Arsip:

Rilis

Aurelia Araya Ishana Tingkatkan Kesadaran Mental Siswa SD Lewat Group Counseling

1 / 2

 

Aurelia Ayara Ishana, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (2020) yang tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata – Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) UGM Periode 2 tahun 2023 bagikan kisahnya jalankan group counseling bagi siswa SD. 

Lewat group counseling yang ia namai Circle Time Group Counseling pada Kamis (13/7), Aurelia ingin meningkatkan kesadaran mental sejak dini Siswa SD N Blubuk, Sendangsari, Pengasih, Kulonprogo, DI Yogyakarta, di bawah bimbingan Ganies Riza Aristya, S.Si., M.Sc., Ph.D.

“Program kerja pengadaan konseling kelompok pada siswa SD Blubuk oleh tim KKN PPM UGM Periode 2 – 2023 bertujuan untuk meningkatkan pengekspresian diri dan rasa empati pada satu sama lain,” terang Aurelia.

Setelah observasi dan terjun langsung, hingga menjalin kedekatan dengan anak-anak Pedukuhan Blubuk, Aurelia menemukan anak-anak Pedukuhan Blubuk enggan memberikan dukungan satu sama lain atau tertutup secara emosional. 

“Ini sangat disayangkan karena sejatinya, masyarakat Pedukuhan Blubuk adalah sebuah masyarakat yang sangat kekeluargaan dan selalu mengedepankan kebersamaan dalam seluruh kegiatannya,” tegas Aurelia. 

Aurelia menambahkan, rasa malu atau takut teman-temannya akan menertawakan dan tidak menerima menjadi alasan anak-anak Pedukuhan Blubuk tertutup. Hal ini lah yang mendorong Aurelia menyusun program yang dapat memotivasi anak-anak Pedukuhan Blubuk untuk membuka diri dan menumbuhkan jiwa empati sejak dini mulai dari lingkungan sekolah.

“Kegiatan konseling kelompok ini dilaksanakan untuk meningkatkan ekspresi diri baik secara verbal dan seni. Siswa SD Blubuk diajak untuk menggambarkan diri mereka menggunakan gambar sesuai dengan persepsi terhadap diri mereka masing-masing. Selain itu, siswa-siswa juga diberikan kesempatan untuk menggambarkan diri mereka dan menceritakan pengalaman-pengalaman yang pernah mereka hadapi baik yang positif dan negatif,” ungkap Aurelia. 

Hasilnya, mayoritas siswa dapat mengekspresikan persepsi diri mereka secara baik. Hanya segelintir siswa memiliki kesulitan untuk bercerita secara verbal dan memilih untuk menggambar persepsi diri mereka di secarik kertas.

“Namun seperti yang telah diantisipasi, mayoritas siswa memiliki kesulitan untuk bercerita mengenai pengalaman atau emosi negatif secara verbal sehingga mereka memilih untuk menggambarkan pengalaman tersebut dengan penjelasan yang singkat,” tutur Aurelia.

Melalui media ekspresi diri ini, siswa tidak hanya diajarkan untuk memahami diri sendiri dan membuka diri baik secara verbal atau seni, tetapi juga bagaimana cara mendengarkan secara aktif dan mendukung teman sebaya. Siswa SD N Blubuk juga diajak untuk memuji dan memberi pelukan kepada temannya setelah temannya selesai bercerita. 

“Seluruh siswa dengan antusias memberikan banyak pujian, kata-kata penyemangat, dan aksi suportif kepada teman-teman sekelasnya,” ungkap Aurelia bangga. 

Kedepannya Aurelia berharap, kekeluargaan dan kesatuan masyarakat Pedukuhan Blubuk dapat terus terjalin lintas generasi.

 

Sumber: Tim KKN-PPM UGM Periode 2 Tahun 2023/ Aurelia Araya Ishana

Editor: Erna

Berita Duka Prof. Dr. Thomas Dicky Hastjarjo

Telah meninggal dunia Prof. Dr. Thomas Dicky Hastjarjo (Guru Besar Fakultas Psikologi UGM) pada hari Kamis tanggal 3 Agustus 2023 pukul 00.36 WIB.

Jenazah akan diberangkatkan menuju Balairung UGM hari Jumat tanggal 4 Agustus 2023 pukul 13.00 WIB dan dilanjutkan upacara penghormatan terakhir pukul 13.30 WIB. Selanjutnya dimakamkan di Makam Sawit Sari UGM.

