Rilis
Dosen Psikologi yang aktif di bidang teknologi ini memantik materi talkshow mengenai Generasi X dan Generasi Y. Generasi X merupakan individu yang lahir tahun 80-an. Sedangkan generasi Y merupakan individu kelahiran tahun 90-an. Ciri khas generasi Y tahun 90-an menurut Dr. Neila Ramdhani, M.Si., M.Ed. adalah tingginya tingkat kebutuhan diri terhadap teknologi. “Tangannya tidak pernah lepas dari handphone dan gadget,” tegas beliau. Sementara pada generasi X, individu cenderung membawa handphone lebih dari satu. “Indonesia banget ya,” ujar Dr. Neila Ramdhani, M.Si., M.Ed.
The Net Generation saat ini memang sudah bergaul dengan teknologi. Akan tetapi masih belum berpikir seperti gadget itu sendiri. Beliau mengilustrasikan hal ini dengan proses pengiriman email yang terjadi pada generasi X. Generasi ini cenderung mengirim email kemudian mengirimkan short message service pada penerima mengabarkan bahwa email sudah dikirim.
Materi dari beliau mengenai The Net Generation mengungkap perilaku generasi milenium pengguna teknologi dengan sedikit kemampuan untuk memproduksi dan memodifikasi. Tema ini mendapat sambutan hangat dari audiens. Bagi para pengunjung UGM Research Week & Innovation Expo 2012 yang penasaran pada talkshow ini dan ingin bertanya, maka para pengunjung dapat langsung menuju meja registrasi dan mengikuti talkshow wanita kelahiran Palembang ini. Para audiens talkshow kali itu cukup bervariasi. Terdiri dari mahasiswa-mahasiswa UGM, mahasiswa luar UGM, serta kalangan umum.
Talkshow dengan pembicara Dr. Neila Ramdhani, M.Si., M.Ed. dengan latar belakang pendidikan psikologi klinis dan psikologi pendidikan ini membuka talkshow Educating The Net Generation dengan manis. Beliau memberikan ice breaking pada para audiens dan mengajak audiens untuk bertepuk tangan dan mengentak-entakkan kaki di panggung secara berirama. Aksi ice breaking dosen Fakultas Psikologi UGM ini sempat membuat para pengunjung yang melewati panggung Graha Sabha Pramana terhenti sementara untuk menyaksikan.
Penelitian disertasi Rifa Hidayah yang berjudul “Model Kognitif Sosial Pemahaman Membaca Pada Anak” sukses dipertahankan di depan dewan penguji. Dewan penguji terdiri dari Prof. Dr. Faturrochman, M.A., Drs. Subandi, M.A., Ph.D, Prof. Dr. Saifuddin Azwar, M.A., Prof. Dr. Bimo Walgito, Prof. Dr. Sartini Nuryoto, Prof. Dr. Asmadi Alsa, dan Dr. Ratna Wulan, S.U.
Penelitian ini mengangkat permasalahan kurangnya kemampuan membaca pada anak dalam aspek pemahaman. Rifa Hidayah menemukan dari penelitian-penelitian sebelumnya bahwa skor kemampuan membaca anak-anak Indonesia masih berada di bawah rata-rata skor negara lainnya (Pirls, 2006; OECD PISA, 2006), OECD PISA, 2009). Selain penelitian luar negara, penelitian Hidayah (2011) juga menunjukkan bahwa siswa SD/MI di Malang memiliki pemahaman membaca yang rendah. Kurangnya pemahaman membaca pada anak ini terlihat pada fenomena siswa-siswa yang gagal pada Ujian Nasional di mata pelajaran Bahasa Indonesia (Kompas, 2010).
Sampel penelitian diambil dari populasi siswa kelas 5 SD dan MI di kota Malang yang tidak memiliki difabilitas, memiliki nilai rata-rata Bahasa Indonesia memenuhi standar penilaian sekolah, dan memiliki orang tua dengan pendidikan minimal SD. Hipotesis penelitian terdiri dari hipotesis mayor dan 13 hipotesis minor. Hipotesis mayor Rifa Hidayah adalah terdapat kesesuaian model teoretis pengaruh lingkungan literasi sekolah, literasi di rumah, keterlibatan orang tua, motivasi membaca, serta metakognisi membaca terhadap pemahaman membaca pada anak dengan data empiris.
Masing-masing penguji secara bergantian bertanya mengenai disertasi Rifa Hidayah, seperti misalnya alasan dan batasan pemilihan anggota sampel yaitu siswa SD dan MI, komponen-komponen pemahaman membaca, aplikasi model sosial kognitif Bandura pada proses pemahaman bacaan pada anak, hingga rekomendasi dari penelitian disertasi Rifa Hidayah untuk orang tua, guru, dan sekolah berupa pengembangan metode belajar mengajar dan mendidik anak untuk meningkatkan kemampuan pemahaman anak terhadap bacaan.
