Namanya adalah Ibu Rianti (bukan nama sebenarnya). Ia adalah seorang janda cerai berusia separuh baya. Berasal dari salah satu desa yang terterjang awan panas harus membuatnya hidup berpindah-pindah tempat pengungsian dengan bekal ala kadarnya. Baginya, kesulitan dan ketidaknyamanan di barak pengungsian merupakan hal yang biasa. Sementara hal yang tidak biasa adalah berjumpa dengan mantan suami beserta istri barunya bahkan harus tinggal satu blok bersama mereka. Ibu Rianti merasakan hal tersebut sebagai pukulan yang sangat berat. Ia berpikir bahwa Tuhan tidak adil terhadap dirinya. Ia pun sempat berkeinginan untuk mati karena merasakan hidup yang sedemikian pahit. “Masalah kok bisa sedemikan abotnya ya …”
Ibu Rianti kemudian mendatangi Posko Layanan Psikologi – Fakultas Psikologi UGM pada Selasa, 9 November, selepas maghrib. Di sana, masih berjaga seorang psikolog yang kesehariannya mengabdikan diri di Puskesmas Ngaglik II. Psikolog Amalia, nama psikolog tersebut, seharusnya sudah meninggalkan posko tersebut pada pukul 17.00. Ia telah bertugas sejak pukul 08.00. Namun demi dedikasi untuk pengungsi, Psikolog Amalia masih bertahan di Posko karena memang tengah melayani pengungsi lain hingga Ibu Rianti datang.
Psikolog Amalia menyambut Ibu Rianti dengan senyum hangat. Ia menerima dan menampung segala luapan emosi dan kisah penderitaan janda tanpa anak ini. Karena menilai Ibu Rianti belum cukup aman secara psikologis untuk kembali ke blok pengungsian, Psikolog Amalia mendampingi Ibu Rianti hingga larut malam, sampai sanak saudara Ibu Rianti datang untuk menjemput perempuan paruh baya ini. Waktu ketika itu telah menunjukkan pukul 23.00. Karena merasa terlalu larut untuk pulang, Psikolog Amalia memutuskan untuk menginap di barak pengungsian. Ia masih mengenakan baju yang sama sedari pagi karena memang tidak ada rencana untuk menginap sebelumnya. Psikolog Amalia hanya tidur berselimut mukena sampai datang seorang rekan sejawat yang secara tak sengaja membawakannya kantong tidur (sleeping bag dan bantal).
Begitulah salah satu kisah pengabdian seorang psikolog. Atas nama kemanusiaan, kenyamanan atas diri sendiri pun ditinggalkan. Yang terpenting adalah bermanfaat bagi sesama.
Dikutip dengan perubahan dari kisah nyata yang diceritakan Rahmat Hidayat, Ph.D