Rumah Duka:
Rumah Duka Panti Rapih (ruang Mikael)

Alamat rumah:
Cepit Baru CC XII No 266 RT 08 RW 38, Condongcatur Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta

Pelepasan Wisudawan/Wisudawati Program Pascasarjana dan Pengambilan Sumpah Psikolog Periode IV Tahun Akademik 2022/2023

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan pelepasan wisudawan/wisudawati Program Pascasarjana dan pengambilan sumpah psikolog Program Magister Psikologi Profesi periode IV tahun akademik 2022/2023, Rabu (26/7). Pelepasan wisudawan/wisudawati diikuti 11 wisudawan/wisudawati Prodi Magister Psikologi Profesi, dan 5 wisudawan/wisudawati Prodi Magister Psikologi.

Ketua Majelis Psikologi Wilayah Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah DIY, Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si, Psikolog memandu sumpah psikolog yang disaksikan oleh rohaniawan. Dilanjutkan dengan proses penandatanganan berita acara pengambilan sumpah secara simbolis diwakili Cokorde Istri Dwi Anindyawati Pemayun dan Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si, Psikolog, disaksikan oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D.

Rangkaian acara dilanjutkan dengan penyerahan transkrip akademik, sertifikat sebutan psikolog, Surat Izin Praktik Psikologi (SIPP), dan pengalungan syal kepada wisudawan/wisudawati Prodi Magister Psikologi Profesi oleh Ketua Prodi, Dr. Yuli Fajar Susetyo, M.Si., Psikolog.; Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si, Psikolog; dan Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi, Galang Lufityanto, S.Psi., M.Psi., Ph.D., Psikolog. Pada Prodi Magister Psikologi dilaksanakan penyerahan transkrip akademik, piagam penghargaan, dan pengalungan syal oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Galang Lufityanto, S.Psi., M.Psi., Ph.D., Psikolog.

Acara selanjutnya, pemberian penghargaan naskah publikasi tesis terbaik yang disampaikan oleh Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerja Sama, Dr. Wenty Marina Minza, S.Psi., M.A. Diraih oleh Herdini Primasari dari Prodi Magister Psikologi Profesi dengan judul “Pemetaan Variasi CBT Pada ODS Dalam Menanggulangi Simtom Positif Skizofrenia: Scoping” dan Selvi Sumardin dengan judul “Perbedaan Autobiographical Memory Ditinjau dari Wilayah Pendidikan Jawa dengan Luar Jawa” dari Prodi Magister Psikologi. Kedua peraih penghargaan naskah publikasi tesis terbaik merupakan mahasiswa dibawah bimbingan Dra. Sri Kusrohmaniah, M.Si., Ph.D., Psikolog.

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi pada Prodi Magister Psikologi Profesi diraih oleh Cokorde Istri Dwi Anindyawati Pemayun. IPK tertinggi dari Prodi Magister Psikologi diraih oleh Sukmo Bayu Suryo Buwono. 

Pada pelepasan ini, Sukmo Bayu Suryo Buwono juga mewakili wisudawan/wisudawati menyampaikan terima kasihnya kepada semua pihak hingga ia dan wisudawan/wisudawati berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi UGM. 

“Setiap langkah yang kami tempuh selama menjalani studi di institusi ini telah mengajarkan kami banyak hal, di sini kami tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan tetapi juga mengalami perjalanan yang mengubah hidup dan mendewasakan diri”, ungkap Sukmo Bayu Suryo Buwono. 

Dr. Warsiti, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat, orang tua Shabrin Risti Aulia dalam sambutannya juga mendoakan kesuksesan wisudawan/wisudawati di masa depan.  

“Tantangan ke depan nampaknya tidak semakin mudah tetapi semakin kompleks, perkembangan teknologi baru yang pesat telah mengubah seluruh tatanan aspek hidup kita secara besar-besaran, tapi kami percaya para wisudawan para lulusan ini akan mampu melewatinya karena sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang telah teruji telah lolos menghadapi masa sulit di masa pandemi covid 19”, tutur Warsiti. 

Ketua Majelis Psikologi Wilayah HIMPSI, Wilayah DIY, Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si, Psikolog, menyampaikan disahkannya UU No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan psikologi yang juga memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada psikolog, klien dan masyarakat. Tidak hanya itu Tina Afiatin juga menambahkan, UU tersebut memberikan kepastian pengaturan dan adanya kerja sama perguruan tinggi dan organisasi profesi serta kepastian pengaturan dalam memberikan layanan setelah psikolog memiliki STR atau Surat Tanda Registrasi dan SIPP.

