Arsip:

Rilis

Hasil Seleksi Pegawai Kontrak Fakultas Psikologi 2015

Terlampir daftar nama yang dinyatakan lolos interview Psikolog dan Interview User.

Pengadministrasi Umum (2)
1. Rini Puji Astuti
2. Sakti Ambarwati

Pengadministrasi Keuangan (3 orang)
1. Florentina Rusmawati
2. smiyati
3. Peny Nurwindi

Bagi yang namanya belum tertera, terimakasih atas partisipasinya selama proses awal hingga akhir.

 Bagi yang tertera namanya, mohon agar dapat hadir untuk mengikuti proses orientasi kerja di Fakultas Psikologi UGM pada:
Hari/Tanggal : Rabu/25 Februari 2015
Pukul : 07.00 – selesai
Keterangan : Menggunakan pakaian bebas pantas (Tidak menggunakan celana jeans)

Terimakasih atas kerjasama dan perhatian yang diberikan.

Fakultas Psikologi UGM Luluskan 29 Sarjana Psikologi

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada kembali meluluskan 29 sarjana pada wisuda periode 17 Februari 2015. Wisudawati berjumlah 19 perempuan dan wisudawan berjumlah 10 laki-laki. Hingga saat ini alumni sarjana berjumlah 4.521 orang. Acara pelepasan wisudawan bertempat di ruang auditorium fakultas.

Sebanyak 11 lulusan dinyatakan cumlaude. Mereka adalah Dila Rizkiana, Bina Decilena Syahidah, Sarah Kartika Pratiwi, A’yunin Akrimni Darojat, Pramudita Lintang Yusinta, Rico Andiansyah, Chatarina Setyowati, Mohammad Rieza Rakhman, Alfian Fajar Ramadhan, Amelinda Putri Arsita, dan Iftita Alanifta Dhammara.

Pada kesempatan tersebut, fakultas memberikan piagam penghargaan kepada wisudawan berprestasi. Kategori penghargaan akademik perolehan IPK tertinggi 3,71 diraih oleh Dila Rizkiana. Kategori lulusan tercepat dengan masa studi 4 tahun 2 bulan diraih oleh  Sarah Kartika Pratiwi.

Selamat dan sukses.

Seribu orang menghadiri Public Mental Health Week

Public Mental Health Week, telah dilaksanakan dengan suskes oleh Fakultas Psikologi UGM. Lebih dari 1000 orang menghadiri acara yang berlangsung dari tanggal 9-16 Februari 2015 tersebut. Hadirin merupakan psikolog dan para stakeholders terkait pengembangan kesehatan jiwa masyarakat, seperti Dinkes, DPR, dokter, Kepala Puskesmas, LSM, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), IPK (Ikatan Psikolog Klinis) dan perwakilan universitas-universitas penyelenggara pendidikan tinggi psikologi. Kegiatan Public Mental Health Week bervariasi mulai dari workshop, training, movie screening dan kuliah umum.

Tujuan dari semua rangkaian kegiatan tersebut adalah untuk mengajak semua elemen untuk bersama-sama, bekerja multidisipliner, berkontribusi memecahkan masalah gangguan jiwa di Indonesia. Gangguan jiwa adalah masalah yang riil. Depresi, sebagai salah satu gangguan jiwa yang umu, diprediksikan oleh WHO menjadi penyebab disabilitas no 2 di dunia pada tahun 2020.

Untuk keterangan lebih lanjut tentang hasil dan follow up dari Public Mental Health Week ini, silahkan hubungi diana@ugm.ac.id, wa: +61421700299.

Daftar Peserta Lolos Psikotes Calon Pengadministrasi Fakultas Psikologi UGM

Terlampir Daftar Peserta Lolos Psikotes untuk Seleksi Calon Pengadministrasi Umum (PU) dan Pengadministrasi Keuangan (PK) di Fakultas Psikologi UGM.

unduh berkas

Selanjutnya Saudara/i diharap hadir untuk mengikuti proses Interview Psikolog dengan jadwal terlampir bersama daftar peserta.
Mohon diperhatikan waktu dan tempat pelaksanaan interview.

Saudara/i WAJIB mengkonfirmasi kehadiran paling lambat hari Senin, tanggal 16 Februari 2015 ke no. 0858.7866.6976 (no Call, SMS only).
Terimakasih.

