Mahasiswa University of Sydney Ikuti Program Field Visit & Exchange

Berkolaborasi dengan Sydney Southeast Asia Centre, University of Sydney, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) selenggarakan field visit & exchange membahas isu disabilitas dan inklusi sosial, Senin (19/6). Selain mahasiswa dari University of Sydney sebagai peserta, hadir pula Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Difabel UGM sebagai mitra penyelenggara field visit & exchange bertajuk Disability Inclusion and Rights Fulfillment in Indonesia ini. 

Dr. Wenty Marina Minza, M.A., Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerja Sama Fakultas Psikologi UGM membuka secara resmi kegiatan. Wenty juga menyambut Prof. Sonja van Wichelen, Deputy Director Sydney Southeast Asia Centre serta mahasiswa dari University of Sydney di Fakultas Psikologi UGM. 

Hadir sebagai moderator yaitu Pradytia Putri Pertiwi, S.Psi., Ph.D., Dosen Fakultas Psikologi UGM yang juga merupakan penasehat UKM Peduli Difabel UGM. Empat pembicara dalam sesi diskusi yaitu Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D., Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Elga Andriana, S.Psi, M.Ed, Ph.D., Dosen Fakultas Psikologi UGM; Alexander Farrel, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan Anggota UKM Peduli DIfabel; Restu Tri Handoyo, Ph.D, Psikolog., Dosen Fakultas Psikologi UGM dan Kepala Unit Konsultasi Psikologi (UKP) UGM. 

Memulai pemaparan materinya, Wuri menyampaikan terdapat berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa terdapat siklus yang tidak dapat dipisahkan antara disabilitas dan kemiskinan, “Kalau bicara disabilitas, sangat dekat dengan kemiskinan… Ada lingkaran setan antara disabilitas dan kemiskinan. Ada banyak hambatan—hambatan fisik, sosial, atau perilaku—yang harus mereka hadapi di Indonesia. Fasilitas atau sekolah tidak dapat menampung semua anak difabel di Indonesia. Kedua, karena kurangnya pendidikan, mereka tidak dapat bersaing dengan non-disabilitas dalam hal mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena kurangnya pendidikan, mereka juga mengalami tingkat upah yang rendah”. 

Melanjutkan sesi diskusi yaitu pemaparan mengenai pendidikan bagi disabilitas oleh Elga Andriana, di Indonesia pada level pendidikan dasar, anak-anak difabel bersekolah di sekolah khusus. Tidak banyaknya institusi yang menyediakan pendidikan bagi difabel bahkan hingga level pendidikan tinggi juga merupakan salah satu masalah pendidikan difabel di Indonesia, “Terdapat sekitar 184 perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan inklusif”.

Alexander Farrel yang merupakan salah satu pembicara membagikan pengalamannya sebagai salah satu difabel yang tengah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. 

 

Penulis: Erna