Pos oleh :

dzikriaafifah96

Satu Dekade Bersama: Kembali Pulang untuk Mengenang

Minggu (26/09), alumni angkatan 2011 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menggelar reuni virtual dengan tema “Satu Dekade Bersama: Kembali Pulang untuk Mengenang”. Acara reuni virtual kali ini dihadiri oleh 100 alumni dengan mengundang Prof. Dr. Faturochman, M.A dan Prof. Dra. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D., Psikolog sebagai tamu perwakilan dari dosen Fakultas Psikologi UGM.

Tampil sebagai salah satu perwakilan alumni Angkatan 2011 Fakultas Psikologi UGM, Wahidin Ghozi, memberikan sambutan pada awal acara. Melalui sambutannya Wahidin menyampaikan bahwa tujuan diadakannya acara reuni virtual untuk memfasilitasi rasa kangen sekaligus kembali mengenang lewat kepulangan ke rumah, yaitu Fakultas Psikologi UGM. Selain itu, Wahidin juga menyampaikan terkait agenda apa yang selama ini sudah pernah dilakukan oleh alumni Angkatan 2011 Fakultas Psikologi UGM.

Setelah sambutan oleh Wahidin, acara virtual reunian dilanjutkan dengan sambutan dari Prof. Dr. Faturochman, M.A yang menyampaikan tentang perubahan-perubahan yang sudah terjadi di Fakultas Psikologi UGM setelah Angkatan 2011 lulus. Berbagai perubahan tersebut terjadi baik secara kuantitas maupun kualitas. Mulai dari semua karyawan sudah mulai mahir berbahasa Inggris sampai penambahan fasilitas kampus serta pelayanan yang dipusatkan pada sistem daring. “Jadi, sudah tidak ada lagi mengurus berkas dengan cara datang ke kampus, bahkan untuk ijazah saat ini sudah terdata dengan sistem barcode”, ujar Faturochman.

Kemudian sesi berikutnya disambung oleh Kwartarini yang menyampaikan tentang makna apa yang didapatkan selama satu dekade bersama. “Growth itu tidak harus ditandai dengan menjadi lebih kaya atau lebih pintar, tetapi juga apakah kalian memiliki level keimanan, level sosial, emosional yang lebih bagus. Apakah hal-hal itu sudah teramati? Jangan-jangan hal-hal itu lupa teramati karena kita sibuk mengamati orang lain”, jelas Kwartarini.

Menurut Kwartarini, hal yang paling penting ketika mengenang suatu hal adalah berkaitan dengan memaknai waktu. “Jadi, jangan pernah berpikir bahwa kalian adalah orang yang kecil, be big!”, ucap Kwartarini. Berkaitan dengan menjadi besar, Fakultas Psikologi UGM kini sudah menjadi salah satu pihak yang memberikan kontribusi aktif terkait public policy melalui unit-unit yang ada, seperti CPMH maupun CLSD.

 

 

 

 

Photo by Cristina Cerda on Unsplash

Jejak Cerita di Balik Ruang Konsultasi: Konseling bagi Karyawan

Jumat (24/09) Unit Konsultasi Psikologi UGM mengadakan UKP Bersinergi UKP Berbagi (UBUB) ke-13 yang mengusung topik “Jejak Cerita di Balik Ruang Konsultasi: Konseling bagi Karyawan” secara daring. Topik yang diusung oleh UBUB #13 kali ini disampaikan oleh Diana Setiyowati, Psikolog dan Indrayanti, M.Si., Ph.D., Psikolog.

Tujuan diadakannya konseling bagi karyawan terdiri dari beberapa hal. Pertama, bertujuan untuk membantu mengurai permasalahan terkait pekerjaan. Kedua, membantu karyawan dalam menjaga keseimbangan hidup dan bekerja melalui fasilitas layanan profesional. Ketiga, bersama-bersama menemukan resolusi konflik dan menurunkan tingkat stress yang berdampak pada performa kerja.

