Kasus korupsi yang sudah mengakar di Indonesia, terutama pada korupsi kelembagaan sejak 32 tahun lalu, membuat Indonesia menjadi kian terpuruk di banyak sisi. Dari sisi pelayanan birokrasi, misalnya, Indonesia menempati peringkat kedua (8,59) terburuk setelah India (9,41) menurut hasil survey PERC di tahun 2010. Pun halnya, dari lembaga survey dan di tahun yang sama, Indonesia menempati peringkat pertama Negara terkorup di Asia-Pasifik diukur dari Negara-negara yang mengalami kemajuan ekonomi yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Korupsi yang telah terjadi secara sistemik itulah yang membuat setiap anak bangsa di negeri ini harus berjuang secara sistemik, terencana, dan penuh kesungguhan untuk melawan korupsi tersebut. Perjuangan yang dilakukan pun sudah semestinya tidak lagi harus yang bersifat “parlemen jalanan”: demonstrasi, berpanas-panasan, berteriak, dan membuat macet jalan. Tapi, yang dibutuhkan saat ini adalah perjuangan yang berdasarkan kompetensi keilmuan, pengkajian, penelitian, dan berbasiskan data. Sehingga, masyarakat umum dan civitas akademika kampus memahami bahwa mahasiswa tidak hanya dapat berdemo di jalan, tapi juga bisa bersaing di ranah keilmuan.
Hal-hal sistemik seperti inilah yang dilakukan oleh Tim PKM-P ”Social Cost of Corruption” (Azmy Basyarahil, Dani Aufar, Yurisa Nurhidayati, Ridwan Budiman, dan Diany Ufieta) dalam mengadakan Seminar ”Koruptor Dilarang Kaya” bekerjasama oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (BEM FEB) UGM dan didukung oleh LM Psikologi, HMJ Komap Fisipol, dan BEM KM UGM di Ruang Audio Visual FEB UGM mulai pukul 13.00 WIB. Seminar yang sekaligus menjadi puncak acara Sekolah Anti Korupsi (SAK) dalam rangkaian Ekonomi Bebas Korupsi (EBK) ini memaparkan hasil dari penelitian yang dilakukan selama 4 bulan silam untuk menuju Pimnas di Bali Bulan Juli mendatang.
Agar memiliki bobot akademik yang memadai seminar ini mendatangkan 4 pembicara yang pakar tentang korupsi dipandang dari inter-disiplin ilmu yang dipahami masing-masing. Hadir Rahmat Hidayat., Ph.D (pakar psikologi ekonomi UGM), Purwo Santoso., Ph.D (Analis Kebijakan Fisipol), Harry Gemilang (peneliti Ekonomi UGM) yang mewakili Rimawan Pradiptyo., Ph.D, serta Danang Kurniadi., S.H (Peneliti Pukat UGM).
Seminar berlangsung sangat menarik karena kolaborasi perspektifnya. Rahmat Hidayat menyoroti korupsi yang bersifat daily life corruption, dimulai dari hal-hal yang kecil (menyontek saat ujian, dosen yang telat untuk mengajar kuliah, dan sebagainya) yang berdampak pada korupsi berskala besar, seperti yang terjadi pada instansi pemerintah Departemen Agama. Dari sudut pandang mikro ini Rahmat menjelaskan bahwa proses entrainment, pluralstic ignorance, dan mekanisme induksi dalam organisasi bisa menjadi penyebab tereskalasinya tindak koruptif. Purwo Santoso lebih menyoroti pada biaya pilkada yang sangat mahal karena belum jelasnya makna ”publik” dan ”privat” sehingga ruang-ruang politik (DPR, Negara, dan sebagainya) masih menjadi ladang korupsi.
Dari segi Ekonomi, Harry Gemilang menilai bahwa korupsi menghasilkan multiply effect of economy yang sangat luar biasa. Dimana ketika seseorang korupsi dan MA memutuskan nominal uang yang dikembalikan kepada negara itu lebih sedikit dibandingkan uang yang dikorupsi tersebut, maka para tax payer dari semua lapisan masyarakat lah yang akan menggantikan. Terakhir, penyampaian materi dari Danang Kurniadi, bahwa sebagian besar kasus Korupsi terjadi di pusat kekuasaan: Jakarta, di tahun 2008. Kasus korupsi inilah yang pada gilirannya mengakibatkan menurunnya kepercayaan publik kepada aparat penegakkan hukum, selain KPK. Namun demikian, karena KPK masih memiliki citra positif pemberantasan korupsi, maka lembaga yang berdiri sejak tahun 2003 menjadi ”keranjang sampah” yang menerima ”sampah-sampah” yang tak habis diolah oleh kepolisian dan kejaksaan.
Dari semua efek yang sangat kompleks dari korupsi tersebut, maka moderator dan para audiense pada seminar yang berlangsung hingga pukul 15.30 ini, sepakat untuk Memiskinkan Koruptor. Cara untuk Memiskin Koruptor tersebut harus dengan sebuah gerakan yang sistemis, terencana, elegan, tanpa kekerasan, dan berdasarkan kajian. Gerakan inilah yang disebut Gerakan Intelektual Anti Korupsi.
Sebagai tanda penutup dan penghormatan kepada masing-masing lembaga, maka acara seminar dan SAK ini ditutup dengan beberapa orasi dari masing-masing perwakilan lembaga mengenai sikap dan pandangan mereka terhadap masalah korupsi. Acara ini pun juga ditutup dengan indah oleh Prof. Wihana Kirana Wijaya., Ph.D, selaku Wadek Kemahasiswaan FEB UGM, yang sangat mengapresiasi acara ini (rb/yn).