Workshop Nasional Penguatan Peran Psikolog di PUSKESMAS

Hari Selasa, tanggal 10 Februari 2015, berlangsung acara puncak Public Mental Health Week 2015, yaitu Workshop Nasional tentang Penguatan Peran dan Kurikulum Psikolog dalam Layanan Kesehatan Jiwa Primer (Puskesmas).

Pembicara dalam workshop tersebut antara lain adalah dr. Eka Viora, SpKJ (K), kepada Direktorat Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan. dr. Arida Oetami, Kepala Dinas Kesehatan DIY, Renee Paxton (Australia Awards), Dr Riza Sativa (HIMPSI), dr. Soenartono (Sekwilda Sleman), Zuhrif Hudaya, S.T. (DPRD DIY) dan para tokoh kesehatan jiwa nasional. Empat pemapar dari The University of Melbourne, A/Prof Harry Minas, A/Prof Grant Blashki, Dr. Erminia Colucci, dan Ruth Wraith, bersama Dr. Diana Setiyawati memaparkan rekomendasi tentang kurikulum untuk psikolog Puskesmas. Adapun peserta workshop yang berjumlah 250 orang terdiri dari para tokoh kesehatan jiwa Indonesia, psikolog Puskesmas, dosen-dosen Magister Profesi Psikologi dari seluruh Indonesia, pemerintah, LSM, profesi kesehatan lain dan para pemerhati kesehatan mental.

Workshop Nasional tersebut menghasilkan 8 rekomendasi sebagai berikut:

  1. Kebutuhan terhadap evaluasi kurikulum psikolog (Magister Profesi), adalah riil dirasakan oleh semua pihak.
  2. Peningkatan kapasitas Psikolog Puskesmas dalam hubungannya dengan pasien, profesi lain di Puskesmas, Puskesmas sebagai organisasi, dalam hubungannya dengan komunitas dan kebijakan, adalah hal yang secara mutlak diperlukan.
  3. Pendidikan multidisipliner adalah hal yang sebaiknya dikembangkan oleh pendidikan psikologi, sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan oleh AP2TPI (Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia).
  4. Isyu-isyu berkaitan dengan Continuing Professional Development harus secara sistematis dirancang.
  5. Keterbukaan kesempatan dari berbagai pintu (regulasi dan pendanaan) untuk peran psikolog dalam pelayanan kesehatan jiwa, merupakan tantangan sekaligus peluang untuk dijawab bersama.
  6. Merekomendasikan kepada Fakultas Psikologi se Indonesia, AP2TPI, HIMPSI, IPK dan semua elemen terkait untuk secara serius menindaklanjuti evaluasi kurikulum untuk mempersiapkan psikolog bekerja di Puskesmas.
  7. Merekomendasikan kepada Fakultas Psikologi se-Indonesia, bekerjasama dengan Organisasi Profesi untuk mengembangkan instrument dan prosedur praktek Psikologi Klinis.
  8. Mendorong Pemerintah dan DPR untuk secara lebih nyata menyambut kiprah psikolog untuk berkontribusi di Puskesmas dengan membuat regulasi yang positif terhadap pengembangan layanan kesehatan jiwa terintegrasi
Public Mental Health week 2015 ini diselenggarakan oleh Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM. Didukung oleh Australia Awards scholarship melalui Hadi Soesastro Prize yang dianugrahkan kepada salah seorang dosen Fakultas Psikologi UGM, Dr. Diana Setiyawati. The University of Melbourne berpartisipasi dalam workshop ini dengan kehadiran A/Prof Harry Minas, A/Prof Grant Blashki, Ruth Wraith dan Dr. Erminia Colucci.

Untuk keterangan lebih lanjut tentang hasil dan follow up dari Public Mental Health Week ini, silahkan hubungi diana@ugm.ac.id, wa: +61421700299.

Minim Psikolog, Ribuan Penderita Gangguan Jiwa Belum Tertangani

Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Hal ini diperburuk dengan minimnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di berbagai daerah Indonesia sehingga banyak penderita gangguan kesehatan mental yang belum tertangani dengan baik. “Kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya, kurang dari 10 persen penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan. Kebanyakan justru berobat ke tenaga non-medis seperti dukun maupun kiayi,” terang Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Selasa (10/2) dalam workshop Penguatan Peran dan Kurikulum Psikolog di University Center UGM.