Selanjutnya, Diana juga menyampaikan tentang hal-hal yang berpengaruh terhadap kesehatan mental karyawan, seperti target kerja, beban kerja yang melebihi kemampuan, target waktu penyelesaian kerja yang singkat dan mendadak, waktu kerja yang panjang, peran yang menantang, hubungan dengan karyawan lain, serta efisiensi kerja yang berdampak pada menumpuk atau tidaknya pekerjaan.

“Hal yang perlu diperhatikan adalah selama ini orang-orang menganggap bahwa counselling, coaching, consulting, dan mentoring adalah hal yang sama padahal berbeda, namun keempat hal tersebut memiliki kesamaan pada hal sama-sama membutuhkan kemampuan mendengarkan”, ungkap Diana.

“Selain itu, hal yang harus dipahami adalah adanya karyawan dengan tipe dan kebudayaan yang berbeda”, jelas Indrayanti. Sebuah konseling menjadi proses yang efektif menurut Indrayanti dapat terjadi ketika konselor dapat melengkapi dirinya dengan pengetahuan teoritis dan kemampuan praktis. Kemudian, ada pula hal lain yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan konseling karyawan, seperti apa yang membuat klien datang untuk konseling dan karakter apa yang membuat karyawan bertahan.

UBUB #13 ini dihadiri oleh 52 peserta yang terdiri dari psikolog dan mahasiswa profesi dari berbagai bidang peminatan yang tertarik untuk mendalami dan memperluas wawasan terkait layanan konseling karyawan. Acara yang dimulai pada pukul 13.00 dan berakhir pada pukul 15.00 ini dibagi menjadi tiga sesi, dengan sesi terakhir yang berisi tanya jawab peserta dipimpin oleh Ainurizan Ridho Rahmatulloh, M.Psi., Psikolog sebagai moderator.

 

 

 

 

 

Photo by Hunters Race on Unsplash

Jejak Cerita di Balik Ruang Konsultasi: Konseling Kedukaan

Mengusung topik, “Jejak Cerita di Balik Ruang Konsultasi: Konseling Kedukaan”, Unit Konsultasi Psikologi (UKP) kembali menyelenggarakan UKP Bersinergi UKP Berbagi (UBUB) ke-12 pada Jumat (10/9). Topik kali ini disampaikan oleh Dra. Sri Kusrohmaniah, M.Si., PhD dan Azri Agustin S.Psi., Psikolog serta Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog sebagai moderator.

Tampil sebagai pemateri pada sesi pertama, Kusrohmaniah menyampaikan bahwa kedukaan tidak harus selalu tentang kehilangan, namun bisa juga tentang peristiwa atau perubahan ekstrim yang terjadi. “Tentu saja perubahan yang dimaksud bersifat negatif”, jelas Kusrohmaniah. Selain itu, sebagai pengantar, Ia juga menyempaikan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kecenderungan untuk membentuk ikatan kasih yang difasilitasi oleh hormon oksitosin. Ketika ikatan kasih terganggu, maka saat itulah terjadi kedukaan yang membuat tubuh terbebani dan harus mengatur ulang kondisinya.

Duka dapat dimaknai sebagai respon alami yang dimiliki oleh manusia, bahkan hewan, ketika mengalami kehilangan atau kematian seseorang maupun sesuatu yang penting bagi dirinya. Ketika seseorang sedang mengalami duka, maka ketika itu pula manusia juga mengalami berbagai emosi, seperti kesepian, tidak percaya, mati rasa, merasa bersalah, kecemasan, keputusasaan, bahkan marah.

Menurut Kusrohmaniah, kedukaan yang berlangsung terus menerus akan menjadi sebuah gangguan yang kompleks jika tidak ditangani secara cepat dan tepat. Gangguan kompleks tersebut meliputi, Post-Traumatic Disorder (PTSD), Mayor Depressive Disorder (MDD), complicated-bereavement, Prolonged Grief Disorder (PGD), dan gangguan kepribadian.

