Salah satu mata kuliah dalam kurikulum terbaru ini adalah biopsikologi yang berbobot 4 sks ditempuh dalam 1 semester. Untuk lebih membantu mahasiswa dalam mendalami mata kuliah ini, beberapa waktu yang lalu telah diselenggarakan talkshow Biopsikologi di Ruang G-100 Fakultas Psikologi UGM. Acara ini dibuka dengan sambutan Ketua Panitia, Adityo Reyhan dan sambutan Wakil Dekan Bidang akademik, Subandi, MA. Ph.D. Dengan mengangkat tema Meretas Batas Panca Indera. Dalam penyelenggaraan acara ini, pihak panitia mengundang Drs. Setyo Adi Purwanto, MS, Achmad Sholeh, M.Si, Broto Wijayanto, SS, Mukhanif Yasin Yusuf dan Arif Wicaksono sebagai pembicara. Moderator dari talkshow ini adalah pengajar sekaligus koordinator mata kuliah Biopsikologi, Dra. Sri Kusrohmaniah, M.Si.
Ada satu hal yang istimewa dari talkshow ini, yakni dua narasumber yang hadir merupakan ahli di bidang tersebut sekaligus penyandang tuna netra dan dua narasumber yang lain merupakan mahasiswa penyandang tuna rungu. Dari sesi perkenalan para narasumber, diketahui bahwa mereka merupakan aktivis di bidang yang berbeda-beda. Bapak Setyo Adi Purwanto merupakah ahli dalam bidang pendidikan sementara Bapak Ahmad Sholeh saat ini menjabat sebagai Ketua PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia). Mukhanif Yasin Yusuf sebagai mahasiswa tingkat 1 saat ini tengah menjalani perkuliahan di FIB dan Arif Wicaksono berperan sebagai pilot dari DAC (Deaf Art Community) dibawah pendampingan Bapak Broto Wijayanto.
Salah satu tujuan dari diselenggarakannya talkshow ini tentu saja mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan seperti yang tersirat pada tema yaitu bahwa memiliki keterbatasan fungsi panca indera bukan berarti membatasi seseorang untuk berkarya dan berbagi manfaat dengan orang lain di sekitar. Penyandang keterbatasan panca indera sejatinya sama dengan orang lain sehingga tidak perlu ada sekat yang membatasi mereka. Dalam acara ini, Arif yang juga tergabung dalam DAC memiliki kesempatan untuk menampilkan art performance berupa puisi yang juga sekaligus membawa pesan yang mewakili para penyandang tuna rungu di manapun mereka berada.
Apa salah kami lahir di dunia ini
Kami juga lahir dari buah cinta
Sama seperti anak-anak Adam dan Hawa
Sempurna, adalah kata-kata yang menyakitkan bagi kami
Seperti tombak yang ditusukkan ke ulu hati kami
Apa salah kami lahir di dunia ini
Kami juga lahir dari buah cinta
Sama seperti anak-anak Adam dan Hawa
sempurna hanya untuk orang normal dan tidak sempurna untuk tuli
Apa salah kami lahir di dunia ini
wajah-wajah sinis yang melihat kami
itu juga sama menyakitkan
tapi kami masih tetap yakin
bahwa kami masih memiliki kemampuan