“Pesan untuk para wisudawan, terutama para psikolog jangan pernah berhenti untuk meningkatkan kompetensi dengan berbagai kegiatan workshop, pelatihan, seminar, uji kompetensi, dan juga perlunya kolaborasi antar profesi dan paham akan keterbatasan dan batasan kompetensi masing-masing. Tetap mengedepankan etika keilmuan dan profesi psikolog sehingga perlu kehati-hatian menekankan objektivitas dan tidak hanya berorientasi pada popularitas dan materi semata, namun juga mengedepankan idealisme dan kepentingan masyarakat luas, karena apa yang dilakukan tidak hanya berdampak kepada diri sendiri namun juga almamater, komunitas profesi dan pandangan pada profesi Psikolog itu sendiri”, pesan Tina Afiatin. 

Rahmat Hidayat, S.Psi. M.Sc., Ph.D., Dekan Fakultas Psikologi UGM juga menyampaikan pesannya kepada wisudawan/wisudawati, “Ibunda keilmuan kita adalah almamater Gajah Mada, rumah kita adalah kampus Universitas Gadjah Mada, tetapi sebagai anak sudah waktunya ketika proses belajarnya sudah cukup, kedewasaannya sudah dicapai, maka harus dilepaskan untuk terbang tinggi, untuk menjelajahi luasnya dunia, untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan pengalamannya, dan untuk meraih berbagai keberhasilan dan ini merupakan ambang dari awal perjalanan kalian yang akan lebih seru lagi lebih tanpa batas lagi lebih bermacam-macam lagi, kemungkinan-kemungkinan peluang-peluang yang Anda hadapi”, ungkap Rahmat. 

Doa bersama yang dipimpin oleh Imam Wahyuddin, Lc. M.Phil., dan foto bersama menjadi penutup kegiatan. 

 

Penulis: Erna

CPMH: OSLS 2023

CPMH UGM Kembali Gelar Online Summer Lecture Series 2023

Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM menggelar Online Summer Lecture Series (OSLS) 2023 bertajuk Mental Health in The Digital World, Rabu (12/7). Dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerjasama Fakultas Psikologi UGM, Dr. Wenty Marina Minza, M.A., rangkaian OSLS digelar secara daring hingga 26 Juli mendatang. 

Acara ini diselenggarakan untuk menjembatani semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap masalah kesehatan mental. Tidak hanya belajar dan berdiskusi, 128 peserta OSLS diharapkan juga dapat mengadvokasi bersama untuk mewujudkan kesehatan mental yang lebih baik. Tahun ini merupakan kali ketiga diselenggarakannya OSLS secara daring, sebelumnya CPMH telah menggelar summer course sebanyak 5 kali.  

“Center for Public Mental Health menyadari bahwa keterampilan advokasi adalah keterampilan penting dalam mengembangkan atau memperkuat sistem kesehatan mental, tetapi sangat sedikit pilihan yang tersedia untuk mempelajari keterampilan advokasi, itulah sebabnya Center for Public Mental Health secara konsisten mengadakan summer course tentang topik ini,” terang Kepala CPMH, Diana Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog. 

Diana menambahkan dipilihnya tema Mental Health in The Digital World, tidak terlepas dari peluang dan tantangan yang ditawarkan. Teknologi yang hadir di tengah masyarakat kita dan dunia menimbulkan banyak miskonsepsi tentang kesehatan mental melalui berbagai platform media sosial, “Kami sadar bahwa dunia digital memberikan peluang dan tantangan bagi kesehatan mental. Peluang terbuka untuk kesehatan mental di dunia digital berkembang dari koneksi kehidupan, meningkatkan literasi kesehatan mental, mungkin juga mencegah kita dari kesepian, atau semacamnya. Belum lagi peluang untuk memberikan layanan kesehatan mental melalui platform digital”.

OSLS menghadirkan 23 ahli dari berbagai belahan dunia sebagai pembicara. Hari pertama rangkaian OSLS, Rabu (12/7), menghadirkan pembicara dalam empat sesi berbeda yaitu Sári Haragonics, M.A., filmmaker (Hungaria); Prof. Sako Visser, University of Amsterdam (Belanda); Dr. Ursula Read, The University of Warwick (Inggris); dan Aneri Pattani, MPH., jurnalis di Kaiser Health News (Amerika). 

Wenty Marina Minza yang resmi membuka rangkaian OSLS 2023 menyambut peserta dan berterima kasih atas antusiasme belajar dan berdiskusi mengenai fenomena kesehatan mental di dunia digital secara global. 

“Saya yakin ini juga seperti yang dikatakan bu Diana tadi, ini adalah sesuatu yang sangat penting dan signifikan bagi kehidupan anak muda saat ini… dan saya berharap kedepannya lebih banyak penelitian tentang kesehatan mental dan dunia digital dapat dilakukan sehingga kita bisa memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena penting saat ini,” ungkap Wenty. 