Kemudian, pada sesi kedua dilanjutkan penyampaian materi oleh Azri, “Pulih dari Duka adalah judul yang saya ambil untuk membuka paparan materi dan diskusi kita hari ini”. Menurut Azri, dalam proses kedukaan sebetulnya membutuhkan waktu untuk bisa memulihkan diri kita sendiri.

Ada beberapa tahapan kedukaan yang dilewati oleh seseorang, yang pertama menolak, dimana seseorang merasa bahwa kedukaan yang dialami harusnya tidak terjadi. Kemudian, tahap kemarahan yang memunculkan pertanyaan kenapa dirinya yang harus mengalami kedukaan. Selanjutnya, tahap tawar-menawar yang memunculkan keinginan memutar waktu dan pertanyaan “seandainya saja”. Lalu, tahap depression yang membuat seseorang semakin masuk ke tingkat kesedihan yang lebih dalam dan kehilangan yang besar. Terakhir, tahap menerima dimana seseorang mulai mengelola kondisi diri dan menemukan makna dari kehilangan.

Adapun hal-hal penting yang perlu diperhatikan mengenai tahapan kedukaan, antara lain bahwa setiap tahap tidak berlangsung secara linier. Beberapa orang dapat merasakan satu tahap kemudian kembali pada tahap sebelumnya. Akan tetapi, ada juga yang melewati tahapan kedukaan secara linier dalam waktu yang singkat.

 

 

Photo by Kristina Tripkovic on Unsplash

Program Doktor Ilmu Psikologi Selenggarakan Kursus Intensif Statistika

Program Doktor Ilmu Psikologi Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan acara Kursus Intensif tentang Analisis Statistika Lanjut pada Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Kegiatan kursus intensif ini diselenggarakan selama 5 hari yang dimulai pada 30 Agustus 2021 dan berakhir pada tanggal 03 September 2021. Kegiatan kursus ini dibuka oleh Ketua Prodi Program Doktor Ilmu Psikologi, yaitu Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D

“Sekedar memperkenalkan kursus intensif ini merupakan bentuk pembelajaran di dalam kurikulum Program Doktor Ilmu Psikologi tahun 2020 yang mana kegiatan pembelajaran dilakukan secara modular”, ungkap Rahmat melalui sambutan pembukaan. Selain itu, Rahmat juga menyampaikan bahwa kursus intensif ini menjadi kegiatan penyegaran tentang statistika, khususnya untuk mahasiswa Program Doktor Ilmu Psikologi dan juga para kandidat Doktor Ilmu Psikologi yang masih memerlukan penyegaran materi statistika.

Kegiatan kursus intensif kali ini diawali dengan materi “Analisis Mediator” yang disampaikan oleh Haidar Buldan Thantowi, M.A., Ph. D. Haidar menampilkan beberapa contoh judul penelitian dengan menggunakan model analisis mediator. “Mediasi ini adalah salah satu analisis yang menurut saya cukup menarik dan memberikan kesempatan kepada kita untuk menguji hipotesis yang lebih rumit”, ujar Haidar.

Secara umum, terutama pada tingkat S1 lebih sering diajarkan mengenai analisis di antara dua variabel. Sementara mediasi mengakui bahwa hubungan antara variabel tidak sesederhana satu variabel dengan variabel lainnya. Pada kegiatan kursus intensif kali ini, Haidar tidak hanya menyampaikan materi, namun juga mengajarkan secara langsung kepada peserta kursus bagaimana cara menganalisis mediator menggunakan aplikasi SPSS dan Jamovi.

Kegiatan yang berlangsung selama 5 hari ini terdiri dari beberapa topik, antara lain “Analisis Moderator”, “Analisis Longitudinal, Analisis Faktor Konfirmatori, Pemodelan Persamaan Struktural, dan berbagai materi menarik lainnya. Selain itu, materi-materi tersebut disampaikan oleh berbagai pembicara yang berkompeten di bidangnya, seperti Prof. Dr. Faturochman, M.A., Galang Lufityanto, M.Psi., Ph.D., Wahyu Jati Anggoro, M.A., Wahyu Widhiarso, M.A., Muhammad Dwirifqi K.P, M.Si., Helly P. Soetjipto, M.A., dan Prof. Dr. Saifuddin Azwar, M.A.

