Pos oleh :

dzikriaafifah96

Workshop Daring: Etika Penelitian dalam Penelitian Kesehatan Mental

Pada Rabu (12/1), Program Doktor Ilmu Psikologi UGM mengadakan Etika Penelitian Series hari kedua dengan pembicara Dr. Diana Setiyawati, M.HSc., Psy., Psikolog dan Aliza Hun dari Australia National University. Acara diawali dengan sambutan yang disampaikan oleh Ketua Program Studi Doktor Ilmu Psikologi UGM, Edilburga Wulan Saptandari, S.Psi., M.Psi., Ph.D Psikolog.  “Terima kasih juga kepada bapak/ibu yang sudah hadir, baik mahasiswa S3, maupun teman-teman dari berbagai tempat dan berbagai instansi. Hari ini adalah hari yang kedua dari Seri Etika Penelitian, kalau kemarin kita sudah membahas etika penelitian secara umum dan besok masih ada 1 sesi webinar lagi”, sapa Edilburga melalui sambutannya.

“Mungkin saya akan mengulang beberapa hal prinsip karena memang etik ya dasarnya seperti itu, tetapi nanti kita akan elaborasi lebih lanjut dengan diskusi bersama Aliza”, jelas Diana sebagai pengisi sesi pertama. Sebelum menyampaikan materi, Diana sempat memberikan beberapa pertanyaan kepada para peserta dengan tujuan membuat interaksi lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seputar ketika ada orang dipasung maka siapa yang dapat memberikan consent, apakah diperbolehkan mengambil data yang lingkungannya sudah familiar bagi peneliti, dan mengapa kita harus menghormati atau memegang etika penelitian.

Banyaknya pelanggaran yang terjadi ketika melakukan penelitian menjadikan sebuah etika penelitian adalah hal yang penting. Salah satu usaha dalam meminimalisir pelanggaran ketika penelitian adalah adanya Declaration of Helsinki. Deklarasi tersebut menyebutkan beberapa hal, bahwa penelitian pada manusia itu harus melindungi partisipan bahkan manfaat yang didapatkan oleh partisipan harus lebih banyak dibandingkan resikonya. “Meskipun kita seorang peneliti, bukan berarti peneliti menjadi lebih superior posisinya”, jelas Diana.

Berdasarkan Bellmont Report, ada tiga dasar etika penelitian yang terdiri dari Respect for Person, Justice, dan Beneficence/Non Maleficenci. Beberapa bentuk respect for person yang dapat dilakukan ketika mengadakan penelitian, seperti memberikan informed consent kepada partisipan, menjaga kerahasiaan, dan kebebasan partisipan untuk menarik diri dalam proses penelitian. Selain itu, memaksimal kesejahteraan partisipan penelitian salah satunya dengan memaksimalkan manfaat dari ikutnya partisipan dalam proses penelitian. Terakhir, keadilan mencakup pemilihan partisipan yang sesuai dengan prosedur dan hasil penelitian dapat diakses tanpa harus adanya komersialisasi.

Kemudian sesi berikutnya disampaikan oleh Aliza Hun dengan judul materi Research Ethics in Survey Research Method. “Saya diundang untuk berbicara sedikit tentang personal reflection ketika mengambil data di lapangan di Indonesia”, jelas Aliza. Aliza mengaku, kondisinya sebagai seorang bule termasuk asal instansinya yang berasal dari luar negeri memengaruhi proses penelitiannya. Selain itu, Aliza juga menyampaikan bahwa akan ada banyak pihak yang harus dihubungi terkait etika penelitian sebelum mengambil data. “Bahkan ada perbedaan yang harus saya jalani, salah satunya peneliti dari luar negeri harus mendapatkan izin dari kemenristekdikti, sementara untuk penelitian dari Indonesia tidak perlu”, ungkap Aliza.

 

 

Foto oleh Brett Jordan dari Pexels

Integritas dan Etika Penelitian Melibatkan Manusia

Program Doktor Ilmu Psikologi bersama dengan Komisi Etika Fakultas Psikologi menyelenggarakan acara Seminar Etika Penelitian pada hari Selasa (11/01). Acara seminar ini dibagi menjadi dua sesi dengan dua pembicara yang berbeda. Untuk sesi pertama, hadir Prof. Dra. RA Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D yang menyampaikan materi tentang” Integritas dan Etika Penelitian Melibatkan Manusia”. Acara seminar untuk sesi pertama dimulai pada pukul 11.00 WIB dan diselenggarakan secara daring melalui Zoom.