 

Informasi tentang OSLS 2023 CPMH: https://psikologi.ugm.ac.id/event/online-summer-lecture-series-2023-mental-health-in-the-digital-world/

 

Penulis: Erna

Terima Kunjungan UMS, Fakultas Psikologi UGM Bahas Pengelolaan Laboratorium

 

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menerima kunjungan Laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Selasa (11/7). Kunjungan diterima Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi UGM, Galang Lufityanto, M.Psi., Ph.D., Psikolog, di ruang A-203.

Melalui sambutan yang membuka rangkaian kunjungan ini, Galang menyambut dan berterima kasih atas kedatangan Fakultas Psikologi UMS. Tak hanya itu, Galang juga berharap akan adanya tukar informasi melalui diskusi yang terjalin nantinya.

“Kunjungan kali ini sangat spesial karena kita membahas tentang laboratorium, dan memang salah satu hal yang selalu menjadi pertanyaan di kajian kita, bidang kajian psikologi itu bidang kajian Ilmu Sosial Humaniora tapi kok ada laboratoriumnya gitu ya,” ungkap Galang.

Pengelolaan laboratorium di Fakultas Psikologi UGM dijelaskan oleh Galang juga mengalami berbagai perubahan sejak awal berdiri, ”Saat ini di Fakultas Psikologi terdapat dua laboratorium terintegrasi, yang pertama adalah Laboratorium Psikodiagnostika yang diketuai bu Sri Kusrohmaniah, Ph.D., dan kemudian ada Laboratorium Proses Mental dan Perilaku, dimana ketuanya bu Supra Wimbarti, Ph.D.”.

Dr. Lisnawati Ruhaena, M.Si., Psikolog, Kepala Laboratorium Fakultas Psikologi UMS memperkenalkan satu-persatu delegasi Fakultas Psikologi UMS yang hadir pada kunjungan yaitu, Permata Ashfi Raihana, S. Psi., M.A., Ketua Program Studi S1; Afriza Animawan Arifin, S. Psi., M.A., Sekretaris Program Studi S1; Wisnu Sri Hertinjung, S. Psi., M. Psi., Psikolog, Dosen; dan Niken Yuni Pratiwi, S. Psi., Laboran Fakultas Psikologi UMS.

“Di tempat kami, laboratorium itu masih disebut sebagai satu nama laboratorium. Kami memang sepertinya perlu menyesuaikan dengan berbagai perkembangan, nah kami juga sedang memikirkan grand design laboratorium di psikologi itu seperti apa, karena transisi ya dari Ilmu Eksakta dengan Ilmu Sosial begitu,” terang  Lisnawati Ruhaena. 

Rangkaian dilanjutkan dengan sesi pemaparan oleh Kepala Laboratorium Psikodiagnostika, Dra. Sri Kusrohmaniah, M.Si., Ph.D., Psikolog, dan pemaparan oleh Kepala Laboratorium Proses Mental dan Perilaku, Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D., Psikolog, dilanjutkan dengan sesi diskusi. 

Kunjungan diakhiri dengan mengunjungi Laboratorium Proses Mental dan Perilaku yang dipandu oleh Taufik Putra, Asisten Laboratorium dan kunjungan ke Laboratorium Psikodiagnostika dipandu oleh May Laksmi Andita, S.Psi., Staf Laboratorium.

 

Penulis: Erna   

Foto: Erna

Menjadi Psikolog Klinis Sejati: Refleksi Pengalaman 44 Tahun Mengabdi

Kelompok Bidang Keahlian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan Seminar Purna Tugas Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S., Psikolog, Selasa (27/6). Acara yang digelar di gedung G-100 Fakultas Psikologi UGM ini dihadiri oleh segenap anggota Kelompok Bidang Keahlian Psikologi Klinis, para dosen, psikolog, dan juga mahasiswa. 

Pembawa acara, Prof. Dra. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D., Psikolog, mempersilahkan Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., untuk membuka acara. Rahmat berkata, “Pertemuan kita saat ini adalah merayakan pencapaian, pemikiran, dan ajaran Bu Sofia selama 44 tahun mengabdi di dunia psikologi, khususnya bidang psikologi klinis”. 

“Bu Sofia adalah salah satu tokoh yang sangat berjuang dengan hati, cinta, dan waktu untuk menginisiasi adanya psikolog di puskesmas,” ucap Diana Setiyawati, M.HSc.Psy., Ph.D. yang pada kesempatan ini berkesempatan untuk mempresentasikan materi tentang Psikolog Puskesmas Kado untuk Bangsa. 

“Ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, Bu Sofia merupakan salah satu tim UGM yang terjun langsung membantu masyarakat Aceh di Meulaboh dan Banda Aceh. Bu Sofia bukan hanya memberikan konseling psikologi, melainkan juga turut berkontribusi dalam pengembangan kader kesehatan jiwa,” tutur Prof. Drs. Subandi, M.A., Ph.D., Psikolog yang memaparkan berbagai karya fenomenal Sofia. 

Sesi selanjutnya diisi dengan rahasia di balik kesuksesan Sofia. Sofia membeberkan alasan menjadi seorang psikolog, “Ketika SMA saya kehilangan ibu, peristiwa itu membuat saya dan tujuh saudara lainnya merasa perlu saling memberikan dukungan. Pada waktu itulah yang pada akhirnya menimbulkan kebutuhan melayani yang sangat besar. Di lain sisi, saya juga orangnya suka untuk melayani dan membantu orang lain yang membutuhkan”. 

Sofia memberikan opini terkait hal yang dibutuhkan oleh bangsa, “Bangsa kita membutuhkan profesi-profesi yang menyembuhkan penyakit psikologis. Menyembuhkan bukan hanya kuratif, tetapi juga bisa preventif atau promotif. Jadi, proses untuk mengurangi gangguan jiwa harus dimulai dari promotif, preventif, baru kuratif”. 

“Alat intervensi ada di dalam hati kita, ketulusan dan hadir sepenuhnya. Ini sederhana namun sering terlupa. Jangan sampai klien datang dengan sakit hati kemudian pergi semakin sakit hati karena merasa diabaikan,” ucap Sofia. 

Salah satu peserta menyatakan bahwa Sofia merupakan salah satu dosen yang selalu memahami kondisi mahasiswa ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, “Ketika saya menjadi mahasiswa dulu, saya pernah tersentak dengan satu ungkapan dari Bu Sofia kepada saya yang setelah itu berlanjut di sesi konseling secara personal. Awal mendengarnya saya merasa marah, tetapi seiring berjalannya waktu saya menyadari dan memahami apa yang telah disampaikan oleh Bu Sofia. Pada kesempatan ini, saya ingin memberikan hadiah kepada Bu Sofia berupa buku karangan saya sendiri”. 

Di akhir acara, Sofia menyampaikan, “Hasil intervensi psikologi berbeda dengan medis yang perkembangannya dapat dilihat secara cepat dan nyata. Jadi, tidak perlu sakit hati atau merasa kecewa ketika ada klien yang tidak menunjukkan perubahan yang cepat, karena bisa saja apa yang kita sampaikan menyerap di dalam otak sebagai bentuk informasi dan akan dibutuhkan oleh klien di kehidupan mendatang”. 

Penulis : Relung

UKP Talks : Victim Blaming and Self Blame in Sexual Violence

 

Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar UKP Talks sesi pertama yang bertajuk Victim Blaming and Self Blame in Sexual Violence, Senin (26/6). Bertempat di gedung G-100 Fakultas Psikologi UGM, acara tersebut dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, peneliti, profesional, dan pihak-pihak yang concern terhadap kasus kekerasan seksual. 

Acara yang diadakan secara luring dan daring ini diisi oleh Visiting Researcher University of Oxford, Dr. Diana Batchelor. Membuka acara, Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., menyampaikan, “Semoga acara ini bisa menjadi awal yang baik bagi kita semua. Bersama kita belajar, bersama kita mengembangkan diri, bersama kita meningkatkan kemampuan kita untuk menjadikan diri kita, UGM, masyarakat, dan bangsa kita lebih baik dengan penanganan-penangan dan pencegahan-pencegahan kasus kekerasan seksual”.

Diana menuturkan berbagai respons yang sering diberikan masyarakat kepada korban kekerasan seksual, “Masyarakat memercayai korban tetapi seringkali masih memberikan tanggapan negatif kepada korban, seperti kamu sengaja menempatkan dirimu dalam risiko, kamu yang menyebabkan hal itu terjadi, kamu pantas mendapatkan perlakuan seperti itu, kamu yang sebenarnya pelaku bukan korban”.

Bukan hanya itu saja, biasanya masyarakat juga menyalahkan respons korban terhadap pelaku dan gejala trauma yang ditunjukkan. Berikut penjelasan lengkap Diana, “Contoh menyalahkan respons korban terhadap pelaku seperti mengapa tidak menyerang baik, mengapa tidak menghubungi seseorang, mengapa tidak menghubungi polisi, mengapa keluar sendiri, dsb. Sementara contoh menyalahkan gejala trauma dan metode koping seperti mengapa tidak bisa tidur/tidur terlalu banyak, mengapa cemas dan tidak pernah meninggalkan rumah, mengapa tidak melakukan meditasi, dsb”.