 

Photo by John Schnobrich on Unsplash

UKP: Berkenalan dengan Psychological First Aid

Sebagai sebuah usaha untuk terus meningkatkan pelayanan bagi pengguna layanan, Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi UGM mempersembahkan acara “Pelatihan Peningkatan Keterampilan: Psychological First Aid”. Acara ini diadakan pada Jumat (3/9) dan diperuntukkan bagi Psikolog dan Asisten Psikolog UKP.

Hadir dalam acara ini Maria Ratih Maharani, M.Psi., Psikolog sebagai pembicara yang saat ini bekerja sebagai Psikolog di RS Panti Rapih Yogyakarta, UKP Psikologi UGM, dan Biro Psikologi Intuisi. “Biasanya, pelatihan Psychological First Aid (PFA) dilakukan minimal 7-8 jam per sesi, namun jika kita ingin melakukan pelatihan PFA hanya selama 1 jam, saya memohon izin untuk tidak melabeli sesi ini dengan sebutan pelatihan atau pembekalan”, jelas Maria. Oleh karena itu, menurut Maria acara kali ini lebih cocok jika disebut dengan pengantar atau perkenalan PFA.

Maria meyakini bahwa pada umumnya orang-orang sudah melakukan PFA, namun yang bersangkutan tidak menyadarinya karena PFA merupakan suatu hal yang sangat sederhana dan melekat pada sisi-sisi manusiawi seorang manusia. Dengan demikian, harapannya tiap orang dapat mempraktekkan PFA untuk lingkungan sekitarnya serta dibantu program pelatihan PFA yang memadai.

Acara ini diawali dengan pertanyaan yang diajukan oleh Maria kepada partisipan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika PFA. Beberapa diantara pernyataannya mengenai apakah seseorang akan mengalami trauma setelah peristiwa traumatis sampai pertanyaan tentang apakah PFA sama dengan trauma healing.

Menurut Maria, menolong hanya dengan niat saja terkadang tidak cukup. Dibutuhkan keterampilan menolong agar bantuan yang diberikan sesuai kebutuhan, tidak melebihi kemampuan diri, serta mampu mengaktivasi sumber daya dalam diri. Hal-hal tersebut yang pada akhirnya menjadikan PFA sebagai suatu hal yang perlu dipelajari.

Ada beberapa hal yang menjadi tujuan dari dilakukannya PFA, yaitu untuk menenangkan orang lain yang sedang stres, berempati, menumbuhkan perasaan aman, mendengarkan keluhan dengan sepenuh hati, menemani di saat sulit, mengusahakan pemenuhan kebutuhan dasar, normalisasi kecemasan, dan menyediakan informasi yang dibutuhkan.

Pada akhir sesi acara ini, peserta diajak untuk praktek langsung mengenai PFA dengan membagi peserta dalam beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga peserta yang diberi tugas untuk bergantian berperan sebagai pengamat, orang yang membutuhkan PFA, dan orang yang memberikan PFA.

Adanya acara ini diakui oleh peserta sangat menyenangkan dan membantu mereka dalam memahami apa itu PFA dan bagaimana cara melakukannya. Peserta mengaku senang dan antusias serta berharap akan ada acara yang lebih menyenangkan di lain waktu yang juga membantu mereka dalam berperan baik sebagai asisten psikolog maupun psikolog.

 

Photo by Claudio Schwarz on Unsplash

UBUB #11: Hapus Galau Patah Hati dengan Mindfulness

Jumat (27/8) Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi UGM mengadakan UKP Bersinergi UKP Berbagi (UBUB) yang ke-11. Pada kesempatan kali ini, topik yang diangkat adalah “Hapus Galau Patah Hati dengan Mindfulness”. Narasumber yang terlibat dalam topik tersebut adalah Vincent Eddy K. H., M.Psi., Psikolog sebagai salah satu psikolog rekanan di UKP.