Pada awal acara, dibuka terlebih dahulu dengan sambutan yang disampaikan oleh Edilburga Wulan Saptandari, S.Psi., M.Psi., Ph.D., Psikolog selaku Ketua Program Studi Doktor Ilmu Psikologi. “Sebenarnya acara di pagi hari ini adalah rangkaian pertama dari sesi Kursus Intensif Etika Penelitian yang nanti akan dilanjutkan dengan sesi Etika Penelitian untuk Partisipan Anak dan untuk Penelitian Kesehatan Mental”, ujar Edilburga.

Melalui materi yang disampaikan, Yayi menjelaskan beberapa hal antara lain, integritas akademik pendukung etika, prinsip dasar etika penelitian, panduan etika penelitian dalam penelitian sosial, dan lain sebagainya. “Penelitian adalah kajian pendidikan secara sistematik dan pengumpulan datanya juga sistematik. Sistematik itu berdasarkan kajian ilmiah”, jelas Yayi.

“Kapan kita harus mengurus etika penelitian? Sebelum kita betul-betul masuk ke lapangan”, lanjut Yayi. Tepatnya, ketika seseorang telah melakukan perbaikan setelah melakukan seminar proposal, maka dilanjutkan dengan mengurus etika penelitian. Mengurus etika penelitian dilakukan setelah seminar proposal karena telah mendapatkan masukan dan munculnya berbagai perubahan. Meskipun nanti di lapangan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan dan membutuhkan penyesuaian lagi.

“Saya pertama kali melihat kasus plagiasi yang jelas itu semenjak menggunakan komputer. Oleh karena itu, integritas akademik itu harus ditegakkan”, ungkap Yayi. Sebuah penelitian yang baik adalah penelitian yang dikerjakan dengan menerapkan integritas akademik dilandaskan kejujuran. Selain kejujuran, hal lain yang juga termasuk dalam integritas akademik adalah kepercayaan, tanggung jawab, rasa hormat, dan kebenaran.

Menurut Yayi, dalam mengurus etika penelitian diperlukan perencanaan waktu yang tepat. Hal tersebut dibutuhkan agar rangkaian penelitian berjalan dengan tepat waktu dan sesuai dengan etika-etika penelitian yang berlaku.

 

Photo by Firmbee.com on Unsplash

Perkembangan Etik dalam Penelitian Psikologi

Komisi Etik Fakultas Psikologi bersama dengan Program Doktor Ilmu Psikologi UGM mengadakan acara Seminar Etika Penelitian pada hari Selasa (11/1). Acara seminar ini dibagi menjadi dua sesi dengan dua pembicara yang berbeda. Untuk sesi pertama. Hadir Prof. Dra. RA Yayi Suryo Prabandari, sementara pada sesi kedua sebagai pemateri hadir Dra. Sri Kusrohmaniah, M.Si., Ph.D Psikolog dengan topik “Pertimbangan Etik dalam Penelitian Psikologi”. “Pada siang hari ini, saya akan memberikan bahasan mengenai pengantar dan mengapa perlu telaah etik dalam penelitian psikologi”, jelas Kusrohmaniah di awal materi.

Penelitian adalah suatu kegiatan penyelidikan yang dirancang secara sistematis sehingga berkontribusi dan berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebuah penelitian dapat diandalkan dan bernilai ketika penelitian tersebut menggunakan metode ilmiah yang tepat dan telah memenuhi standar kualitas ilmiah. “Jadi sebuah pengetahuan akan eksis jika dibangun dari data-data yang didapatkan secara sistematis”, ungkap Kusrohmaniah.

Komisi Etik WHO berpendapat bahwa proses penelitian yang melibatkan seseorang terpapar pada manipulasi intervensi, pengamatan, atau interaksi lain dengan peneliti secara langsung atau melalui perubahan lingkungan mereka, maka diperlukan Ethical Clearance. Selain itu, partisipan yang dapat diidentifikasi identitasnya ketika data penelitian dikumpulkan, dipersiapkan, atau adanya bahan biologis yang digunakan, seperti rekam medis, maka proses penelitian tersebut juga membutuhkan pengajuan Ethical Clearance.

