Indonesia Kekurangan Tenaga Psikologi Forensik

Indonesia saat ini masih kekurangan tenaga ahli di bidang psikologi forensik. Sementara di setiap persidangan yang menangani kasus kriminal, korupsi dan terorisme, dibutuhkan masukan dari tenaga ahli forensik untuk menjadi pertimbangan para hakim dalam menjatuhkan putusan akhir. Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi, Psikolog, menuturkan saat ini terdapat 300 anggota asosiasi psikologi forensik yang jumlahnya masih sangat terbatas dibandingkan jumlah kasus yang  harus ditangani atas permintaan pihak aparat hukum. Ia menyebutkan untuk kasus teroris saja, pihaknya sudah menangani 200 kasus terorisme. “Sekitar 200 terduga pelaku teroris yang kita rekomendasi, apakah mereka termasuk memiliki tingkat radikal yang tinggi atau tidak sehingga perlu atau tidak dilakukan deradikalisasi atau memang harus diisolasikan ke lapas,” kata Reni kepada wartawan di sela-sela kegiatan workshop Asesmen Psikologi Forensik Dalam Praktik: Studi Kasus yang diselenggarakan Fakultas Psikologi UGM bekerja sama dengan APSIFOR di ruang seminar Fakultas Psikologi UGM, Selasa (29/1). Selain kasus teroris, kata Reni, pihaknya juga diminta bantuan untuk melakukan analisis psikologi forensik untuk terduga dan tersangka kasus korupsi. Sejak 2010 lalu, sedikitnya 50-an kasus korupsi yang sudah ditangani. “Sejak kasus AU hingga SN, kita rutin membantu untuk memberikan analisis rekomendasi,” ujarnya. Menurut Reni, analisis dan rekomendasi dari tim ahli psikologi forensik sebagian sudah menjadi rujukan para hakim dalam menentukan putusan di persidangan. “Syukur alhamdulillah, rekomendasi para ahli kita cukup didengar oleh hakim,” katanya. Selain itu, pihaknya juga banyak memenuhi permintaan bantuan untuk menangani kasus lain, seperti kasus pembunuhan, pencabulan hingga kasus perkosaan. Menurut Reni, meski ia mengapresiasi langkah pihak kepolisian dan kejaksaan yang meminta bantuan mereka dalam menanganai kasus, ia mengakui keterbatasan jumlah anggota asosiasi masih ada sehingga tidak semua permintaan tersebut bisa terpenuhi. “Tidak jarang banyak kasus dalam satu bulan harus ditangani dengan orang yang sama,” katanya. Keterbatasan tenaga psikologi forensik ini diakui Reni disebabkan tidak adanya lembaga pendidikan formal yang khusus mencetak tenaga psikologi forensik, padahal bidang ini memiliki keterampilan tertentu. Menurut Reni selama ini anggota asosiasi merupakan para psikolog yang telah mendapat sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. “Meski tidak ada pendidikan formal, tidak jadi maslah yang penting kode etik psikologi selalu dikedepankan dengan mengikuti uji kompetensi dan pelatihan,” katanya Pakar Psikologi Forensik dari Maastrich University, Prof. Corine De Ruiter, Ph.D., mengatakan bidang profesi psikologi forensik merupakan bidang pekerjaan baru di dunia. Di berbagai negara, menurutnya, tidak mudah menempatkan profesi ini dalam daftar profesi yang dianggap penting dalam penanganan sebuah kasus hukum. Di Belanda, kata Corine, saat ini rekomendasi tim tenaga psikologi forensik menjadi bahan pertimbangan bagi para hakim sebelum menentukan putusan akhir bagi tersangka di persidangan.”Peran dan rekomendasi para psikologi forensik didengar untuk masukan bagi hakim apalagi pekerjaan mereka ada payung hukumnya,” kata Corine. Di negaranya, kata Corine, setiap terdakwa yang akan dijebloskan ke lapas atau dikirim ke rumah sakit jiwa sangat bergantung dari rekomendasi tim psikologi forensik. Meski tidak mengetahui lebih jauh pekembangan dan peran para tenaga psikologi forensik di Indonesia, Corine mengapresiasi dengan adanya asosiasi tersebut yang kini sudah memberikan peran di setiap kasus di persidangan, bahkan didengar masukannya bagi para hakim. Untuk mendapatkan perlindungan payung hukum dan mendapat pendidikan formal bagi profesi ini, menurutnya, sangat diperlukan oleh profesi ini di kemudian hari. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Tags: forensik