Menurut Vincent, relasi romantis menjadi salah satu tujuan hidup yang dimiliki seseorang, selain pendidikan maupun karier. Salah satu penyebab terjadinya hubungan romantis yang dimiliki seseorang adalah intensitas pertemuan yang berawal dari kenalan kemudian menjalin pertemanan lalu meningkat menjadi intens mendalam. “Jika dikaitkan dengan peribahasa jawa, maka yang cocok dengan fenomena tersebut adalah Witing Tresna Jalaran Saka Kulina”, jelas Vincent.

Beberapa ciri dari hubungan romantic atau bisa disebut dengan passionate love, seperti adanya kebingungan mendefinisikan keadaan, perasaan mudah terkoneksi dengan sekitar, berusaha untuk berada dekat secara fisik, serta adanya keinginan untuk diperlakukan sama. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua relasi romantis berhasil dengan memiliki perasaan yang sama antara satu orang dengan yang lainnya atau orang menyebutnya dengan “cinta bertepuk sebelah tangan”.

Vincent melanjutkan, beberapa penolakan dapat berupa sindiran, orang yang disukai mengalami perubahan sikap, dan hal-hal yang terjadi tidak sesuai harapan. “Saya membagi efek-efek yang dialami oleh seseorang yang mengalami penolakan menjadi dua kelompok, yaitu efek perasaan dan efek reaksi tubuh”. Efek perasaan meliputi, sedih, cemas, ketakutan, hopeless, menyesal dan bersalah. Sementara efek yang ditimbulkan oleh tubuh sebagai reaksi dari efek penolakan adalah enek, lemas, sakit kepala, demam, limbung, bahkan gangguan pencernaan. Menurut Vincent, efek yang ditimbulkan penolakan baik perasaan maupun tubuh sudah dikemas dengan satu kata yang apik oleh Alm. Didi Kempot, yaitu ambyar.

Oleh karena itu, pada acara UBUB ke-11 ini, Vincent berkesempatan untuk membantu peserta yang hadir dengan menggunakan salah satu cara untuk mengurangi ambyar dengan mindfulness. Mindfulness merupakan salah satu proses mengarahkan perhatian pada berbagai kondisi sekarang (saat itu) tanpa adanya penilaian.

Tidak hanya sekedar penyampaian materi, namun Vincent mengajak peserta UBUB turut serta mempraktekkan secara bersama-sama salah satu postur dalam mindfulness, yaitu posisi duduk. Kegiatan praktek mindfulness bersama secara langsung pada UBUB kali ini tentunya menjadi hal menarik dan unik. Partisipan yang berjumlah 40 orang lebih pun berterima kasih dan antusias atas diadakannya kegiatan praktek mindfulness bersama.

 

 

Photo by Lesly Juarez on Unsplash

Fakultas Psikologi UGM Luluskan 55 Sarjana

Rabu (25/8) Fakultas Psikologi Univesitas Gadjah Mada menyelenggarakan Pelepasan Wisudawan/Wisudawati Periode IV Tahun Akademik 2020/2021 Program Sarjana dan International Undergraduate Program. Acara ini diikuti oleh 47 mahasiswa Program Sarjana dan 8 mahasiswa International Undergradute Program (IUP). Total periode pelepasan wisudawan/wisudawati kali ini diikuti oleh 55 mahasiswa

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi pada periode pelepasan wisudawan/wisudawati kali ini diraih oleh Anita Listiyani dari Program Sarjana. Meraih IPK tertinggi 3.90, Anita sekaligus meraih predikat cumlaude. Selain Anita, terdapat 28 mahasiswa Program Sarjana yang juga memperoleh predikat cumlaude pada pelepasan periode kali ini. Sementara untuk masa studi tercepat diraih oleh Anisah Nur Shafiyah, yaitu 3 tahun 7 bulan 16 hari.