Tinjauan etik ini diperlukan karena sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh peneliti untuk membantu melindungi partisipan, peneliti, dan universitas. Oleh karena itu, wajib bagi seluruh penelitian yang melibatkan manusia untuk memiliki Ethical Clearance. “Selain itu, untuk beberapa kasus komisi etik juga akan berkomunikasi dengan pihak universitas maupun pemberi beasiswa untuk memastikan bahwa proses penelitian sudah berjalan sesuai dengan prosedur”, terang Kusrohmaniah.

Pada Psikologi, beberapa hal yang berkaitan dengan ethical issues adalah informed consent, debrief, protection of participants, deception, confidentiality, dan withdrawal from an investigation. Selain itu, hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan oleh peneliti berkaitan dengan desain penelitian, keamanan dan penyimpanan data, manfaat dan resiko, partisipan yang terlindungi, maupun proses ketika berhadapan dengan hal-hal sensitif.

 

Foto oleh Lukas dari Pexels.

Hari Terakhir Penyelenggaraan Psychology Week: Berkarier dan Berprestasi

Masih dalam rangkaian perayaan Dies Natalis Fakultas Psikologi UGM ke-57, Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan Psychology Week hari terakhir pada Jumat (7/1). Acara pada hari terakhir juga diselenggarakan dalam dua metode, tidak hanya daring tetapi juga luring. Acara hari terakhir dari Psychology Week ini dimulai pada pukul 08.00 WIB dan diisi dengan agenda dari Career Center Fakultas Psikologi UGM.

Career Center merupakan salah satu unit di Fakultas Psikologi UGM. “Career Center dibandingkan unit lainnya adalah unit yang paling muda dan paling baru serta memiliki visi mempersiapkan lulusan Fakultas Psikologi UGM yang mempunyai kompetensi karier, berwawasan global, serta mampu berkontribusi terhadap kemajuan bangsa”, jelas Lu’luatul Chizanah, S.Psi., M.A.

Selanjutnya pada pukul 10.00 dilanjutkan dengan acara dari Center for Life-Span Development (CLSD). Acara yang disajikan oleh CLSD berkaitan dengan “Showcase Modul Perkembangan Memori dan Keterampilan Eksekutif Bayi: Sebuah Screening oleh Ibu”. Untuk memeriksa memori dan keterampilan eksekutif pada bayi dapat dilakukan menggunakan berbagai macam permainan, seperti A bukan B, menyundul kotak, memindahkan benda, dan menginjak permainan karet.

Kemudian acara dilanjutkan oleh Unit Konsultasi Psikologi (UKP) yang menyajikan Showcase pada pukul 13.00. Acara showcase yang diselenggarakan oleh UKP mengusung topik UKP Bersinergi UKP Berbagi: “Merangkul Emosi Anak”. Tujuan dari merangkul emosi anak bukan untuk membuat anak merasa senang ketika sedih atau menghilangkan kesedihan yang dirasakan oleh anak, namun tujuan dari merangkul emosi anak adalah mengizinkan anak untuk merasakan tiap emosi secara aman.

Pada pukul 15.00 acara masih dilanjutkan dengan Peluncuran Buku Karya Civitas Akademika Fakultas Psikologi UGM. Acara tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si., dan Lu’luatul Chizanah, S.Psi., M.A sebagai editor. Acara pun masih dilanjutkan dengan Malam Syukuran Mahasiswa Berprestasi 2021 secara luring yang dimulai pada pukul 19.00 WIB. Acara tersebut merupakan penutup dari rangkaian Psychology Week sebagai perayaan Dies Natalis Fakultas Psikologi UGM ke-57.

Photo by Guille Álvarez on Unsplash

Psychology Week Hari Kedua: Galeri Kontribusi Fakultas Psikologi UGM dalam Pengembangan Manusia

Fakultas Psikologi UGM pada Rabu (5/1) melanjutkan rangkaian acara Psychology Week hari kedua. Acara-acara yang diselenggarakan hari ini termasuk dalam rangkaian acara Psychology Week sebagai bagian dari perayaan Dies Natalis Fakultas Psikologi UGM ke-57. Berbagai acara diselenggarakan menggunakan metode daring melalui YouTube Kanal Pengetahuan Psikologi UGM dan Zoom.

