Raih Doktor Usai Kaji Kesadaran Kritis Tentang Ketidaksetaraan Ekonomi

Survei persepsi tentang ketidaksetaraan yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia tahun 2014 menunjukkan 40,6 persen memandang distribusi pendapatan di Indonesia amat tidak setara, 51 persen tidak setara, 6 persen setara dan 1 persen sangat setara. Dari survei tersebut mereka pun meyakini sebanyak 20 persen orang terkaya menguasai 38 persen total pendapatan atau setara dengan indeks gini 0,30.

Survei tersebut juga mengungkap soal faktor-faktor penentu kekayaan dan kemiskinan, diantaranya 41 persen meyakini bila kerja keras sebagai faktor penentu kekayaan, 5 persen peran penting bakat, 47 persen karena faktor-faktor eksternal penentu kekayaan (23 persen berasal dari keluarga kaya, 11 persen nasib baik, 5 persen koneksi, 5 persen pendidikan dan 2 persen dukungan keluarga), dan 9 persen memandang korupsi sebagai sumber kekayaan. Sedangkan soal penyebab kemiskinan sebagian besar responden merujuk pada sebab-sebab internal yaitu 34 persen memandang kemiskinan akibat kemalasan dan 9 persen disebabkan oleh ketiadaan bakat.

Selebihnya merujuk pada sebab-sebab eksternal, yaitu sebesar 22 persen karena kondisi keluarga yang miskin, 16 persen nasib buruk, 11 persen latar belakang pendidikan, 6 persen keluarga tidak mendukung dan 3 persen akibat kecacatan dan penyakit.

“Studi tersebut memperlihatkan ambivalensi pandangan orang Indonesia soal kemiskinan dan ketidaksetaraan, di satu sisi mereka menganggap persoalan kemiskinan dan ketidaksetaraan perlu segera diatasi, tetapi di sisi lain sebagian responden merujuk bila sebab-sebab individual dari kemiskinan, kemalasan dan ketidakmampuan sebesar 42 persen, sedangkan sebab-sebab fatalistik, seperti nasib buruk, kecacatan dan kesakitan mencapai 19 persen, dan hanya sebagian kecil yang merujuk sebab-sebab eksternal-struktural,” ujar Victorius Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Psi, di Fakultas Psikologi UGM, Selasa (30/7) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor.

Victorius Didik berpendapat  pandangan orang soal kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi dapat memperlihatkan perkembangan kesadaran sosial politik seseorang. Sebab, kesadaran kritis tentang ketidaksetaraan diduga dibentuk oleh aspirasi materialistik dan kecenderungan otoritarianisme.

“Oleh karena itu, penelitian dari disertasi ini bertujuan untuk mengetahui peran aspirasi materialistik dan otoritarianisme terhadap kesadaran kritis mengenai ketidaksetaraan,” ucapnya.

Dalam penelitiannya, kata Didik, kesadaran kritis tentang ketidaksetaraan diperiksa dengan alat ukur maupun tanggapan subjek atas pertanyaan mengenai perbedaan kaya miskin, sebab-sebab kemiskinan dan kekayaan, serta tanggapannya terhadap kesenjangan ekonomi dan gagasannya mengenai strategi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi. Penelitian dilakukan pada kelompok mahasiswa usia 19 -24 tahun.

“Penelitian pertama merupakan studi kuantitatif, pada penelitian ini ada 200 subjek dan hasil penelitian memperlihatkan bila aspirasi materialistik memperkuat rasa ketidakadilan terkait hak istimewa orang kaya. Baik otoritarianisme maupun aspirasi materialistik tidak berhubungan dengan tindakan kritis maupun rasa ketidakadilan terkait situasi miskin,” ucap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma tersebut.

Sedangkan studi kedua, kata Didik, merupakan studi kualitatif. Dalam studi ini memperlihatkan tanggapan responden (N=295) terhadap persoalan kemiskinan dan kesenjangan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk kesadaran sosial politik yaitu kesadaran fatalistik yang memandang kemiskinan dan kesenjangan sebagai hal yang lumrah. Kemudian kesadaran naif individualistik yang cenderung memandang persoalan dari segi kelemahan dan kekuatan individu serta kesadaran kritis yang memandang persoalan secara struktural sistemik. (Humas UGM/ Agung)