IPK tertinggi pada Program IUP diraih oleh Dea Raihana Salsabilla yang sekaligus meraih predikat cumlaude, yaitu 3.82. Selain Dea, terdapat 6 mahasiswa lainnya yang juga mendapatkan predikat cumlaude pada pelepasan periode kali ini. Sementara untuk masa studi tercepat ditempuh selama 3 tahun 8 bulan 22 hari oleh Nadira Sarah Salsabila Adriyanto.

Selain itu, penghargaan mahasiswa berprestasi juga diberikan oleh Fakultas Psikologi kepada wisudawan/wisudawati yang berprestasi secara akademik maupun non-akademik. Terdapat 36 mahasiswa yang berprestasi dalam aktivitas akademik dengan predikat cumlaude yang diraih.

18 mahasiswa, yaitu Abrar Audi Abdurrahman, Alpha Rhesa Janitra, Anggitya Nur Rahmadhani, Anita Listiyani Arka Nareswari, Atikah Prastowo, Denia Farahdian, Fadhillathif Farras Arifin, Fardha Thania Putri, Felecia Ratri Prameswari Sutjijana, Garbiella Wisthatisna, Giri Putra Riyanto, Nabila Hasyyati Basuki, Puti Reno Intan, Shania Amanda, Yasinta Dyah Puspaningtyas, dan Yulia Mukti Rufaida berhasil meraih prestasi non-akademik melalui berbagai kompetisi yang diikuti.

Pada periode kali ini, sambutan dari wisudawan diwakili oleh Fadhillathif Farras Arifin. Lewat sambutannya, Fadhillatif mengungkapkan bahwa berkuliah di Fakultas Psikologi tidak hanya sekedar belajar teori, tetapi juga belajar tentang pendewasaan diri. “Mungik ini adalah penutup dari perjalanan kita disini (Fakultas Psikologi UGM), namun ini juga permulaan dari tahapan kehidupan selanjutnya”, ujar Fadhillathif. Selain itu, sambutan dari orang tua disampaikan oleh Ade Muhammad Yusuf yang merupakan orang tua dari Dea Raihanna Salsbilla. Melalui sambutannya, Ade berpesan agar para wisudawan/wisudawati bersinergi dalam tekad dan tabiat untuk berkembang dan maju bersama.

Sambutan juga diberikan oleh Prabaswara Dewi, S.Psi., M.A selaku Ketua Keluarga Alumni Psikologi Gadjah Mada (KAPSIGAMA), “Ketika kita akan mencapai kesuksesan salah satu caranya adalah mencari mentor untuk mengasah potensi adek-adek semuanya”, ucap Prabaswara. Serupa yang disampaikan oleh Prabaswara, Dekan Fakultas Psikologi UGM, yaitu Prof. Dr. Faturochman, M.A melalui sambutannya menyampaikan bahwa softskill juga harus diasah sebagai pelengkap dari prestasi akademik yang telah wisudawan/wisudawati raih.

Acara pelepasan periode ini ditutup oleh pengambilan foto secara online wisudawan/wisudawati bersama keluarga atau yang mendampingi.

Hilman Raih Juara 2 Lomba Esai Psyberfest 2021

Hilman adalah salah satu mahasiswa S1 Fakultas Psikologi UGM yang saat ini sedang menempuh kuliah di semester tiga. Hilman berhasil menorehkan prestasi yang membanggakan, yaitu meraih Juara 2 Lomba Esai Psyberfest 2021 yang diselenggarakan oleh Projek Kolaborasi Mahasiswa 7 Fakultas Psikologi.

Dalam perlombaan tersebut, Hilman membuat esai yang berjudul, “Konstruktivisme Sosial: Inovasi Model Pendidikan untuk Meningkatkan Resiliensi Mental di Tengah Dinamika Pendidikan Pascapandemi Covid-19”. Esai tersebut disusun oleh Hilman menggunakan pendekatan dari psikologi dan hal itu yang membuat lomba esai kali ini terasa berbeda dengan lomba-lomba yang pernah Hilman ikuti sebelumnya.