Acara diawali dengan Selayang Pandang dari Unit Pengembangan Kualitas Manusia atau bisa disebut dengan UPKM yang dimulai pada pukul 08.00 pagi. Acara yang disiarkan melalui YouTube Kanal Pengetahuan Psikologi UGM memperkenalkan apa itu UPKM dan apa saja kegiatan yang dilakukan oleh UPKM. Memiliki visi menjadi lembaga layanan psikologis yang mampu menciptakan SDM Indonesia yang memiliki kematangan psikologis, keunggulan kompetitif, dan berdaya guna bagi lingkungan kerja serta masyarakat pada umumnya. “Sejatinya, rekrutmen atau bisa disebut sebagai proses menarik karyawan adalah sebuah usaha untuk memastikan munculnya kecocokan-kecocokan yang kita miliki sebanyak mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi”, jelas Indrayanti, M.Si., Ph.D., Psikolog selaku Kepala UPKM.

Kemudian dilanjutkan dengan sesi berikutnya oleh Prof. Drs. Koentjoro, M.BSc., Ph.D., Psikolog melalui Zoom. Koentjoro pada sesi tersebut menyampaikan tentang kebencanaan sekaligus meluncurkan buku dengan judul “Ragam Ulas Kebencanaan”. Sesi tersebut dimulai pada pukul 10.00 WIB.

Selanjutnya, pada pukul 13.00 dilanjutkan dengan acara Showcase Video Karya Mahasiswa Mata Kuliah Psikologi Pendidikan Anak dan Remaja Berkebutuhan Khusus. Acara tersebut disiarkan melalui YouTube Kanal Pengetahuan Psikologi UGM dengan menampilkan berbagai video berdurasi 5-12 menit. Video-video tersebut menjelaskan berbagai materi yang dipelajari oleh mahasiswa melalui Mata Kuliah Psikologi Pendidikan Anak dan Remaja Berkebutuhan Khusus, seperti, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), disleksia, termasuk bagaimana mencegah diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Acara masih berlanjut pada pukul 15.00 dengan presentasi tim mahasiswa PIMNAS Fakultas Psikologi UGM dan ditutup dengan acara dari Center for Life-Span Development (CLSD) yang dimulai pada pukul 19.00. “Salah satu agenda unit kami adalah Project COMPRE (Contemporary Methods and Community-led Life-Span Development Reseacrh), yang terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu Scoping Review dan Kelas COMPRE”, jelas Lisa Sunaryo Putri, S.Psi., selaku Asisten Riset di CLSD.

 

 

 

Photo by Antonio Janeski on Unsplash

Kuliah Online PMH: Waspada Sexual Grooming

Fakultas Psikologi UGM bekerjasama dengan Center for Public Mental Health (CPMH) mengadakan Kuliah Online sesi terakhir di tahun 2021 dengan topik “Waspada Sexual Grooming”. Topik kali ini disampaikan oleh Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anis, M.Psi., Psikolog. “Sebelum kita mengenal jauh tentang sexual grooming, sebenarnya grooming itu maknanya positif, yaitu mempersiapkan supaya nanti hasilnya lebih siap atau baik”, ungkap Nurul di awal sesi acara.

Akan tetapi, istilah grooming menjadi suatu hal yang menyedihkan karena seiring berjalannya waktu menjadi istilah yang harus diwaspadai. Menurut National Society for the Prevention of Cruelty to Children, grooming dapat dimaknai sebagai upaya seseorang membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan anak serta remaja yang nantinya dapat menjadi sarana untuk memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan. “Jika diperhatikan dari definisinya, memang ada kata kunci mempersiapkan. Artinya, memang segala hal yang dilakukan untuk mempersiapkan anak atau remaja atau seseorang menjadi target”, terang Nurul.

Dengan demikian, sexual grooming memang sebuah awal untuk mempersiapkan seseorang agar siap menerima perilaku pelecehan seksual. Oleh karena itu, tak jarang korban pelecehan seksual merasa tidak apa-apa dan bingung kenapa orang lain menganggap bahwa dirinya adalah seorang korban dari kasus pelecehan seksual. Perasaan tidak apa-apa dan merasa baik-baik saja yang dirasakan oleh korban pelecehan seksual adalah efek ekstrim yang ditimbulkan oleh sexual grooming.

