak). Beberapa layanan psikologi yang berkenaan dengan proses mental dapat digantikan oleh AI, namun proses jiwa hanya dapat dilakukan oleh manusia,” jelas Indrayanti. 

Chat GPT, salah satu jenis AI yang saat ini gencar digunakan oleh penyedia jasa layanan konseling. Chat GPT berguna sebagai Pertolongan Pertama Psikologi bagi orang yang membutuhkan, “Seseorang yang sedang berada dalam kondisi tidak baik, raganya ada di suatu tempat tetapi pikiran berada di tempat lainnya. Jika pikiran ini tidak dicounter dengan baik, maka akan semakin berbahaya. Itulah mengapa Chat GBT dibutuhkan untuk membantu mengembalikan kesadaran orang yang bersangkutan,” terang Indrayanti 

Berkenaan dengan tantangan dan solusi yang ditawarkan, Indrayanti menyampaikan di akhir diskusi, “AI membuat lebih produktif karena turut membantu pekerjaan manusia, tetapi manusia (dalam hal ini psikolog) perlu melakukan re-correct terhadap output yang disuguhkan oleh AI guna menghindari bias. Pengabaian etika kemungkinan besar dapat terjadi, oleh karenanya privacy manusia perlu dijunjung tinggi. Nilai yang dijunjung harus baik, bermoral, dan bermanfaat”. 

 

Penulis : Relung