Ketika ditanya mengenai bagaimana perasaannya kembali menjuarai lomba, Hilman mengaku bersyukur karena bisa menorehkan prestasi lagi di bidang tulis-menulis. Mengenai siapa yang selama ini paling mendukung Hilman untuk terus menerus menulis, selain orang tua dan teman-teman adalah diri sendiri. “Motivasi utama dalam menulis sebenarnya diri sendiri karena saya bisa membantu orang tua dan meningkatkan kemampuan saya”, ujar Hilman.

Terkait sosok yang menginspirasi, Hilman mengaku Andrea Hirata adalah penulis yang ia jadikan inspirasi. Meskipun begitu, Hilman tetap terus mengembangkan gaya kepenulisannya sendiri secara otodidak. “Saya menyadari bahwa tulis-menulis adalah kemampuan saya ketika di kelas 3 SMA. Sejak kelas 3 SMA saya mulai mengikuti lomba tulis menulis kecil-kecilan”.

Kendala yang pernah dialami oleh Hilman ketika menulis adalah kecapekan dan manajemen waktu yang kurang baik. Apalagi kondisi seperti saat ini yang mengharuskan perkuliahan dilakukan secara daring dan banyaknya tugas perkuliahan yang diberikan. Hilman harus dituntut lebih lagi untuk memiliki manajemen waktu yang baik. Oleh karena itu, Hilman menyiasatinya dengan sesegera mungkin mengerjakan tulisannya setelah mendapatkan informasi suatu lomba.

Di penghujung sesi wawancara, Hilman memberikan beberapa kiat untuk teman-teman yang masih berat untuk melakukan kegiatan tulis menulis. “Di Psikologi Sosial ada yang namanya mere-exposure effect, semakin terkena paparan berulang oleh suatu stimulus, maka dapat menaikkan tingkat preferensi. Dibiasakan untuk sering bertemu dengan pengalaman tulis-menulis. Bisa diawali dengan genre yang disukai”, ucap Hilman.

UBUB #10, “Jejak Cerita di Balik Ruang Konsultasi: Intake Interview”

Pada Jumat (13/8), Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan UKP Bersinergi UKP Berbagi (UBUB) ke-10 yang membahas tentang “Jejak Cerita di Balik Ruang Konsultasi: Intake Interview”. Pembahasan tersebut disampaikan oleh Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si dan Dr. Maria Goretti Adiyanti, M.S. Selain itu, pembahasan ini dimoderatori oleh Lucia Peppy Novianti, M.Psi., Psikolog dan diikuti oleh 92 peserta secara daring melalui Zoom.

Pembahasan kali ini, diawali oleh Sutarimah yang menceritakan pengalamannya ketika berkuliah di Master of Psychology pada bidang Counseling of Psychology, “bayangkan, waktu itu bahasa Inggris saya belum selancar seperti sekarang dan waktu itu saya harus berhadapan dengan telpon yang masuk.. klien yang mau mendaftar dan harus melakukan intake interview. Pengalaman itu sangat berkesan bagi saya yang erat kaitannya dengan intake interview”.

Intake interview adalah interview pertama yang dilakukan oleh konselor atau terapis ketika klien datang. Intake interview ini dilakukan untuk mengetahui masalah apa yang membawa klien tersebut datang. Selain itu, intake interview juga dilakukan untuk mengetahui mengenai riwayat pribadi maupun keluarga. Intake interview dapat dilakukan oleh terapis, konselor, asisten, maupun frontliner secara tatap muka atau melalui telpon.

Intake interview menjadi suatu hal yang penting karena menjadi interaksi pertama kali dengan klien. Melalui intake interview, klien dapat termotivasi atau justru mengurungkan niatnya untuk melanjutkan tritmen psikologis lewat kesan klien terhadap konselor atau institusi penyedia jasa konseling. Berdasarkan penelitian, Sutarimah mengatakan bahwa keputusan klien untuk melanjutkan terapi atau tidak terjadi setelah sesi pertama terapi.

