Kuliah Online CPMH: Fenomena NSSI di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa

Fakultas Psikologi UGM bekerjasama dengan Center for Public Mental Health (CPMH) menyelenggarakan Kuliah Online (KulOn) dengan topik “Fenomena NSSI di Kalangan Pelajar & Mahasiswa: Faktor Protektif & Faktor Resiko” (19/09). NSSI adalah salah satu hal yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi perasaan-perasaan yang sulit untuk dikelola, akan tetapi NSSI bukan diagnose klinis atau gangguan jiwa.

Menurut penelitian pada tahun 2022 oleh Wang dan kawan-kawan menemukan bahwa remaja perempuan dan laki-laki memiliki kecenderungan yang berbeda dalam melakukan NSSI dan secara statistic perilaku NSSI lebih banyak terjadi pada perempuan. “Kami ingin sampaikan warning ke perempuan bahwa kita lebih rentan untuk melakukan NSSI. Jadi, mohon lebih waspada”, himbau Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog sebagai salah satu pembicara di KulOn kali ini.

Selain itu, Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog juga menjelaskan bahwa perilaku NSSI dapat menyebabkan candu. “Oleh karena itu, perilaku melukai diri sendiri tidak dilihat dari motifnya, tetapi dilihat dari keinginan orang tersebut melukai diri sendiri tanpa ada niat bunuh diri”. Untuk individu yang tidak memiliki gangguan mental, tetapi kemudian menyelesaikan masalahnya dengan melakukan NSSI sebagai salah satu bentuk mengatasi masalah yang instan maka akan berpotensi mengarah pada gangguan mental, depresi, maupun gangguan kecemasan jika dibiarkan terus menerus.

Melalui topik KulOn ini juga dijelaskan tentang kondisi apa saja yang dapat menyebabkan individu rentan terhadap perilaku NSSI atau disebut sebagai faktor resiko. Hal-hal yang dapat menjadi faktor resiko adalah pengalaman buruk di masa kanak-kanak, rendahnya kemampuan dalam mengelola emosi, ketidakmampuan mengungkapkan pikiran atau perasaan, keberhargaan diri yang rendah, toleransi stres yang rendah, kurangnya kemampuan dalam menyelesaikan masalah, anggota keluarga atau teman sebaya melakukan NSSI, penggunaan media sosial, memiliki gangguan mental, dan pengetahuan yang rendah mengenai kesehatan. “Bukan berarti kemudian faktor resikonya lebih banyak kok faktor protektifnya lebih sedikit seolah-olah faktor protektifnya kalah, tidak. Akan tetapi, kami ingin menunjukkan bahwa banyak kondisi yang harus diwaspadai dan dicermati supaya bisa diantisipasi”, jelas Nurul.

Sementara untuk faktor protektif sebagai sebuah kondisi yang dapat melindungi atau mengurangi kerentanan individu terkait perilaku NSSI disampaikan oleh Wirdatul. Faktor protektif yang dimaksud terdiri dari 3 hal, yaitu dukungan sosial, memiliki positive coping, dan regulasi emosi yang matang.

“Apa yang harus kita lakukan ketika melihat atau menemukan orang sekitar kita melakukan NSSI? Pertama, tingkatkan literasi mengenai perilaku NSSI mengenai bahaya, konsekuensi, dampak yang tidak terduga yang tidak diketahui sebelumnya karena pelaku NSSI tidak mengetahui bahwa NSSI bisa menjadi sesuatu yang berbahaya”, jelas Nurul disela-sela penyampaian materi.

 

Photo by Warren Wong on Unsplash