Alasan masyarakat memberikan respons yang seolah menyalahkan korban turut serta dibahas oleh Diana, “Secara umum dalam mengomentari sesuatu kita masih cenderung pada keyakinan bahwa hal baik datang kepada orang yang baik dan hal buruk datang kepada orang yang tidak baik. Sehingga ketika menyaksikan korban kekerasan, kita menggunakan pemikiran itu dalam menilai”. 

Victim blaming yang terjadi pada akhirnya mendorong korban untuk menyalahkan diri sendiri (self blaming), Self blame memberikan efek negatif terhadap kesehatan mental korban. Korban dapat menyalahkan perilakunya (ini salahku) dan memiliki citra diri yang rendah (aku jelek) sehingga membuat korban merasa cemas, memiliki kesejahteraan yang buruk, dan harga diri pun menurun”. 

Acara berjalan khidmat dan mengundang banyak pertanyaan dari para peserta. Sebagaimana harapan Rahmat, acara ini cukup memberikan pemahaman kepada para peserta tentang victim blaming dan self blame. 

“Semoga pemaparan ini akan semakin menambah kesadaran masyarakat terkait dinamika psikologis korban pelecehan seksual sehingga bersedia menciptakan ruang aman bagi mereka yang membutuhkan”, ucap pembawa acara, Sasa, pada di akhir acara. 

 

Penulis : Relung

Kehidupan Rumah Tangga Tanpa Peran Ayah, Bagaimanakah?

Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menggelar acara Mental Health Discussion Society dengan mengusung tema Peran Dinamis Ibu dalam Struktur Keluarga Kontemporer: Menavigasi Kehidupan Rumah Tangga Tanpa Peran Ayah, Jumat (23/6). Bertempat di Gedung A-202, acara ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, psikolog, praktisi keluarga, dan masyarakat umum yang tertarik pada topik keluarga dan kesehatan mental.
Istilah fatherless dalam diskusi ini mengacu pada penurunan keterlibatan ayah dalam pengasuhan, meliputi keluarga tanpa ayah dimana ibu mengasuh sendiri, ayah tidak tinggal serumah dengan keluarga disebabkan tuntutan pekerjaan, dan ayah yang tetap berperan sebagai pencari nafkah akan tetapi kurang/tidak terlibat dalam pengasuhan.
Anggit Nursasmito membuka acara, dilanjutkan dengan pemaparan Systematic Literature Review (SLR) sederhana oleh Alfan Fahri Rifqi. Sebagai pemantik, Alfan mempersilahkan salah satu peserta menyuarakan opini berkenaan dengan dampak ketiadaan peran ayah bagi anak laki-laki maupun perempuan, “Cerita ini bukan kisah saya melainkan orang lain yang tinggal di sekeliling saya. Menurut saya, jika perempuan kekurangan peran ayah dalam pengasuhan maka ia memiliki kecenderungan untuk mudah luluh pada pria yang memberikannya kenyamanan. Sementara jika peran ayah kurang di pertumbuhan anak laki-laki, maka ia bisa menjadi sosok yang kurang tegas dan susah dalam mengambil keputusan”.
Peserta lain, seorang psikolog puskesmas memberikan pendapat, “Meskipun tidak semua, anak-anak fatherless mayoritas memiliki potensi tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental”. Pendapat ini didukung oleh hasil SLR yang disampaikan oleh Alfan.
“Tidak semua keluarga fatherless pasti memiliki anak yang mengalami masalah. Walaupun peran ayah mengalami penurunan, ibu tetap dapat mempertahankan kualitas hubungan keluarga. Beberapa faktor yang dapat mendukung ibu dalam keluarga fatherless untuk menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan di antaranya adalah pendapatan ibu yang tinggi, kesehatan mental ibu yang baik, karakter ibu yang optimis, tersedianya fasilitas pendukung pengasuhan, tersedianya pekerjaan yang ramah keluarga, dukungan dari keluarga besar, dan lingkungan masyarakat yang tidak memiliki stigma dan tetap berinteraksi positif dengan keluarga fatherless,” jelas Alfan.
Terdapat tiga dinamika keluarga fatherless yang kemungkinan akan terjadi. Pertama, karena alasan tertentu ayah tidak berperan maksimal dalam keluarga baik dalam hal pengasuhan maupun pemenuhan ekonomi. Akibatnya, beban ibu meningkat dalam mengasuh anak dan mencari nafkah keluarga. Seiring bergantinya waktu, ibu tidak berdaya menghadapi tuntutan sehingga menjadikan kualitas pengasuhan menjadi menurun atau bahkan buruk. Akhirnya, anak mengalami masalah perilaku.
Alfan menjelaskan lebih lanjut bahwa dinamika pertama dapat berubah menjadi dinamika kedua dan ketiga, “Dinamika kedua, jika ibu masih dapat menjalankan fungsi pengasuhan dengan optimal meskipun beban meningkat, maka anak tetap dapat berkembang secara optimal dan tidak mengalami masalah perilaku. Dinamika ketiga, seandainya ibu tidak berdaya dalam menghadapi tuntutan namun tersedia sumber daya atau dukungan yang dapat meringankan beban pengasuhan ibu maka anak juga tetap dapat berkembang secara optimal dan tidak mengalami masalah perilaku”.
Budi Andayani, pembicara dalam forum Mental Health Discussion Society menyatakan, “Saat ini masih banyak yang menyerahkan tanggung jawab pengasuhan hanya kepada ibu, padahal ayah juga memiliki peran penting. Sejak mengandung, harus sudah ada kesepakatan antara suami dan istri tentang bagaimana anak ini akan diarahkan”.
Penulis : Relung