Ujian terbuka promosi doktor Rifa Hidayah pun ditutup dengan pesan dan kesan dari Prof. Dr. Th. Dicky Hastjarjo. Rifa Hidayah sekeluarga bersama promotor, ko-promotor, dan dewan penguji pun mengabadikan momen tersebut dalam berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.
Tingginya angka cerai gugat dibanding cerai talak mengisyaratkan bahwa terjadi persoalan mendasar dalam hubungan perkawinan. Ikatan perkawinan yang berakhir dengan perceraian tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk memahami bagaimana hubungan suami-istri dalam ikatan tersebut berkembang dan mempengaruhi perilaku masing-masing pasangan.
Asniar Khumas memaparkan daya tarik negatif yang mempengaruhi seorang istri menggugat cerai diantaranya kekerasan terhadap istri, ketidaksetiaan, dan kelalaian tanggungjawab seorang suami. Selanjutnya derajat kemantapan istri untuk mewujudkan putusnya hubungan suami istri dengan mengikuti prosedur hukum (undang-undang) yang berlaku di Indonesia, ia sebut sebagai intensi cerai. “Intensi cerai dipengaruhi oleh daya tarik negatif, hambatan bercerai, dan keyakinan akan hidup lebih baik setelah bercerai”, ungkapnya lebih lanjut saat mempertahankan disertasinya yang berjudul Model Penjelesan Intensi Cerai Perempuan.
Dari hasil penelitian yang melibatkan 197 subjek, dosen Universitas Negeri Makassar ini menyarankan pihak pengadilan perlu memperbaiki daftar isian sebab perceraian yang ada di Pengadilan. Daftar isian yang ada saat ini tidak memisahkan antara sebab perceraian dari pihak istri (cerai gugat) dan suami (cerai talak). Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) mewajibkan adanya proses mediasi pada perkara perdata dan proses mediasi dalam kasus perceraian ditangani oleh hakim. Sampai saat ini, hakim yang berperan sebagai mediator dalam mediasi sehingga tujuan yang diharapkan dari proses mediasi terkesan kurang optimal. “Hal itu menunjukkan perlunya Psikolog secara terstruktur di Pengadilan Indonesia, termasuk di Pengadilan Agama”, tuturnya lebih lanjut di ruang auditorium Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Dewan penguji terdiri dari Prof. Dr. Johana E. Prawitasari sebagai promotor, Prof. Dr. Sofia Retnowati, MS., dan Dr. Rahmat Hidayat, M.Sc., sebagai ko-promotor, Prof. Dr. Saifuddin Azwar, M.Sc., Prof. Dr. Siti Partini Suardiman, Dr. Tina Afiatin, M.Si, dan Dr. MG. Adiyanti, M.Si. Selamat dan sukses!
Disertasi yang berjudul “Perilaku Agresif Anak Ditinjau dari Persepsi Anak Terhadap Peristiwa Agresif, self Anak dan Jenis Kelamin” telah membawa peneliti mendapatkan gelar doktor ke 1674 UGM dengan hasil “memuaskan”.
Pengaruh media dan lingkungan sangat beperan dalam pembentukan perilaku anak. Tak terkecuali perilaku agresif yang dewasa ini semakin meningkat. Meningkatnya kasus-kasus agresivitas pada anak, memantik seorang mahasiswa program doktor Psikologi Universitas Gadjah Mada yaitu, I Gusti Ayu Agung Noviekayati untuk meneliti lebih dalam disertasinya. Penelitian ini berkunci pada perilaku agresif anak, persepsi anak mengenai aggressive exposure, the self, aggressive exposure, dan mengenai gender.
Dalam penelitian yang menggunakan teori kognitif social ini berkontribusi selain secara akademik terhadap pengembangan pengetahuan perilaku agresif pada anak, juga menyajikan penanganan yang bersifat praktis tentang bagaimana perilaku agresif tersebut dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Pada 27 Mei 2006 gempa bumi melanda wilayah Bantul, Yogyakarta dan menyiksakan masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini. Bencana tidak hanya menyebabkan kehilangan jiwa dan materi tetapi juga menyebabkan kehilangan pekerjaan dan atau kecacatan fisik yang mengganggu produktifitas masyarakat. Hal itulah yang mendorong Siti Urbayatun melakukan sebuah penelitian yang juga sebagai disertasinya pada Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan ini meneliti peran dukungan sosial, koping regilius-islami, dan stress terhadap pertumbuhan pasca trauma pada penyintas gempa yang mengalami cacat Fisik. Selain itu juga menguji peran kemandirian subjek dalam melakukan aktifitas hidup sehari-hari, peran variabel demografis terhadap pertumbuhan pasca trauma dan mengetahui dinamika psikologis subjek dalam mengatasi masalahnya. Sebanyak 105 laki-laki dan 158 perempuan berumur diatas 20 tahun dan beragama Islam terlibat dalam penelitian tersebut.