Banyaknya penderita gangguan jiwa yang belum tertangani secara medis, kata dia, dikarenakan masih minimnya tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia. Hal tersebut tentunya semakin menghambat upaya pencegahan dan penanganan persoalan kesehatan jiwa masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia masih belum mampu memenuhi kuota minimal yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Saat ini Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 penduduk). Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk. “Jumlah tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat kurang dan distibusinya belum merata hingga di pelayanan kesehatan primer atau puskesmas. Kebanyakan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa,” jelasnya.

Eka menyebutkan sebagian besar puskesmas di wilayah Timur Indonesia belum memiliki psikolog. Sehingga persoalan kesehatan jiwa di daerah tersebut belum tertangani secara maksimal. “30 persen puskesmas di wilayah Timur Indonesia tidak memiliki dokter umum, apalagi tenaga kesehatan jiwa,” tuturnya.

Untuk mengurangi jumlah penderita gangguan jiwa, sejumlah upaya telah dilakukan Kementrian Kesehatan. Salah satunya dengan memberikan pelatihan kesehatan jiwa bagi tenaga kesehatan jiwa di puskesmas. “Baru 46,5 persen yang mendapatkan pelatihan,”katanya.

Dalam kesempatan itu Eka menekankan perlunya penguatan peran psikolog di puskesmas. Dengan kehadiran psikolog di tingkat layanan kesehatan primer tersebut diharapkan mampu membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai risiko kesehatan jiwa. “Titik beratnya adalah pada kegiatan promotif dan preventif,”tuturnya.

Hal senada disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X yang diwakili Kepala Dinas Kesehatan Arida Oetami. Menurutnya, psikolog harus menunjukkan ekistensi dan dedikasinya dalam memberikan layanan kesehatan jiwa bagi masyarakat. Dalam menjalankan peran tersebut, psikolog dituntut dapat menjalin sinergi dan melakukan komunikasi yang baik dengan tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.

Ia mengaku prihatin terhadap kondisi layanan kesehatan jiwa di tingkat primer Indonesia saat ini yang berada di bawah standar karena tidak diimbangi dengan kehadiran psikiater, psikolog, maupun perawat kesehatan jiwa serta fasilitas layanan kesehatan yang memadai. Sehingga tidak mengherankan apabila angka kejadian gangguan kesehatan jiwa di Indonesia masih tinggi. Demikan halnya dengan wilayah DIY yang tergolong tinggi jumlah penderita gangguan jiwanya di tingkat nasional. Data Riset Kesehatan Dasar menyebutkan 3 per 1000 penduduk di DIY mengalami gangguan jiwa berat. “Ini terjadi di wilayah kantong-kantong kemiskinan DIY, bukan menjadi potret secara keseluruhan,” jelasnya.

Arida menambahkan banyak penderita gangguan mental di wilayah DIY yang belum teridentifikasi sehingga tidak memperoleh pelayanan kesehatan jiwa secara tepat. Terakhir, ditemukan sebanyak 72 kasus pemasungan penderita gangguan mental dengan 32 penderita yang berhasil teratasi dengan baik. “Jumlah tersebut baru yang teridentifikasi, pasti ada lebih banyak lagi kasus kesehatan jiwa lainnya yang tidak terdeteksi,” ujarnya.

Namun begitu, dengan adanya Peraturan Gubernur DIY tentang penanganan pasung ia meyakini kasus pemasungan di DIY akan semakin berkurang. “Awalnya kasus pasung ini tersembunyi dan tidak dimunculkan karena dianggap aib. Akan tetapi dengan pergub ini semua daerah menjadi lebih perhatian terhadap kasus ini,”paparnya.

Terkait persebaran psikolog di puskesmas-puskesmas DIY, Arida mengungkapkan bahwa seperti kebanyakan wilayah lainnya, DIY belum mampu menghadirkan psikolog secara merata di setiap puskesmas. Baru Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta yang memilki 1 psikolog di 1 puskesmas. Sementara di wilayah Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul psikolog belum terdistribusi merata di setiap puskesmas. (Humas UGM/Ika)

sumber: ugm.ac.id

Diskusi Bulanan CICP Menghadirkan Pembicara dari Belanda

Diskusi Bulanan merupakan salah satu agenda rutin yang dilakukan oleh CICP sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kapasitas dalam memahami psikologi indigenous dan budaya, serta prinsip-prinsip dasar metodologi penelitian.

