Raih Gelar Doktor Usai Teliti Pola Pengasuhan Ibu terhadap Anak Autis
Gangguan spektrum autis (GSA) atau sering kali dikenal dengan istilah autisme, bukan merupakan hal yang tabu lagi untuk dibicarakan di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistika Indonesia tahun 2010 terdapat sekitar 2.4 juta jiwa penduduk Indonesia yang mengidap GSA. Hal ini menimbulkan masalah yang cukup kompleks dalam hal pengasuhan anak dengan GSA tersebut, sehingga bagi orang tua atau ibu yang memiliki anak dengan GSA cenderung mengalami stres pengasuhan.
Stres pengasuhan yang sering kali dialami oleh para ibu, meskipun ibu memiliki sumber stres yang sama, yaitu anak dengan GSA, ternyata sering kali berbeda. Hal itu disebabkan oleh perbedaan ibu dalam memaknai anak. Ibu yang cepat menerima kondisi dirinya memiliki anak dengan GSA cendurung memiliki tingkat stres rendah, akan tetapi ada beberapa ibu yang penerimaannya lama sampai bertahun-tahun bahkan belasan tahun, cenderung memiliki tingkat stres pengasuhan lebih tinggi.
“Keterbatasan anak dengan GSA, karena perilakunya yang defisit atau eksesif sehingga menimbulkan stres pengasuhan pada ibu membuat saya tertarik untuk mengkaji dengan menggunakan 5 variable untuk mengungkapkan bagaimana fenomena stres ibu yang memiliki anak dengan GSA. Hal ini karena prevalensi kehadiran anak autis ini semakin meningkat”, ungkap Dr. Nurusssakinah Daulay, S.Psi., M.Psi di Auditorium G-100, Fakultas Psikologi UGM, Selasa (7/1) pada saat ujian terbuka Program Doktor.
Nurusssakinah Daulay merupakan staf pengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Promovendus dalam ujiannya mempertahankan disertasi Model Stres Pengasuhan pada Ibu yang Memiliki Anak dengan Gangguan Spektrum Autis dengan didampingi promotor Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam, S.U., dan ko-promotor Dr. Neila Ramdhani, M.Si., M.Ed.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, Nurusssakinah berpendapat bahwa kepribadian tangguh dan dukungan sosial itu tidak memberikan efek langsung memunculkan stres tetapi harus melalui mediator yaitu sense of competence sehingga mampu meminimalisasi stress. Hal yang memberikan efek secara langsung terhadap stres adalah persepsi ibu akan perilaku maladaptif anak.
“Ini karena setiap hari ibu harus berjumpa dan menemui kondisi anaknya yang tantrum, yang perilaku maladaptifnya itu eksesif yang lebih kepada tantrum, agresif, menyakiti diri sendiri, melukai orang lain. Hal ini tidak perlu mediator tapi ini langsung membuat ibu mengalami stres karena setiap hari harus menghadapi itu. Itu menjadi faktor resiko kemunculan stres. Hal itu yang menyebabkan stres pengasuhannya menjadi tinggi”, ujarnya. (Humas Psikologi UGM/Jehna)