Mahasiswa University of Sydney Ikuti Program Field Visit & Exchange

Berkolaborasi dengan Sydney Southeast Asia Centre, University of Sydney, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) selenggarakan field visit & exchange membahas isu disabilitas dan inklusi sosial, Senin (19/6). Selain mahasiswa dari University of Sydney sebagai peserta, hadir pula Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Difabel UGM sebagai mitra penyelenggara field visit & exchange bertajuk Disability Inclusion and Rights Fulfillment in Indonesia ini. 

Dr. Wenty Marina Minza, M.A., Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerja Sama Fakultas Psikologi UGM membuka secara resmi kegiatan. Wenty juga menyambut Prof. Sonja van Wichelen, Deputy Director Sydney Southeast Asia Centre serta mahasiswa dari University of Sydney di Fakultas Psikologi UGM. 

Hadir sebagai moderator yaitu Pradytia Putri Pertiwi, S.Psi., Ph.D., Dosen Fakultas Psikologi UGM yang juga merupakan penasehat UKM Peduli Difabel UGM. Empat pembicara dalam sesi diskusi yaitu Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D., Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Elga Andriana, S.Psi, M.Ed, Ph.D., Dosen Fakultas Psikologi UGM; Alexander Farrel, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan Anggota UKM Peduli DIfabel; Restu Tri Handoyo, Ph.D, Psikolog., Dosen Fakultas Psikologi UGM dan Kepala Unit Konsultasi Psikologi (UKP) UGM. 

Memulai pemaparan materinya, Wuri menyampaikan terdapat berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa terdapat siklus yang tidak dapat dipisahkan antara disabilitas dan kemiskinan, “Kalau bicara disabilitas, sangat dekat dengan kemiskinan… Ada lingkaran setan antara disabilitas dan kemiskinan. Ada banyak hambatan—hambatan fisik, sosial, atau perilaku—yang harus mereka hadapi di Indonesia. Fasilitas atau sekolah tidak dapat menampung semua anak difabel di Indonesia. Kedua, karena kurangnya pendidikan, mereka tidak dapat bersaing dengan non-disabilitas dalam hal mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena kurangnya pendidikan, mereka juga mengalami tingkat upah yang rendah”. 

Melanjutkan sesi diskusi yaitu pemaparan mengenai pendidikan bagi disabilitas oleh Elga Andriana, di Indonesia pada level pendidikan dasar, anak-anak difabel bersekolah di sekolah khusus. Tidak banyaknya institusi yang menyediakan pendidikan bagi difabel bahkan hingga level pendidikan tinggi juga merupakan salah satu masalah pendidikan difabel di Indonesia, “Terdapat sekitar 184 perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan inklusif”.

Alexander Farrel yang merupakan salah satu pembicara membagikan pengalamannya sebagai salah satu difabel yang tengah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. 

 

Penulis: Erna

Kulon CPMH: Stres Akademik, Ancaman atau Tantangan?

Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menggelar kuliah online yang bertajuk Stres Akademik Ancaman atau Tantangan, Jumat (17/6). Kuliah ini merupakan rangkaian Kulon Series 2023 yang diadakan setiap hari Jumat siang. Turut hadir sebagai pemandu acara, Anggit Nur Sasmito. Kuliah online diikuti oleh mahasiswa, praktisi, dosen, psikolog, dan juga pengajar dari beberapa wilayah yang ada di Indonesia. 

“Stres akademik sering dialami oleh kalangan pelajar atau mahasiswa, terutama saat menjelang ujian,” ucap Anggit sebagai pemantik kuliah online. 