Sexual grooming bukan berarti tidak dapat dicegah. Ada banyak hal yang dapat dilakukan yang bertujuan untuk menjaga orang-orang sekitar kita dari sexual grooming. Pertama dan utama adalah kesadaran orang tua yang berkaitan dengan potensi bahaya termasuk edukasi tentang seksual. “Pada masa seperti ini, orang tua tidak bisa terus menerus menjaga anak supaya tetap steril. Hal yang bisa dilakukan orang tua saat ini adalah menguatkan imun mereka. Supaya anak-anak tahu bahwa ketika ada ajaran yang bertentangan dengan yang disampaikan oleh orang tua, maka anak akan terbuka dalam menyampaikan”, jelas Wirdatul.

 

Photo by Eric Ward on Unsplash

Kuliah Online CPMH: Kesepian dan Kesehatan Mental

Jumat (17/12) Fakultas Psikologi UGM bekerjasama dengan Center for Public Mental Health (CPMH) mengadakan Kuliah Online yang mengangkat topik “Kesepian dan Kesehatan Mental”. Topik tersebut dibawakan oleh dua narasumber yang sudah sering mengisi acara Kuliah Online CPMH, yaitu Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog. “Temanya sebenarnya sudah banyak dibahas oleh banyak pihak, apalagi kalau kita berselancar di Instagram”, ujar Nurul di awal acara.

Alasan topik kesepian menjadi pembahasan di acara Kuliah Online kali ini karena kesepian bukan hal yang sepele meskipun bukan termasuk ke dalam gangguan mental. Akan tetapi, kesepian jika tidak dicermati secara serius tidak menutup kemungkinan akan berujung pada masalah kesehatan mental. “Kesepian dan kesehatan mental adalah dua hal yang saling berkaitan”, jelas Nurul.

Kesepian dapat mengganggu kesehatan mental dan masalah kesehatan mental menyebabkan kesepian. Sudah banyak penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa kesepian dan kesehatan mental memiliki keterkaitan satu sama lain. Kesepian selalu dikaitkan dengan kualitas tidur yang buruk, depresi, gangguan kepribadian, sampai semakin tinggi kesepian yang dirasakan, maka semakin rendah kualitas hidup seseorang.

Kesepian, terutama di masa pandemi ini menjadi fenomena yang sering muncul, “bahkan seorang introver pun merasa kesepian di tengah pandemi ini karena bagaimana pun juga setiap orang membutuhkan hal dan keinginan untuk berkembang”, ungkap Nurul.

Ada banyak fenomena kesepian di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang melaporkan bahwa mahasiswa berusia 19-22 tahun merasakan kesepian sebagai sebuah konsekuensi selama isolasi di masa pandemi.

Menurut American Psychological Association atau APA, kesepian dapat diartikan sebagai ketidaknyamanan atau kegelisahan yang disebabkan oleh kondisi kesepian atau persepsi individu bahwa dirinya sendiri atau menyendiri pada tingkat afektif dan kognitif. “Jadi memang perasaan kesepian berkaitan dengan persepsi seseorang tentang hubungan yang mereka miliki”, terang Wirdatul. Hal tersebut yang dapat menjelaskan fenomena dimana seseorang merasa kesepian meskipun memiliki banyak teman di sekitarnya.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk dapat mengatasi kesepian, seperti merekonstruksi pikiran negatif di balik perasaan kesepian, meningkatkan keterampilan sosial, meningkatkan dukungan sosial, memperbanyak interaksi, termasuk nostalgia. “Ini hanya sebuah gambaran saja, jika teman-teman memiliki cara lain di luar apa yang sudah dijelaskan dalam mengatasi kesepian, maka itu tidak masalah”, jelas Nurul.

 

 

Photo by Pawel Czerwinski on Unsplash

Webinar Kesehatan Jiwa Tahun 2021: Kesehatan Mental untuk Pedesaan di Indonesia

Selasa (14/12) Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) menyelenggarakan acara webinar dengan topik “Kesehatan Mental untuk Pedesaan Indonesia”. Acara tersebut dimoderatori oleh Idei K. Swasti, M.Psi., Psikolog dan dibuka dengan sambutan pengantar oleh Prof. Irwanto, Ph.D. selaku Ketua Badan Pengurus YKIS. Selain itu, acara webinar ini menghadirkan berbagai narasumber yang terdiri dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., Romo Dr. C. Suparman Andi, MI., dan Dr. Diana Setyawati, M.HSc., Ph.D.

