Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan kuliah daring bertajuk Mengarungi Dinamika Mahasiswa Baru: Bersama Kita Strong, Jumat (18/08). Moderator acara, Marsha Prifirani, menyapa seluruh peserta yang mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa baru. Sebelum pemaparan materi, Marsha menelisik lebih lanjut perasaan mahasiswa baru saat pertama kali memulai perkuliahan.
Narasumber pertama, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog mengatakan bahwa masa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perkuliahan memiliki perbedaan yang signifikan, baik dari aspek kebebasan individu, guru/dosen, struktur program, dan ujian. Hal tersebut mendorong mahasiswa untuk memiliki kemampuan manajemen waktu yang baik sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal.
Nurul memaparkan gambaran umum mahasiswa dari bulan pertama menjalani perkuliahan sampai menuju detik-detik akhir semester, “Tingkat stress mahasiswa dari bulan ke bulan semakin bertambah, akibatnya pola tidur ikut berkurang”.
Ketika terdapat perubahan dalam hidup, manusia mengalami masa transisi. Pergantian dari siswa menjadi mahasiswa mengalami begitu banyak transisi yang ada kalanya mengakibatkan krisis-krisis tertentu yang mana antara individu satu dengan individu lainnya terdapat perbedaan.
“Perbedaan individu dalam menghadapi masa krisis berdasarkan persepsi individu yang dibentuk oleh banyak hal, seperti pengalaman, pendidikan, dsb. Oleh karena itu, kita tidak boleh meremehkan seseorang yang merasa sangat stres karena krisis tertentu yang menurut kita ringan. Krisis A bagi kita kesulitannya berada di level 9, namun bagi B bisa saja tingkatannya turun di level 5. Setiap manusia memiliki laga perperangan yang berbeda”, jelas Nurul.
Selanjutnya, Nurul memaparkan urgensi kemampuan menyesuaikan diri di perguruan tinggi (college adjustment) sebagai upaya menghadapi masa transisi yang sedang terjadi. Penyesuaian diri di perguruan tinggi meliputi penyesuaian diri akademik, sosial, emosi personal, dan keterikatan emosional dengan institusi dan komunitas tempat individu belajar.
Narasumber kedua, Wirdatul Annisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menjelaskan berbagai faktor yang dapat memengaruhi kemampuan penyesuaian diri di perguruan tinggi.
“Persepsi kepada diri sendiri, persepsi terhadap lingkungan perguruan tinggi, kemampuan manajemen emosi, strategi pengelolaan stress, motivasi internal, kemampuan regulasi diri, dan dukungan sosial dapat menjadi faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan penyesuaian diri mahasiswa di perguruan diri”, terang Annisa.
Annisa mengatakan bahwa ketika mahasiswa berhadapan dengan lingkungan baru, peran baru, dan tugas baru, mereka sering merasa sendirian. Annisa menegaskan, “Kalian tidak sendiri, banyak yang juga merasakan sepi dan cemas. Tetapi karena sama-sama memendam perasaan itu, akibatnya jadi merasa sendiri”.
Salah satu cara yang dapat membantu mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri di perguruan tinggi adalah dukungan sosial. Lebih jelas Annisa menerangkan, “Dukungan sosial bukan hanya dari orang tua saja, tetapi dari teman satu angkatan, kakak tingkat, tenaga kependidikan, tenaga pengajar, dosen pembimbing akademik, konselor (sebaya, profesional), teman satu kos/asrama, dan keluarga”.
“Selain itu, ada juga cara lain yaitu menyeimbangkan antara belajar dan membangun jejaring sosial. Membangun jejaring sosial bisa dengan cara berpartisipasi dengan lingkungan baru, berkenalan dengan teman dan/atau kenalan baru, dan tergabung dalam komunitas sesuai dengan minat”.
Penulis : Relung