Pemulihan Psikologis Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Konteks Keadilan Restoratif di Sekolah

Kamis (1/4) Promovendus Club Program Doktoral Ilmu Psikologi mengadakan acara bertajuk “Pemulihan Psikologis Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Konteks Keadilan Restoratif di Sekolah”. Acara ini merupakan bagian dari kolokium yang dilaksanakan secara rutin dua mingguan oleh Promovendus Club secara daring.

Acara berlangsung pukul 09.00 hingga 10.45 WIB. Peserta yang hadir dalam acara ini mencapai 80 orang.

Pemateri acara kolokium dua mingguan pada kesempatan ini adalah Dr. Putri Marlenny Puspitawati, M.Psi., Psikolog. Pada kesempatan ini ia membawakan tema penelitiannya tentang bagaimana idealnya penanganan anak-anak pasca berurusan dengan hukum sehingga kebutuhan psikologis anak tidak terkesampingkan dan dapat kembali diterima dalam lingkungan sosial secara sehat positif.

Ketika seorang anak melakukan pelanggaran hukum akan membawa dampak-dampak psikis meskipun anak tersebut sudah selesai menjalani proses hukum. Hal itu membuat anak sulit untuk pulih secara psikologis dan sosial.

“Bahkan ada yang sampai pada school refusal, penolakan terhadap sekolah dan konsep diri mereka semakin negatif” imbuh Putri.

Putri memaparkan fakta di lapangan bahwa kasus anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia semakin memprihatinkan. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasa Putra menyatakan bahwa dalam waktu lima tahun terakhir terdapat lebih dari 8.200 kasus anak berhadapan dengan hukum. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang tepat agar hak anak tetap terlindungi.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2012, tentang sistem peradilan pidana anak, anak yang berhadapan dengan hukum berhak diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya, berbeda dari orang dewasa yaitu tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai upaya upaya terakhir dan dalam waktu singkat dan memperoleh pendampingan orang tua/wali.

“Pertimbangan logisnya apa ketika proses hukum formal itu diterapkan? Karakteristik dan motivasi anak melakukan kejahatan itu sudah berbeda dengan orang dewasa. Di mana karakteristik anak yang melakukan tindak kejahatan dari segi fungsi kognitifnya, kondisi mentalnya, karakteristik kepribadiannya itu juga berbeda sendiri” jelas Putri.

Pertimbangan logis lainnya, menurut Putri, adalah dampak negatif dari proses hukum yang panjang, masa depan anak, kebutuhan anak dalam masa tumbuh kembang, dan pemenuhan hak-hak anak. Hal ini juga berpengaruh bagi bergesernya paradigma proses penegakan hukum dari keadilan retributif, menjadi keadilan restitusi, dan yang terakhir keadilan restoratif yang berlaku hingga sekarang.

Perkembangan paradigma hukum restoratif itu, menurut Putri, juga diimplementasikan pada perundang-undangan di Indonesia. Keadilan restoratif juga dijelaskan dalam UU RI No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (6) yang di dalamnya menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan.

Namun begitu pelaksanaan keadilan restoratif di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Hal itu terlihat dari ketimpangan proses pemulihan antara korban dan pelaku.

“Pemulihan dalam konteks administratif masih berfokus (hanya) pada korban, tidak ada yang terkait dengan pelaku. Dan kita sendiri di lapangan, konsep pemulihan dalam peraturan di Indonesia masih tergantung PP nomor 40 (tahun 2011) dan sebagainya. Jadi belum ada yang kaitannya konteks apa (saja) yang harus dipulihkan” ujar Putri.

Pada sesi terakhir Putri menjelaskan bahwa masih belum ada penelitian dengan konteks keadilan restoratif di Indonesia dalam penanganan tindak kekerasan di sekolah masih belum ditemukan. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian dari semua pihak karena kekerasan di sekolah juga merupakan permasalahan yang pelik di negeri ini.

Pada sesi pertanyaan peserta cukup interaktif bertanya tentang penelitian tentang paradigma hukum restoratif dari segi psikologis pada pemateri. Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta, Putri juga mengajak peserta untuk turut aktif dalam penelitian-penelitian terkait paradigma hukum restoratif dan implementasinya pada anak yang berkonflik dengan proses hukum.