Salah satu bahasan yang dibicarakan pada webinar ini berkaitan dengan tantangan yang dihadapi oleh pelayanan jiwa. Tantangan tersebut seputar bagaimana supaya inovasi pelayanan dapat menjangkau kesehatan jiwa di daerah rural dan terbatasnya tenaga kesehatan untuk pelayanan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan tele-konsultasi untuk mencapai daerah rural yang luas dan diperlukan teknologi digital untuk menunjang kegiatan tersebut. “Akses pelayanan jiwa akan lebih baik lagi jika ditunjang dengan teknologi”, ujar Laksono

Adanya tantangan yang dihadapi oleh pelayanan jiwa di Indonesia membuat Deni K. Sunjaya dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran membuat inovasi Pengembangan Sistem Screening berbasis Digital. “Kami membangun suatu platform yang kini sudah dapat diunduh. Platform ini baru memiliki lima instrument yang terdiri dari depresi, kecemasan, PTSD, burnout, dan gangguan mental emosional”, jelas Deni. Harapannya, adanya screening berbasis digital dapat mempermudah tenaga kesehatan untuk menindaklanjuti dengan diagnosis yang pasti dan penanganan yang tepat.

Tidak hanya Deni, Romo Suparman juga melakukan sebuah usaha pelayanan jiwa di wilayah Nusa Tenggara Timur yang disebut sebagai Rumah Bebas Pasung. “Kami mencoba membangun sebuah sistem pelayanan kesehatan jiwa bagi pasien pasung dengan membangun sebuah rumah bebas pasung”. Rumah bebas pasung dibangun di samping keluarga pasien dengan catatan bahwa rumah tersebut dapat dijangkau oleh keluarga dan sangat dekat dengan keberadaan keluarga. Hal tersebut dilakukan karena ingin mengaktifan parsitipasi keluarga dalam pelayanan jiwa.

Ada berbagai hal yang menjadi faktor resiko kesehatan jiwa di wilayah, termasuk daerah pedesaan seperti status sosial-ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah, stigma negatif tentang kesehatan jiwa, pernikahan di bawah umur, kurangnya akses pelayanan kesehatan jiwa, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, dalam materi yang disampaikan, Diana merekomendasikan beberapa hal untuk kondisi tersebut, seperti mendorong pengalokasian dana daerah yang memadai untuk kesehatan jiwa dan adanya distribusi profesional kesehatan jiwa secara merata.

 

Photo by J G D on Unsplash

Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi

Jumat (25/11) Center for Life Span Development atau biasa disebut dengan CLSD mengadakan “Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi”. Acara ini diselenggarakan sebagai bagian dari akhir rangkaian acara Workshop CLSD. “Rencananya akan ada dua bentuk publikasi yang akan dihasilkan, yaitu publikasi untuk masyarakat umum yang dapat dilihat pada akun Instagram CLSD dan publikasi untuk ranah internasional serta kalangan akademisi dalam bentuk publikasi jurnal internasional”, jelas Elga Andriana, M.Ed., Ph.D, selaku ketua CLSD dalam sambutannya.

Acara workshop ini menghadirkan pembicara Dr. Vina Adriany sebagai Head Center for Gender and Childhood Studies Universitas Pendidikan Indonesia dan Editorial Board International Journal of Early Years Education. Pada sesi pertama, Vina menyampaikan materi terkait konsep dasar publikasi terdiri dari hal-hal umum dan jurnal mana saja yang tepat serta baik untuk dikirimkan naskah publikasi. “Saya mungkin harus disclaimer sebentar bahwa apa yang saya sampaikan pada pertemuan ini berangkat dari penglaman saya ketika menjadi editor di berbagai jurnal dan juga pengalaman saya sebagai reviewer”, ungkap Vina.

Melalui materi yang disampaikan, Vina mengajak para peserta untuk tidak menulis sekedar mengejar indexing saja, tetapi juga harus memahami hal-hal fundamental terkait naskah publikasi. “Kalau boleh saya mengungkapkan, agar sama-sama bisa meluruskan niat terkait melakukan publikasi”, ungkap Vina. Hal tersebut disampaikan berkaitan dengan beban yang dimiliki peneliti maupun akademisi di seluruh dunia tentang melakukan publikasi.

