Fakultas Psikologi UGM bekerjasama dengan Center for Public Mental Health (CPMH) mengadakan Kuliah Online sesi terakhir di tahun 2021 dengan topik “Waspada Sexual Grooming”. Topik kali ini disampaikan oleh Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anis, M.Psi., Psikolog. “Sebelum kita mengenal jauh tentang sexual grooming, sebenarnya grooming itu maknanya positif, yaitu mempersiapkan supaya nanti hasilnya lebih siap atau baik”, ungkap Nurul di awal sesi acara.
Akan tetapi, istilah grooming menjadi suatu hal yang menyedihkan karena seiring berjalannya waktu menjadi istilah yang harus diwaspadai. Menurut National Society for the Prevention of Cruelty to Children, grooming dapat dimaknai sebagai upaya seseorang membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan anak serta remaja yang nantinya dapat menjadi sarana untuk memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan. “Jika diperhatikan dari definisinya, memang ada kata kunci mempersiapkan. Artinya, memang segala hal yang dilakukan untuk mempersiapkan anak atau remaja atau seseorang menjadi target”, terang Nurul.
Dengan demikian, sexual grooming memang sebuah awal untuk mempersiapkan seseorang agar siap menerima perilaku pelecehan seksual. Oleh karena itu, tak jarang korban pelecehan seksual merasa tidak apa-apa dan bingung kenapa orang lain menganggap bahwa dirinya adalah seorang korban dari kasus pelecehan seksual. Perasaan tidak apa-apa dan merasa baik-baik saja yang dirasakan oleh korban pelecehan seksual adalah efek ekstrim yang ditimbulkan oleh sexual grooming.
Sexual grooming bukan berarti tidak dapat dicegah. Ada banyak hal yang dapat dilakukan yang bertujuan untuk menjaga orang-orang sekitar kita dari sexual grooming. Pertama dan utama adalah kesadaran orang tua yang berkaitan dengan potensi bahaya termasuk edukasi tentang seksual. “Pada masa seperti ini, orang tua tidak bisa terus menerus menjaga anak supaya tetap steril. Hal yang bisa dilakukan orang tua saat ini adalah menguatkan imun mereka. Supaya anak-anak tahu bahwa ketika ada ajaran yang bertentangan dengan yang disampaikan oleh orang tua, maka anak akan terbuka dalam menyampaikan”, jelas Wirdatul.