Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan kuliah daring dua jilid bertajuk “Nge-Barcode”, Solutif atau Maladaptif, Jumat (15/09) dan Selasa (26/09). Kuliah online dimoderatori oleh Anggit Nursasmito. Anggit memandu peserta kuliah online yang berasal dari kalangan mahasiswa, praktisi, dosen, dan guru untuk menjawab kuis yang berisi pengetahuan dan tanggapan mengenai perilaku “barcode”.
“Nge-barcode” merupakan salah satu perilaku Nonsuicidal Self Injury (NSSI), yaitu tindakan melukai diri tanpa niat bunuh diri dengan tujuan yang tidak disetujui secara sosial namun tidak sampai mendapatkan sanksi. NSSI dilakukan saat orang yang bersangkutan merasa kesulitan untuk mengatasi perasaan yang sulit dikelola, pikiran yang sangat mengganggu, atau memori peristiwa yang menyakitkan.
Narasumber pertama, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog, menjelaskan Perilaku NSSI dapat menjadi pola perilaku yang berulang dan membuat kecanduan, seseorang yang sudah pernah melakukan cenderung akan sulit berhenti dan mengandalkan perilaku tersebut sebagai coping stress karena memberikan efek lega.
“Berdasarkan penelitian, pravelensi usia yang melakukan perilaku “barcode” adalah remaja, dimulai pada usia 13 – 14 tahun dan mengalami peningkatan di usia 15 – 17 tahun. Kerentanan lebih tinggi terjadi pada orang dengan gejala klinis. Menurut penelitian lain juga disebutkan bahwa wanita lebih rentan melakukan NSSI”, jelas Nurul.
Narasumber lainnya pada kuliah online CPMH jilid dua, Wirdatul Annisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menjelaskan secara rinci perilaku melukai diri pada remaja dan media sosial, “Media sosial turut serta mempromosikan perilaku NSSI pada remaja yang rentan karena pesan-pesan negatif yang ditayangkan kemudian akhirnya ditiru dan diadopsi oleh remaja yang bersangkutan. Pesan- pesan negatif ini bisa berbentuk cerita pengalaman NSSI atau bahkan sampai pada percobaan bunuh diri”.
Selanjutnya, Annisa menjelaskan faktor-faktor risiko seseorang dapat melakukan NSSI, “Faktor risiko pertama adalah karakteristik yang rentan, seperti toleransi terhadap stres dan kemampuan yang rendah dalam mengatasi stres, kemampuan mengelola emosi yang tidak memadai, kritik yang tinggi terhadap diri sendiri, dan keberhargaan diri yang rendah. Sementara itu, terdapat pula kondisi- kondisi lain yang membuat seseorang menjadi rentan melukai diri sendiri. Seperti pengalaman yang tidak menyenangkan di masa kanak-kanak, pernah mengalami perundungan, ketidakmampuan mengungkapkan perasaan dan pikiran kepada orang lain, terdapat anggota keluarga atau teman sebaya yang melakukan NSSI, terpapar aktivitas NSSI di media sosial, dan memiliki gangguan jiwa”.
Annisa memaparkan upaya pemberian pertolongan pertama psikologis pada pelaku NSSI, “Cara pertama ketika pikiran untuk melukai diri sendiri hadir bisa dengan memberikan distraksi pada pikiran tersebut, meredakan gejala- gejala fisik, mengekspresikan emosi, mencari dukungan sosial, dan mengamankan benda- benda tajam dari jangkauan. Ketika kita menyaksikan terdapat orang- orang tertentu yang melakukan “bercode”, hal- hal yang dapat kita lakukan adalah mengidentifikasi luka akibat melukai diri sendiri lalu memberikan penanganan, mendengarkan tanpa menghakimi, dan memberikan rasa aman dan nyaman”.
Meminimalisir perilaku NSSI agar tidak semakin merebak dapat dilakukan melalui tindakan preventif, Annisa menjelaskan, “Kita yang berkecimpung di dunia kesehatan mental dapat mengedukasi remaja dan masyarakat dengan memberikan pengetahuan tentang cara menerima dan mengelola perasaan, meningkatkan keberhargaan diri, menjaga kesehatan fisik dan jiwa, meningkatkan keterampilan mengelola stress, memahami perilaku NSSI secara detail, mencari bantuan serta dukungan sosial, mempromosikan perilaku mencari bantuan ke profesional kesehatan mental, dan mensosialisasikan online social networking”.
Penulis : Relung