Vina juga menjelaskan mengapa publikasi jurnal adalah hal yang prestige karena proses publikasi jurnal melibatkan blind peer review. Proses tersebut adalah proses review artikel yang dilakukan oleh beberapa pakar lain dalam bidang yang sama dengan naskah yang ditulis sekitar 2-3 orang sebelum naskah tersebut terbit. “Kurang lebih proses blind peer review adalah peneliti melakukan penelitian kemudian hasilnya ditulis lalu mengirimkan kepada editornya. Jadi, peneliti tidak berhubungan langsung dengan reviewer”, jelas Vina. Oleh karena itu, tugas editor pada blind peer review hanya pada penolakan naskah atau apakah naskah tersebut layak diteruskan pada reviewer, bukan pada keputusan naskah ditolak atau tidak.

Menulis khususnya menulis hasil penelitian adalah salah satu keniscayaan bagi akademisi dan peneliti. Melalui karya tulis legacy sebagai akademisi dan peneliti dapat diturunkan dan menjadi keabadain. Seperti kutipan Pramoedya Ananta Toer yang berbunyi menulis adalah jalan menuju keabadian.

 

Photo by Jan Kahánek on Unsplash

Kuliah Online CPMH: Perundungan dan Kesehatan Mental

Rabu (24/11) Fakultas Psikologi UGM bekerjasama dengan Center for Public Mental Health (CPMH) menyelenggarakan Kuliah Online yang mengangkat topik “Perundungan dan Kesehatan Mental”. Topik tersebut disampaikan oleh dua pembicara, yaitu Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog. “Kenapa kami memamaparkan tentang segala macam perundungan, ternyata di lapangan masih banyak temen-temen atau bahkan orang dewasa yang belum memahami bahwa hal itu adalah perundungan atau teman-teman remaja yang pada akhirnya menyadari bahwa ternyata selama ini telah melakukan perundungan”, jelas Nurul.

Acara yang diikuti oleh mahasiswa, pelajar, bahkan orang tua ini dibuka oleh peserta yang dipersilahkan untuk berpendapat mengenai apakah itu perundungan. Secara umum, perundungan dapat dimaknai sebagai perilaku agresif tipe proaktif yang mempunyai unsur aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan dengan disertai adanya ketidakseimbangan kekuatan yang dilakukan secara berulang oleh satu atau beberapa anak terhadap anak lain. “Jadi, perundungan itu ada tipe pasif, ada juga tipe proaktif. Kalau tipe proaktif itu yang dilakukan secara aktif dengan serangan-serangan verbal maupun fisik”, terang Wirdatul

Meskipun demikian, perundungan bukanlah argumen dan ketidaksepakatan bersama bukan pula satu episode penolakan sosial atau ketidaksukaan. Perundungan juga bukan satu episode tindakan kejam atau (pembalasan) dendam dan tindakan agresi atau intimidasi acak

Berdasarkan materi yang disampaikan, terjadinya perundungan dikarenakan sebagai reaksi dari tekanan emosional atau masalah kesehatan mental yang dimiliki sehingga perilaku perundungan sebagai kompensasi dari ketidakberdayaan. Selain itu, perundungan juga dapat terjadi sebagai bentuk pertahanan diri dari tekanan lingkungan dan isolasi sosial, melindungi diri agar tidak mendapatkan perlakuan yang sama bahkan dorongan untuk merasa superior. “Seorang pelaku perundungan merasa tidak berdaya untuk mengatasi sehingga melampiaskan tekanan emosional itu kepada pihak-pihak yang dianggap lebih lemah atau lebih rendah posisinya atau lebih rendah statusnya”, jelas Wirdatul

Ada berbagai jenis perundungan yang dapat terjadi di sekitar kita, yaitu perundungan secara fisik, verbal, maupun sosial. “Kemudian yang banyak semakin terjadi akhir-akhir ini adalah perundungan cyber. Mungkin temen-temen juga pernah denger doxing? Jadi secara sengaja membeberkan atau menyebarluaskan informasi seseorang yang tujuannya untuk menjatuhkan atau melemahkan orang itu”, jelas Wirdatul.

“Jadi mari kita lebih peka terhadap apa yang kita lakukan. Mari kita lebih peka terhadap macam-macam perundungan. Jika pada akhirnya kita paham bahwa itu perundungan, maka berhenti. Karena dampak dari perundungan itu sangat luar biasa. Perundungan tidak hanya berdampak bagi korban, tetapi juga berdampak pada pelaku”, ucap Nurul di tengah-tengah penyampaian materi.

 

 

Photo by Jason Leung on Unsplash