Pos oleh :

dzikriaafifah96

Kuliah Online CPMH: Pengasuhan Konvensional di Zaman Sekarang

Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM mengadakan Kuliah Online (KulOn) non-reguler sebagai salah satu agenda Pre-Online Summer Lecture Series 2022 (30/7). Topik yang diangkat kulon kali ini adalah Pengasuhan Konvensional di Zaman Sekarang. Topik tersebut langsung disampaikan oleh Dr. Diana Setiyawati, M.HSc., Psy., sebagai Kepala CPMH Fakultas Psikologi UGM.

Acara diawali dengan Diana yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada partisipan. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah apa tujuan utama dari pengasuhan. Partisipan menjawab dengan beberapa jawaban seperti membentuk dan mewadahi anak agar berkembang optimal, memfasilitasi anak bertumbuh sesuai dengan potensinya, mendampingi dan mendidik serta mengasuh anak sesuai tahap perkembangannya. Pertanyaan lain yang juga diajukan di awal acara adalah apa sebenarnya elemen yang ada di dalam pengasuhan. Lalu partisipan menyebutkan beberapa jawaban seperti memberikan kasih sayang, mendidik dan memfasilitasi, memahami serta mendukung, membangun koneksi maupun bounding.

Melalui materi yang disampaikan bahwa elemen yang dari pengasuhan adalah memberi dukungan dan mengontrol yang menjadi kombinasi dalam gaya pengasuhan. “Memberikan dukunga dapat berupa stimulasi maupun edukasi, sementara kontrol itu supervisi”.

Pengasuhan konvensional adalah pengasuhan “seperti zaman dulu aku diasuh”. “Anak-anak hidup untuk masa depan, bukan masa kini, apalagi masa lalu”, ujar Diana. Terdapat empat macam gaya pengasuhan, yaitu authoritarian/gaya otoriter (rigid), permissive/gaya permisif, uninvolved/gaya tidak terlibat, rejecting/gaya penolakan, tidak terlibat

Diana pun menerangkan bahwa tujuan utama dari setiap pengasuhan adalah mendidik anak berkarakter. “Jadi klo kita bicara pola asuh, seharusnya bukan sejak usia dini, tetapi dimulai sejak dalam kandungan. Karena karakter anak ditentukan sekali sejak di dalam kandungan”. Jadi, bagaimana anak di dalam kandungan dipengaruhi oleh bagaimana karakter ibu dan hal itu sangat signifikan berkontribusi terhadap karakter anak di masa depan. Apakah Ibu menerima anak yang dikandungnya dalam kondisi senang atau apakah anak yang dikandung adalah anak yang diharapkan.

“Oleh karena itu, esensi dari keluarga berencana adalah merencanakan kehamilan agar orang tua itu mampu atau siap dengan kehamilan itu”. Hal itu dikarenakan kejadian kehamilan adalah kejadian yang luar biasa bagi anak.

Diana mengungkapkan bahwa saat ini di puskesmas Sleman & Bantul, Ibu hamil yang baru pertama kali datang harus bertemu dengan Psikolog untuk diasesmen. Berkaitan dengan apakah anak itu dicintai sepenuhnya, apakah kehamilan ini dikehendaki sepenuhnya atau tidak dan lain sebagainya. Kondisi ketika hamil sangat memengaruhi karakter anak. Ketika orang tua tidak bahagia disebabkan stres maupun tekanan akan berpengaruh pada plasenta yang tidak mampu menjalankan fungsinya untuk menyaring racun. Hal itu mengakibatkan anak di dalam kandungan rentan terkena zat-zat yang salah satunya adalah kortisol yang sangat korosif terhadap perkembangan otak.

 

 

 

Photo by Tanaphong Toochinda on Unsplash

Mengenali “Toxic Relationship” dalam Keluarga dan Pencegahannya

Jumat (15/7) Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM mengadakan Kuliah Online (KulOn) dengan mengangkat topik “Toxic Relationship dalam Keluarga”. “Siang hari ini kita akan membahas satu tema yang mungkin boleh dibilang salah satu core permasalahan dari semua tema yang mungkin pernah kita bahas. Mulai dari yang sangkut pautnya dengan remaja atau anak. Kemudian dengan masalah gangguan mental itu sendiri. Kemudian kita pernah membahas tentang setting akademik, yaitu sekolah dan ternyata semua itu setelah ditelesuri tidak pernah lepas dari pembicaraan atau pembahasan tentang keluarga”, jelas Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog yang menjadi salah satu pembicara kulon kali ini. Selain Nurul, ada pula Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog yang menjadi pembicara.

