Webinar Kesehatan Jiwa Tahun 2021: Kesehatan Mental untuk Pedesaan di Indonesia

Selasa (14/12) Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) menyelenggarakan acara webinar dengan topik “Kesehatan Mental untuk Pedesaan Indonesia”. Acara tersebut dimoderatori oleh Idei K. Swasti, M.Psi., Psikolog dan dibuka dengan sambutan pengantar oleh Prof. Irwanto, Ph.D. selaku Ketua Badan Pengurus YKIS. Selain itu, acara webinar ini menghadirkan berbagai narasumber yang terdiri dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., Romo Dr. C. Suparman Andi, MI., dan Dr. Diana Setyawati, M.HSc., Ph.D.

Salah satu bahasan yang dibicarakan pada webinar ini berkaitan dengan tantangan yang dihadapi oleh pelayanan jiwa. Tantangan tersebut seputar bagaimana supaya inovasi pelayanan dapat menjangkau kesehatan jiwa di daerah rural dan terbatasnya tenaga kesehatan untuk pelayanan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan tele-konsultasi untuk mencapai daerah rural yang luas dan diperlukan teknologi digital untuk menunjang kegiatan tersebut. “Akses pelayanan jiwa akan lebih baik lagi jika ditunjang dengan teknologi”, ujar Laksono

Adanya tantangan yang dihadapi oleh pelayanan jiwa di Indonesia membuat Deni K. Sunjaya dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran membuat inovasi Pengembangan Sistem Screening berbasis Digital. “Kami membangun suatu platform yang kini sudah dapat diunduh. Platform ini baru memiliki lima instrument yang terdiri dari depresi, kecemasan, PTSD, burnout, dan gangguan mental emosional”, jelas Deni. Harapannya, adanya screening berbasis digital dapat mempermudah tenaga kesehatan untuk menindaklanjuti dengan diagnosis yang pasti dan penanganan yang tepat.

Tidak hanya Deni, Romo Suparman juga melakukan sebuah usaha pelayanan jiwa di wilayah Nusa Tenggara Timur yang disebut sebagai Rumah Bebas Pasung. “Kami mencoba membangun sebuah sistem pelayanan kesehatan jiwa bagi pasien pasung dengan membangun sebuah rumah bebas pasung”. Rumah bebas pasung dibangun di samping keluarga pasien dengan catatan bahwa rumah tersebut dapat dijangkau oleh keluarga dan sangat dekat dengan keberadaan keluarga. Hal tersebut dilakukan karena ingin mengaktifan parsitipasi keluarga dalam pelayanan jiwa.

Ada berbagai hal yang menjadi faktor resiko kesehatan jiwa di wilayah, termasuk daerah pedesaan seperti status sosial-ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah, stigma negatif tentang kesehatan jiwa, pernikahan di bawah umur, kurangnya akses pelayanan kesehatan jiwa, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, dalam materi yang disampaikan, Diana merekomendasikan beberapa hal untuk kondisi tersebut, seperti mendorong pengalokasian dana daerah yang memadai untuk kesehatan jiwa dan adanya distribusi profesional kesehatan jiwa secara merata.

 

Photo by J G D on Unsplash