“Stres adalah istilah yang menggambarkan perasaan tidak nyaman karena adanya tekanan yang menuntut adanya adaptasi diri,” jelas Wirdatul Wirdatul Anisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, sebagai pemateri pertama. Tingkat stres bergantung pada persepsi seseorang terhadap sumber stres. Satu situasi dapat dipersepsikan berbeda oleh beberapa manusia. Oleh karena itu, manusia tidak akan pernah berhasil menyamaratakan tingkat stres seluruh orang. 

Lebih lanjut Wirdatul menjelaskan, “Manusia membutuhkan stres karena dari situlah ia belajar tentang adaptasi dan problem solving. Seseorang yang mengalami stres bukan berarti tidak sehat jiwa, World Health Organization (WHO) menerangkan bahwa salah satu kriteria orang sehat mental adalah kemampuan dalam mengelola stres. Sehingga, keberadaan stres dapat dikatakan sebagai suatu hal yang wajar dan normal”.

Sedikit dan banyaknya stres turut serta memengaruhi performa seseorang. Wirdatul mengatakan, “Jika seseorang memiliki sedikit stres, maka besar kemungkinan ia memiliki performa keaktifan yang rendah. Namun sebaliknya jika seseorang memiliki tingkat stres yang tinggi, maka juga dapat menjadi potensi kelelahan yang berujung pada kecemasan. Stres yang baik berada pada tingkat optimum (sesuai kapasitas diri)”.

Mengerecut ke dunia perkuliahan, stres di kalangan mahasiswa biasanya berhubungan dengan masalah akademik atau disebut stres akademik, yaitu ketegangan dan tekanan psikologis yang dialami siswa sebagai respons terhadap tuntutan dan harapan lingkungan akademik mereka. Stres akademik dapat memengaruhi kesehatan mental dan well being mahasiswa. 

“Apabila stres akademik ini terjadi terus-menerus dan menjadi kronis, maka dapat meningkatkan risiko berkembangnya gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, masalah perilaku, masalah emosional (marah dan frustasi), dan pikiran bunuh diri. Stres akademik dapat menurunkan motivasi, menghambat prestasi akademik, dan menyebabkan angka putus sekolah,” terang Wirdatul. 

Stres akademik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, yakni faktor psikologis (rendahnya self esteem, rendahnya self confidence, kesepian), faktor akademik (prokrastinasi, beban kerja akademis, hubungan negatif dengan guru/dosen/staf, kurang menguasai materi, dll), faktor biologis (kesehatan fisik, jenis kelamin, usia), faktor life style (kurang tidur, gangguan makan, kurangnya aktivitas fisik, dll), faktor sosial (tuntutan keluarga, kompetisi kelas, kurangnya jejaring sosial yang suportif, dll), dan faktor finansial (kemiskinan, rendahnya pendapatan keluarga, kurangnya dukungan finansial). 

“Antara satu faktor dengan faktor lainnya saling berkaitan. Faktor- faktor risiko ini perlu diperhatikan dan dikenali untuk meningkatkan faktor protektifnya sehingga faktor risiko dapat diminimalisir dan tidak menjadi penyebab terjadinya stres,” jelas Wirdatul. 

Selanjutnya, Wirdatul menyebutkan berbagai faktor protektif yang bisa membantu seseorang untuk menghadapi stres akademik, “Penilaian seseorang terhadap kemampuan diri dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik, kemampuan beradaptasi, daya resiliensi, optimisme, kemampuan manajemen waktu, dukungan sosial, dan kesejahteraan spiritual”. 

Selanjutnya, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi. Psikolog, pemateri kedua dalam kuliah online ini memaparkan tanda-tanda seseorang mengalami stres akademik, “Sering mengalami kesulitan belajar, sulit fokus atau perhatian mudah teralihkan, memiliki masalah tidur dan pola makan, mengalami keluhan somatik (sakit kepala, sakit perut, dll), ketidakpuasan terhadap performa akademik, menghindari aktivitas akademik (sering absen kelas), menarik diri dari lingkungan, dan pelarian ke hal-hal negatif”. 

Nurul Kusuma juga membagikan tips self help untuk menanggulangi stres, “Istirahat yang cukup dan berkualitas, makan yang bergizi dan teratur, melakukan aktivitas fisik (olah raga), menjaga jarak sejenak dari sumber stres, melakukan kegiatan yang dapat memunculkan emosi positif, menyusun ulang skala prioritas, fokus pada hal yang masih dalam kendali, menjalin interaksi sosial, mengoptimalkan sumber daya yang yang dimiliki, dan melakukan konseling jika dibutuhkan”. 

 

Penulis: Relung