“Saya sama mbak Nurul nanti akan sharing-sharing dari topik ini, kemudian apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah atau mungkin misalnya kita berada di dalam kondisi itu, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki itu”, ungkap Wirdatul. Acara kulon kali ini dimulai pada pukul 13.00 WIB dan diikuti oleh partisipan dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Bandung, Medan, dan kota-kota lainnya.

“Jadi pencegahan yang akan kami tampilkan melalui slide, itu hanya sekelumit saja dari apa yang pernah dulu kita diskusikan bersama di forum-forum CPMH. Untuk kali ini kita lebih memetakan saja tentang toxic relationship. Bukan untuk fokus pada kelemahan karena itu adalah salah satu hal yang nanti akan kita address juga, tetapi hal ini dilakukan agar kita lebih aware”, jelas Nurul di awal penyampaian materi.

Hal lain yang juga sempat dibahas pada kulon kali ini adalah salah satu kutipan dari Nikki DeFrain, “everything that happens to you, happens to me”. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa apapun yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan berpengaruh juga pada anggota keluarga yang lain. Jika ada salah satu anggota yang bermasalah atau terkena masalah, yang merasakan itu tidak hanya yang bersangkutan, tetapi seluruh anggota keluarganya”, sambung Nurul.

Keluarga merupakan satu kelompok yang bergerak dan suatu sistem yang anggotanya saling berhubungan. Keluarga yang “kaku” sangat mungkin menjadi rapuh atau tidak fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan. “Terkait fleksibel dan kekakuan ternyata juga memiliki peran yang besar dalam fungsional keluarga. Ketika keluarga itu memiliki aturan yang jelas, tetapi kemudian di dalam pelaksanaannya keluarga itu bisa fleksibel dalam menyesuaikan aturan atau dalam menyesuaikan peran-peran yang ada, maka keluarga itu akan punya toleransi yang lebih besar terhadap stres atau krisis”, terang Wirdatul.

Wirdatul juga menyampaikan dua poin penting di dalam keluarga yang bisa dilihat sebagai poin apakah keluarga tersebut seimbang atau tidak maupun fungsional atau disfungsional. Dua hal yang dimaksud adalah kohesivitas dan fleksibilitas. “Kohesivitas itu berkaitan dengan keterikatan. Jadi, seberapa setiap anggota yang ada di keluarga itu terikat satu sama lain. Bisa anggota keluarga inti atau anggota keluarga yang tinggal dalam satu atap yang sama. Kalau fleksibilitas itu terkait, aturan, peran, tanggung, posisi, dan kedudukan masing-masing. Fleksibel dibagi menjadi dua, yaitu rigid dan chaotic (bebas dan sesuka hati)”, sambung Wirdatul

Ada berbagai hal yang menjadi karakteristik keluarga disfungsional, seperti orang-orang di dalam keluarga cenderung fokus pada hal negatif, terlalu kritis dan agresif dalam berkomunikasi, menghindari konflik verbal, tidak dapat mengatasi krisis secara efektif, terjadi kebingungan peran, dan sebagainya.

 

 

Photo by Sarah Medina on Unsplash

Webinar Remaja Anti Kekerasan: Peran Keluarga dan Sekolah

Kamis (7/7), Center of Life-Span Development (CLSD) bersama dengan Fakultas Psikologi UGM mengadakan acara “Webinar Remaja Anti Kekerasan: Peran Keluarga dan Sekolah”. Acara tersebut dibagi menjadi 2 sesi dengan sub-tema yang berbeda. Pada sesi pertama sub-tema yang dibawakan adalah “Mengenal Perilaku Emosional Remaja” yang disampaikan oleh Dr. Arum Febriani, S.Psi., M.A dan Sutarimah Ampuni, S.Psi., MPsych., Psikolog. Sementara untuk sesi kedua sub-tema disampaikan oleh Drs. Sentot Haryanto, M.Si., Psikolog dan T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog dengan sub-tema “Membangun Sikap Anti Kekerasan di Keluarga dan Sekolah”.

Pada awal acara, hadir Rahmat Hidayat, S.Psi., MSc., Ph.D memberikan sambutan, “Webinar siang ini adalah webinar yang penting dengan topik yang juga penting dan relevan tentang remaja dan anti kekerasan”. Remaja dan anti kekerasan merupakan yang perlu untuk dikembangkan agar dapat menyelesaikan kasus-kasus kekerasan di kalangan remaja. “Kekerasan remaja tentu permasalahan yang mengkhawatirkan karena berdampak (dari kekerasan tersebut) panjang dalam pengertian tahap-tahap perkembangan seterusnya yang harus dilalui”, ujar Rahmat.

Pada sesi pertama, pemberian materi diawali oleh Sutarimah, “Diadakannya webinar kali ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan kami dengan kekerasan yang masih terus saja terjadi”. Kekerasan memang tidak terbatas pada remaja, namun kekerasan bisa diatasi sejak usia remaja.