Siti Urbayatun menjelaskan pertumbuhan pasca trauma yang dimaksud adalah perubahan positif yang dialami individu setelah mengalami kejadian traumatis,diantaranya peningkatan dalam hubungan dengan orang lain, kekuatan personal, aspek spiritual-religius, dan kemungkinan baru (seperti wawasan tentang terapi bertambah, mendapat keterampilan, adanya tempat tinggal yang layak). Peran dukungan sosial dapat berupa bantuan dalam afeksi atau emosi, sarana dan pemberian kesempatan beraktifitas. Sedangkan koping religius-islami adalah cara individu mengatasi masalah yang bersumber dari ajaran Islam yang terdiri dari dzikir, sholat, sabar, syukur, dan tawakkal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model dukungan sosial menjadi moderator antara stres dengan koping regilius-islami lebih baik. Pada penyintas gempa yang mengalami cacat fisik hal yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan pasca trauma adalah melakukan strategi penyelesaian masalah dengan menerima kecacatan sebagai takdir. Dukungan dari sesama penderita cacat atau bertukar pikiran dengan teman-teman, beraktifitas di dalam maupun di luar rumah juga dapat membantu pertumbuhannya. Adapun subjek yang menghadapi masalah dengan berdiam diri, tergantung dan menunjukkan perasaan negatif maka cenderung mempunyai pertumbuhan pasca trauma yang rendah.
Tim penguji terdiri dari Prof. Dr. Faturochman, M.A., Prof. Dr. Saifuddin Azwar, Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam selaku promotor, Dr. Subandi, M.A. selaku ko-promotor, Dr. Murtini, S.U., Dr. Tina Afiatin, M.Si., Dr. Nanik Prihartanti, M.Si., dan Dr. Rahmat Hidayat, M.Sc.
Psikologi transpersonal sendiri merupakan ilmu baru di psikologi. Psikologi transpersonal dikembangkan berdasarkan pada komponen manusia yaitu body, mind, soul, dan spirit. Apabila terapi psikologi lain lebih banyak mengubah aspek-aspek yang dapat diamati, makapsikologi transpersonal berusaha untuk mengungkap ranah yang lebih dalam, yaitu jiwa. Psikologi transpersonal dapat dikatakan sebagai perpaduan ilmu psikologi dan bidang spiritual.Walaupun ilmu baru, menurut Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med. Sc., Ph.D psikologi transpersonal sudah menjadi salah satu mazhab atau aliran besar di psikologi.
Di awal acara “Psychospiritual Integrated Healing Therapy”, beliau dengan terampil mengajak seluruh peserta untuk saling membuka diri dan melakukan building rapport. Di sesi perkenalan awal ini beliau mengajak peserta untuk berbagi cerita mengenai motivasi hidup masing-masing. Peserta juga diajak untuk berlatih pernapasan dan relaksasi. Penggunaan relaksasi sendiri tidak terbatas hanya di psikologi transpersonal. Hampir semua tipe terapi psikologi memiliki unsur relaksasi.
Terapi transpersonal psikologi oleh dosen yang mengambil studi S3 di Universitat Hamburg Jerman ini menekankan mengenai mindfullness dan full-awareness. Beliau mengatakan,”Full-awareness itu lepas dari konsentrasi itu sendiri, sehingga balancing terjadi.” Sedangkan mindfullness merupakan bagaimana individu sadar penuh akan sekelilingnya. Sadar dengan tidak memaksa pikiran untuk berkonsentrasi, tetapi dengan let it flow.
Wanita asal Semarang kelahiran 29 Juni tergerak menggeluti bidang psikologi interpersonal sejak lama. Pasalnya,bidang psikologi ini cukup spesial. Penanganan aspek emosi dan kognitif yang tidak dikehendaki oleh individu seperti perasaan marah, sedih, kecewa, dan pikiran negatif tidak serta merta di-counter. Menurut psikologi transpersonal, akan lebih baik apabila individu mengakui dan mengijinkan emosi dan pemikiran tersebut ada. Asumsinya adalah tidak ada emosi dan pikiran yang negatif atau tidak baik. Hal itu hanya label dari manusia. Proses ini termasuk dalam konsep full-awareness dimana individu sadar penuh dengan apa yang terjadi dalam diri.
Psikologi transpersonal mengakui masing-masing sisi spesial individu, berupa nilai-nilai hidup, prinsip hidup, pemaknaan dari kejadian di masa lalu, agama, serta keyakinan. Penekanan pada aspek spiritual personal masing-masing individu inilah yang membuka aliran psikologi transpersonal, dimana timur dan barat bertemu.
