Sebagai universitas yang berkomitmen pada program Health Promoting University (HPU), kesehatan mental menjadi perhatian bagi Universitas Gadjah Mada. Sejauh ini, tingkat kesadaran kesehatan mental mahasiswa UGM dapat dikategorikan cukup tinggi. Meskipun begitu, layanan psikologi yang disediakan masih terbatas.
Nurul Kusuma Hidayati seorang psikolog di Gadjah Mada Medical Center (GMC), Unit Konsultasi Psikologi (UKP) dan Central for Public Mental Health (CPMH) UGM, mengatakan bahwa ada peningkatan kesadaran mengenai kesehatan mental terutama di kalangan mahasiswa UGM.
“Sudah lebih meningkat dibandingkan dulu, namun masih perlu ditingkatkan. Terutama mengenai literasi kesehatan mental,” kata Nurul.
Mahasiswa dapat memanfaatkan layanan psikologi mulai dari tingkat fakultas jika ada, GMC atau menemui psikolog di puskesmas. Di UGM sendiri, setidaknya ada 5 layanan psikologi yakni tersebar di Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Gadjah Mada Medical Center.
Kesadaran kesehatan mental yang dimiliki oleh mahasiswa UGM dapat dibuktikan melalui pemanfaatan layanan psikologi. Salah satunya adalah layanan psikologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK). “Per Agustus 2019, mahasiswa yang memanfaatkan layanan mencapai 38 mahasiswa. 37 konseli berasal dari S1 dan 1 mahasiswa pascasarjana,” kata Astuti, salah satu psikolog layanan psikologi FK-KMK.
Layanan psikologi FK-KMK baru hadir kembali Juli 2019 setelah vakum 3 tahun. Meskipun begitu, Astuti dan Restu selaku psikolog layanan psikologi FK-KMK menuturkan bahwa kesadaran menggunakan layanan psikologi sudah cukup tinggi.
Menurut Astuti, kehadiran layanan psikologi di FK-KMK didorong oleh tekanan akademik yang tinggi. Curhatan konseli FK-KMK didominasi seputar masalah personal, keluarga, relasi sosial dan akademik terutama strategi dan motivasi belajar.
Namun, ada konseli yang telah mengalami gangguan psikologi klinis seperti kecemasan, depresi, self-harm bahkan tendensi bunuh diri. Mengingat FK-KMK memiliki Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa, psikolog dan psikiater saling kerja sama.
Mahasiswa dapat terkena gangguan mental disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari personal, keluarga, pertemanan hingga tuntutan akademik. Belum lagi, persaingan ketat sesama mahasiswa menambah tekanan tersendiri. Ada kultur ambisi yang tinggi di kalangan mahasiswa.
Selain itu, ada tendensi mahasiswa untuk membandingkan pencapaian dirinya sendiri dengan orang lain. Emosi seperti ini wajar namun perlu diolah dengan baik. Batasan antara wajar dan gangguan psikologi terletak pada dampak yang ditimbulkan emosi pada fungsi manusia.
Menyikapi tendensi ini, Restu menekankan variabel untuk membandingkan diri adalah diri sendiri yang dahulu dan sekarang. Keberhasilan orang lain bukan indikator kegagalan seorang individu.
Hal serupa juga terjadi di kalangan mahasiswa Fisipol UGM. “Mahasiswa sekarang ada kecenderungan menyalahkan diri sendiri. ‘Duh! karya gue cuma gini doang.’ contohnya,” kata Dina, psikolog di Career Development Center (CDC) Fisipol UGM.
Dina mengungkapkan riset di kalangan mahasiswa Fisipol 2018 menunjukkan ada kecenderungan mahasiswa rentan akan kecemasan tinggi. Meskipun demikian, tingkat depresi rendah.
Jika mahasiswa telah berada di gangguan mental klinis, CDC turut bermitra dengan psikiater. CDC akan merujuk konseli ke psikiater sembari tetap rutin konseling.
Dina menjelaskan proses mahasiswa terkena gangguan mental sangat kompleks. “Bisa saja proses itu dimulai sejak SD, namun baru diketahui saat kuliah di Fisipol. Itu pun karena di-screening sehingga jadi tahu,” kata Dina.
Lebih lanjut, Dina mengatakan, selain masalah personal, relasi sosial dan akademik, faktor kepribadian turut ambil andil dalam menyebabkan gangguan mental. Tipe kepribadian seperti perfeksionis dapat berpotensi menyebabkan gangguan jiwa. “Bisa saja mahasiswa secara kognitif bagus tetapi terlalu perfeksionis sehingga menimbulkan kecemasan,” katanya.
Layanan konsultasi psikologi CDC berdiri didorong oleh kesadaran pentingnya kesehatan mental untuk membangun masa depan. Orang yang memiliki permasalahan mental, pikirannya tidak bisa diajak merencanakan karir di masa depan. Selain itu, Dina menuturkan bahwa banyak mahasiswa yang tertekan saat proses penyelesaian skripsi.
Sejak beroperasi pada 2014, layanan psikologi CDC telah melayani 264 konseli dan saat ini masih ada 32 konseli yang statusnya dalam daftar tunggu. Sejauh ini, layanan konsultasi psikologi CDC masih didominasi mahasiswa S1.
Meskipun kesadaran kesehatan mental di kalangan mahasiswa UGM sudah cukup tinggi, namun stigma masih tak terelakkan. “Pernah ada konseli bertanya ‘Ada gak mbak cowok yang konseling juga?’ begitu,” ujar Astuti. Hal ini dikarenakan masih ada stereotip cowok harus bersikap kuat.
Dina mengakui pernah ada bias gender dalam pemanfaatan layanan psikologi di CDC. “Dulu ada seperti itu. Tetapi, sekarang pandangan itu sudah mulai luntur,” kata Dina.
Meskipun begitu, Dina berharap ke depannya ada sinergi semua sivitas akademik untuk mengubah stigma yang terlanjur melekat. Semua perlu menghancurkan stigma gangguan jiwa adalah aib.
Restu juga berharap adanya peningkatan kesadaran mencari pertolongan di kalangan mahasiswa. “Seeking for help bukanlah hal yang salah. Ibaratnya ketika orang batuk, datang ke dokter untuk menyembuhkan batuknya. Begitu juga ke psikolog.”
Melihat layanan psikologi di UGM yang masih terbatas, Astuti berharap ada badan di tingkat universitas yang menangani kesehatan mental secara khusus. “Harapannya kalau UGM sudah menciptakan hal tersebut semoga dapat diikuti oleh kampus lainnya,” tutup Astuti.
Sumber: http://wargajogja.net/pendidikan/ugm-sebagai-kampus-sehat-bagaimana-dengan-kesehatan-mental-mahasiswa.html
Oleh: Maya Ristining Tyas