Sementara itu, Arum melanjutkan penyampaian materi dengan lebih memfokuskan pada pembahasan perilaku klithih di Yogyakarta. “Utamanya, saya akan berbagi tentang fenomena yang sepertinya tidak habis-habis di Jogja”. Pada awalnya, klithih memiliki istilah netral bahkan cenderung positif yang bermakna “mencari-cari kegiatan”, namun saat ini dimaknai sebagai sesuatu yang negatif.

Pada sesi kedua, hadir Novi sebagai pemberi materi pertama, “Kekerasan itu sebetulnya bisa kita cegah di level sekolah”. Menurut Novi, kasus kekerasan tidak terbatas pada kasus kekerasan fisik, tetapi sebetulnya juga ada kekerasan pasif-agresif, seperti mengisolasi satu atau dua anak akibat dari terbentuknya kelompok-kelompok tertentu dalam lingkar pergaulan.

Selanjutnya, hadir sebagai pembicara kedua pada sesi kedua sekaligus menjadi pembicara terakhir di webinar kali ini adalah Sentot, “Kita tidak bisa mengklaim bahwa kasus kekerasan terjadi hanya karena satu penyebab. Kasus kekeran bersifat kompleks”. Haryanto menjelaskan bahwa kasus kekerasan dapat dicegah dengan beberapa tugas, seperti menyamakan persepsi semua unsur bahwa kekerasan adalah permasalahan genting, dan kompleks, melakukan pendekatan komprehensif dan sistematik disertai ketegasan, dan memberi wadah inovasi, kreatif, dan bersinergi.

 

Photo by Jonathan Ford on Unsplash

Kuliah Online CPMH: Proses Bekerja dan Belajar Selama dan Setelah Pandemi

Kuliah Online (KulOn) yang diselenggarakan oleh Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM digelar pada Kamis (30/6). Topik yang dibahas pada acara kuliah online kali ini adalah “Regulasi Diri: Antara Aku dan Pandemi”. Pembahasan topik tersebut dibersamai oleh Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog. Selain dilakukan secara online dengan aplikasi pertemuan Zoom dan disiarkan melalui kanal YouTube CPMH, KulOn kali ini untuk pertama kalinya juga ditayangkan menggunakan fitur Instagram Live.

“Kalau berbicara transisi dalam hal apapun, pasti yang pertama muncul itu kondisi uncertainty. Hal itu biasanya menyebabkan individu mengalami kebingungan”, jelas Nurul. Selain kebingungan, kondisi uncertainty juga dapat memunculkan sisi-sisi kecemasan. “Kecemasan yang muncul di masa pandemi seperti ini menjadi berbeda karena ini (pandemi) lama dan berubah-ubah. Ditambah tidak ada kepastian, tentang sampai kapan pandemi akan berakhir”, sambung Wirdatul.

“Pada awal-awal pandemi, kita merasa bahwa ini (pandemi) akan segera berlalu. Berusaha seadaptif mungkin dan melakukannya bersama-sama”, ungkap Nurul. Akan tetapi, ketika apa yang dipikirkan oleh seseorang tidak menemukan kenyataan, maka hal tersebut memunculkan fase-fase lain, seperti muncul perasaan hopeless yang pada akhirnya mengubah tantangan. Awalnya tertantang karena semangat bahwa pandemi akan berakhir, tetapi pada akhirnya tertantang karena mengalahkan pikiran-pikiran negatif.

Dengan demikian, topik regulasi diri dibahas dalam KulOn kali ini karena berkaitan dengan persiapan individu dalam beradaptasi, khususnya menghadapi perubahan yang telah dan akan terjadi setelah pandemi berakhir. “Topik ini mungkin ketika dibahas tidak seberat ketika membicarakan tentang gangguan jiwa dan sebagainya. Akan tetapi, ternyata ini (regulasi diri) adalah masalah yang sepenting itu”, jelas Wirdatul.

Menurut Nurul, tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi dapat meruntuhkan usaha-usaha regulasi diri yang sudah dilakukan sebelum pandemi terjadi. Salah satu contoh sederhananya adalah keluarga yang sudah menerapkan aturan-aturan tertentu dan memberikan pemahaman pada anak yang pada akhirnya menjadikan seorang anak memiliki kontrol diri terkait diri sendiri, emosi, pikiran, bahkan tingkah laku. “Tiba-tiba pandemi terjadi, menyebabkan keluarga tersebut terkurung di dalam rumah tidak boleh kemana-mana. Akses ke dunia luar hanya dari layar yang mungkin dulu adalah hal yang ketat diatur di dalam rumah. Mau tidak mau hal itu menjadi bebas dan diperbolehkan”, terang Nurul.