Diskusi pada hari Senin, 2 Februari 2015 lalu mengangkat topik kesehatan mental dari perspektif budaya dengan menghadirkan pembicara tamu Nicky Bor, mahasiswa post-graduate dari Radboud Universiteit Nijmegen, the Netherlands.

Nicky datang ke CICP untuk mendiskusikan penelitian yang sedang ia lakukan tentang pemahaman kesehatan mental pada masyarakat lokal Yogyakarta. Dari proses diskusi aktif dan intens antara Nicky dan peserta diskusi, yang terdiri dari mahasiswa S1 dan dosen-dosen, mampu memberikan masukan yang konstruktif untuk penelitian yang sedang dijalankannya. Dalam diskusi ini juga turut diundang Sdr. Fuad Hamsyah, S.Psi, M.Sc sebagai perwakilan dari Center of Public Mental Health (CPMH) sebagai center yang memiliki concern di bidang kesehatan mental.

Public Mental Health Week, 9-16 Februari 2015

Propinsi DIY memiliki angka gangguan jiwa paling banyak se-Indonesia

Sekitar enam dekade yang lalu, World Health Organization (WHO) menyampaikan bahwa kesehatan bukan berarti semata-mata ketidakadaan penyakit, namun merupakan kondisi sejahtera dari segi fisik, kejiwaan, dan keberfungsian sosial. Di Indonesia, kesehatan jiwa belum menjadi prioritas. Keadaan tersebut tercermin pada fasilitas penanganan gangguan jiwa di Indonesia yang kurang memadai, pelayanan kesehatan jiwa yang tidak bisa menyentuh semua lapisan masyarakat, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung masih mengesampingkan pentingnya kesehatan jiwa.

Padahal masalah gangguan kesehatan jiwa adalah masalah besar. Prevalensinya sebanyak 1,7 per mil untuk gangguan jiwa berat. Hal ini belum termasuk gangguan emosi yang dialami masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan dan penanganan gangguan jiwa ringan, sedang, hingga berat dibutuhkan oleh khalayak luas. Pemerintah perlu membuat sistem pelayanan kesehatan jiwa yang memadai dari level paling dasar (Puskesmas) dan perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk institusi pendidikan (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah).
Menariknya, menurut survey RISKESDAS 2013 jumlah gangguan jiwa paling banyak di Indonesia ada di Propinsi DIY. Mengapa demikian? Temukan jawabannya di Public Mental Health Week, 9-16 Februari 2015.

Public Mental Health Week
Sebuah Persembahan untuk Bangsa

Public Mental Health Week 2015, dipersembahkan oleh Fakultas Psikologi UGM, melalui Center for Public Mental Health (CPMH), sebagai respon terhadap keprihatinan akan keadaan kesehatan jiwa di Indonesia. Acara ini didukung oleh Bagian Psikiatri dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. Public Mental Health Week diselenggarakan mulai tanggal 9 Februari 2015 s/d 16 Februari 2015.

Ide acara ini berawal dari penghargaan yang diterima oleh Dr Diana Setiyawati atas disertasi S3nya di The University of Melbourne, pada tahun 2014. Penghargaan tersebut bernama Australia Awards-Hadi Soesastro Prize, dianugrahkan oleh Mentri Luar Negri Australia, Julie Bishop. Diana Setiyawati adalah dosen muda Fakultas Psikologi UGM yang meneliti tentang kurikulum psikolog agar sesuai dengan lingkungan Puskesmas, disertasinya berjudul: A study of Australian and International Experiences to Inform the Development of Curriculum for Psychologists Working in Primary Care in Indonesia.