Pelatihan dihadiri oleh sekitar 40 orang peserta. Sebagian besar peserta adalah mahasiswa Magister Profesi Psikologi. Peserta terlihat sangat antusias mengikuti pelatihan ini. Sebagian besar mengikuti seluruh sesi dari awal sampai akhir. Bahkan banyak peserta masih menyempatkan diri untuk bertanya dan berdiskusi dengan fasilitator setelah sesi pelatihan selesai, baik pada hari pertama maupun hari kedua.
Behavioral Activation Therapy, atau sering disebut "BA", adalah sebuah teknik terapi yang merupakan kombinasi dari behavioral therapy dan cogntive-behavioral therapy. Berbagai meta analisis terhadap penelitian randomized control trial dari metode terapi ini menunjukkan hasil yang memuaskan. Karena itu status efficacy dari teknik terapi ini adalah established, sehingga dapat digunakan sebagai sebuah metode terapi dalam praktek profesi psikolog.
Sekalipun demikian masih diperlukan berbagai penelitian untuk mengadaptasi teknik terapi ini dalam bebagai setting budaya. Karena itu salah satu tujuan kedatangan dari Ibu Ajeng adalah untuk merintis kerjasama di bidang penelitian, pelatihan, dan clinical supervision dengan Fakultas Psikologi UGM. Merespon hal ini, Bu Etty selaku direktur Magister Profesi menyelenggarakan pertemuan dengan Ibu Ajeng pada hari Kamis, jam 19.30-10.00, bertempat di University Club. Pembicaraan berlangsung dengan akrab namun produktif. Dari pembicaraan ini disepakati untuk mengembangkan kerjasama pada bidang-bidang tersebut. Selain itu disepakati bahwa Pak Rahmat akan mengkoordinir proses perintisan kerjasama selanjutnya dengan Center for Applied Behavioral health Research, the University of Wisconsin-Milwaukee.
(Rahmat Hidayat, Ph.D)
Ada hal yang patut menjadi perhatian kita jika kita melihat catatan prestasi bangsa Indonesia di bidang atletik. Ternyata, sepanjang catatan sejarah olimpiade dan kejuaraan dunia atletik, hanya pada tahun 1988 pelari cepat perorangan Indonesia dapat lolos ke semi final. Pernah suatu ketika kita berada di posisi juru kunci, padahal catatan itu memecahkan rekor pelari nasional. Kali ini, bidang ilmu psikologi berusaha mengambil peran untuk memahami dan sebisa mungkin memperbaiki prestasi bangsa di cabang olahraga ini, ya, psikologi berlari. Dengan ilmu psikologi kita memahami lebih jauh dinamika psikologis seorang atlet dalam mengaktualisasikan potensinya untuk berlari.
Pada hari Kamis tanggal 14 Juni yang lalu, Miftakhul Jannah, salah seorang mahasiswa Program Doktor Fakultas Psikologi UGM yang juga staf pengajar Universitas Negeri Surabaya (UNESA), mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian prestasi dalam bidang olahraga lari. Selama ini kita mungkin memahami kesuksesan seorang atlet hanya terkait kesiapan fisik, pengusaan teknik, dan penerapan taktik yang tepat. Sementara faktor psikologis atlet kita asumsikan sebagai faktor cateris paribus yang dianggap terkendali di berbagai situasi dan tidak akan terlalu mempengaruhi performa seorang pelari. Atau dengan kata lain, peran psikologi olahraga belum optimal untuk proses manajemen pelatihan atlet di Indonesia.
Dalam salah satu temuan disertasi Miftakhul Jannah yang berjudul Peran Konsentrasi, Kepercayaan Diri, Regulasi Emosi, Kemampuan Goal Setting, dan Resistensi terhadap Prestasi Pelari Cepat 100 Meter Perorangan, disampaiakan bahwa data 51 orang atlet lari 100 meter perorangan yang mengikuti POMNAS XII tahun 2011 menunjukkan bahwa regulasi emosi berpengaruh sangat kuat terhadap pencapaian prestasi atlet. Dalam sudut pandang psikologi, beararti dalam hal ini ada dinamika atlet dalam meregulasi stimulasi emosi yang diterima yang kemudian mempengaruhi pilihan strategi yang tepat untuk secara efektif mengerahkan segala potensinya untuk berlari. Efektivitas gerak inilah yang pada akhirnya mempengaruhi efisiensi waktu dalam sebuah kompetisi lari. Temuan ini merupakan sebuah bukti empirik tentang peranan ilmu psikologi dalam bidang olahraga yang tentunya dapat ditindaklanjuti dengan integrasi dan implementasi ilmu psikologi dalam proses pendampingan dan pelatihan atlet lari.