“Tentu mereka (klien) datang dengan berbagai macam perasaan. Oleh karena itu, ada hal-hal yang perlu diperhatikan dan menjadi kewajiban interviewer”, jelas Maria. Salah satu hal yang menjadi kewajiban seorang interviewer adalah mampu menimbulkan kesan positif. Kesan positif yang dimaksud dengan cara menumbuhkan rasa aman dan nyaman, menumbuhkan pemahaman bahwa klien sudah melakukan keputusan yang benar dengan data ke jasa konseling, serta memberikan informasi tentang proses selama intake interview. Kemudian, interview juga harus dilakukan secara cermat, baik dari segi kemampuan maupun persiapan sarana dan prasarana.

Intake interview bukan sekedar wawancara biasa karena informasi yang didapatkan akan membawa klien pada psikolog tepat dengan terapi yang cocok. Oleh karena itu, para psikolog dan calon psikolog diharapkan memelajari dengan baik dan benar serta terus meningkatkan kemampuan berkaitan dengan interview.

 

 

 

Photo by Van Tay Media on Unsplash

Research Knowledge Sharing: Pola Perkembangan Perilaku Prososial dan Motif Moral pada Anak dan Remaja

Prodi Sarjana Fakultas Psikologi UGM pada hari Jumat (6/8) mengadakan acara “Research Knowledge Sharing: Pola Perkembangan Perilaku Prososial dan Motif Moral pada Anak dan Remaja”. Pada kesempatan kali ini, tema tersebut disampaikan oleh Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Psi. Tidak hanya sendiri, Sutarimah juga melakukan penelitian ini bersama dengan Sukmo Bayu Suryo R., Gesta Aulia Nisa, dan Firyal Nur Karimah. “Agak sedikit berbeda judul yang ditampilkan pada poster dengan yang saya tampilkan, namun pada intinya yang saya jelaskan pada intinya sama, yaitu pola perkembangan prososial”, jelas Sutarimah.

Penelitian ini dilakukan dengan dilatar belakangi oleh manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa lepas berinteraksi dengan orang lain, terutama ketika sedang menghadapi kesulitan. Selain itu, Indonesia sebagai negara kolektivistik juga memiliki budaya gotong royong yang menjadi salah satu karakter yang sangat penting dan harus dipertahankan. Selain menjadi sebuah kebudayaan, gotong royong juga menjadi salah satu bentuk prososial

Prososial dapat dimaknai sebagai perilaku sukarela yang bermanfaat untuk orang lain serta bertujuan untuk membangun hubungan yang harmonis di lingkungan. Selain itu, tumbuhnya prososial adalah komponen kunci perkembangan sosial manusia yang membantu individu untuk menyatu dan berkontribusi di masyarakat.

Ada beberapa hal yang menjadi faktor dari prososial, salah satu yang banyak disebut adalah faktor kontekstual. Faktor kontekstual berkaitan dengan sosialisasi value dalam keluarga, komunitas, maupun masyarakat. Selain itu, ada empat hal lain yang berperan sebagai aspek prososial, antara lain comforting, helping, sharing, dan cooperating.

Tujuan dari penelitian yang dilakukan Sutarimah kali ini adalah untuk melihat pola perilaku prososial secara keseluruhan, baik di daerah urban maupun di daerah rural. Melalui penelitian ini, Sutarimah menduga prososial di daerah urban lebih tinggi dibandingkan di daerah rural.

Terdapat dua hal menarik yang ditemukan oleh penelitian ini, yaitu aspek sharing yang menurun pada subjek umur 7-9 tahun lalu kembali naik seiring bertambahnya usia dan aspek comforting pada perempuan yang lebih tinggi dibandingkan subjek laki-laki.

 

 

 

Photo by Mike Scheid on Unsplash