Sebagai bentuk persembahan untuk Bangsa, Diana mempergunakan hadiah yang diterimanya untuk menggelar Workshop Nasional, “Penguatan Peran Psikolog dalam Layanan Kesehatan Jiwa Primer (Puskesmas), dengan mendatangkan ke-4 dosen pembimbingnya dari The University of Melbourne: A/Prof. Harry Minas, A/Prof. Grant Blashki, Ruth Wraith, dan Dr. Erminia Colucci. Ide sosialisasi penelitian melalui workshop ini disambut baik dan didukung penuh oleh Fakultas Psikologi UGM, sehingga acara workshop Nasional berkembang menjadi Public Mental Health Week, satu minggu seminar, workshop, dan pelatihan yang melibatkan lebih dari 1000 orang, dengan rincian sebagai berikut: unduh selengkapnya

Pengumuman Lolos Seleksi Administratif Calon Pengadministrasi Fakultas Psikologi UGM

Terlampir Daftar Peserta Lolos Seleksi Administratif untuk Seleksi Calon Pengadministrasi Umum (PU) dan Pengadministrasi Keuangan (PK) di Fakultas Psikologi UGM.

unduh berkas

Selanjutnya Saudara/i diharap hadir untuk mengikuti proses seleksi tahap I (Tes Psikologi/Tes Tertulis dan Diskusi Kelompok) yang akan dilaksanakan pada:
Hari/tanggal :  Rabu/04 Februari 2015
Pukul :  08.00 WIB
Tempat :  Fakultas Psikologi UGM (RUANG G-100)
 Jl. Sosiohumaniora No.1 Kompleks Bulaksumur – Yogyakarta

Untuk keperluan tersebut, Saudara/i diwajibkan membawa Kartu Identitas (KTP/SIM), alat tulis (Bolpoin, dll), serta membawa fotokopi sertifikat Brevet Pajak (bagi yang memiliki).

Saudara/i WAJIB mengkonfirmasi kehadiran paling lambat hari Senin, tanggal 02 Februari 2015 ke nomor 0858.7825.6133 (no Call, SMS only).
Terimakasih.

Raih Doktor Usai Teliti Perilaku Remaja Berisiko Penyalahguna NAPZA

Fenomena gunung es kasus penyalahgunaan NAPZA menjadi permasalahan bangsa. Peningkatan jumlah penyalahgunaan NAPZA yang tercatat Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) menjadikan penyalahgunaan NAPZA sebagai permasalahan kompleks yang melibatkan individu, kelompok, dan masyarakat.

“Kompleksitas masalah ini dapat dikelompokan menjadi faktor internal maupun eksternal,”papar Eny Purwandari, M.Si pada ujian terbuka program doktor Fakultas Psikologi UGM, Senin (26/1) di Fakultas Psikologi.

Dalam disertasinya berjudul Model Kontrol Sosial Perilaku Remaja Berisiko Penyalahgunaan Napza, Eny mengatakan penelitiannya tersebut lebih menekankan faktor-faktor eksternal, yaitu keluarga, teman sebaya di sekolah dan komunitas. Faktor-faktor eksternal itu mempunyai sifat mudah berubah. Oleh karena itu, faktor-faktor eksternal akan dikelola sebagai sebuah sistem kontrol berdasarkan settingnya masing-masing, yaitu kontrol sosial dalam keluarga, sekolah atau kelompok teman sebaya.

“Faktor-faktor eksternal ini meliputi kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-anak, keyakinan adanya aturan luar yang berlaku, komitmen dari sekolah, keterlibatan kegiatan mengisi waktu luang, kelekatan teman sebaya dan perilaku merokok,”imbuh dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta itu.

Penelitian ini dilakukan terhadap remaja dengan status siswa SMA/SMK di Kabupaten Sragen yang aktif di tahun ajaran 2013/2014, dengan kriteria inklusif subjek yaitu: status akademik 2013/2014 di kelas XI, kedua orang tua (ayah dan ibu) masih hidup, dan terindikasi berisiko penyalahguna NAPZA.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa muncul saling keterkaitan antara faktor-faktor eksternal yang terdiri dari kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-anak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan kegiatan waktu luang, kelekatan teman sebaya, dan perilaku merokok yang membentuk model kontrol sosial perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA.

“Perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dapat diprediksi dari keterlibatan kegiatan waktu luang dan perilaku merokoknya,”katanya.

Melihat hasil penelitiannya itu Eny berharap seluruh elemen stake holder dapat berperan pada antisipasi kasus risiko penyalahgunaan NAPZA. Fungsi kontrol sosial kasus perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA perlu ditingkatkan, sehingga membentuk sistem kontrol sosial yang menyeluruh, kolaborasi antara sekolah, keluarga dan komunitas (Humas UGM/Satria)

sumber: ugm.ac.id