Perubahan seperti itu bagi anak kecil bukan suatu hal yang mudah, “sesuatu yang sebelumnya mereka dibentuk, terlepas mereka (anak kecil) sadar atau tidak sadar terbentuk. Tiba-tiba berubah yang bagaimana mungkin kita mengharapkan anak-anak kita yang prefrontal cortex-nya belum berkembang harus menganalisis perubahan itu. Adanya mereka malah bingung”, ungkap Nurul.

Di penghujung acara, Nurul juga menitipkan pesan bahwa pentingnya meningkatnya kesadaran tentang softskill-softskill kesehatan mental secara bersama-sama, salah satunya softskill regulasi diri. Bagaimana agar regulasi dapat dikenalkan sedini mungkin pada anak-anak.

Photo by shahin khalaji on Unsplash

Kuliah Online CPMH: A sampai Z Kesehatan Mental

Jumat (17/6) Center for Public Mental Health (CPMH) bekerjasama dengan Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan Kuliah Online (KulOn) dengan topik “A sampai Z Kesehatan Mental”. Narasumber dari acara tersebut adalah Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog.

Acara kuliah online yang dihadiri oleh berbagai kalangan, seperti pelajar, mahasiswam psikolog, psikiatri, guru, bahkan ibu rumah tangga diselenggarakan pada pukul 13.00 WIB. Acara kali ini juga disiarkan secara langsung melalui Kanal YouTube CPMH UGM, selain dapat diakses melalui applikasi meeting online. “Berbeda dari konsep acara KulOn sebelum-sebelumnya, hari ini kita mau QnA aja. Jadi, bentuknya talkshow”, ujar Nurul di awal acara.

Jika sebelum-sebelumnya KulOn mempersiapkan tayangan berisi materi, untuk saat ini konsep yang diusung adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk. Pertanyaan-pertanyaan yang masuk akan dipilih dan dijawab satu per satu oleh narasumber. Pertanyaan-pertanyaan yang masuk dihimpun melalui tautan pendaftaran maupun fitur QnA yang tersedia pada aplikasi Instagram.

Diawali dengan pertanyaan paling dasar yang masuk, yaitu mengapa harus memahami kesehatan mental dan apa bedanya kesehatan mental dengan kesehatan jiwa. “Sebenarnya sama saja antara kesehatan mental dengan kesehatan jiwa. Hanya lebih ke masalah istilah, tetapi yang dimaksudkan sebenarnya sama”, jelas Wirdatul. Selanjutnya, memahami kesehatan mental menjadi perlu karena kesehatan mental sama dengan kesehatan fisik. Artinya, kesehatan mental adalah suatu hal yang penting karena tidak ada yang namanya kesehatan, tanpa kesehatan mental.

“Jadi, orang dengan gangguan jiwa bukan berarti tidak akan sehat jiwa. Karena sehat atau tidaknya kondisi jiwa seseorang tidak dilihat dari ada atau tidak adanya gangguan jiwa”, terang Wirdatul. Disambung oleh Nurul yang mengatakan bahwa ketika berbicara sehat mental maka sedang berbicara kontinum. “Kadang kala kita ada di area yang hijau (sehat), kadang kala kita di tengah atau agak ke merah (sakit)”.

KulOn kali ini ditutup dengan pertanyaan yang diajukan tentang bagaimana cara menciptakan ekosistem yang sehat untuk mental di lingkungan pendidikan. “Sebetulnya ketika kita bicara ekosistem maka kita berbicara sistem. Artinya, ketika kita berbicara sistem maka kita akan membahas lini-lini penting yang dibutuhkan”, jelas Nurul. Menurut Nurul, salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menciptakan ekosistem yang sehat untuk mental adalah dengan meningkatkan literasi kesehatan mental. Dapat melalui seminar-seminar yang diselenggarakan maupun pamflet yang disebarluaskan.

 

 

Photo by Greg Rosenke on Unsplash

Gangguan Jiwa Umum: Gangguan Mood

Fakultas Psikologi UGM bekerjasama dengan Center for Public Mental Health (CPMH) mengadakan Kuliah Online dengan topik “Gangguan Jiwa Umum: Gangguan Mood” pada Jumat (27/5). Topik tersebut disampaikan oleh Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog. “Khusus di hari ini kita akan membahas tentang gangguan suasana hati atau mood disorder”, ucap Nurul di awal acara.

Diawali dengan gambaran secara umum, Nurul menjelaskan bahwa gangguan mental umum adalah gangguan yang memiliki prevalensi tinggi di dalam populasi. “Secara umum kita sudah memahami, bahwa ketika berbicara gangguan mental adalah gangguan yang berlangsung secara bulanan hingga tahunan. Turun kemudian nanti suatu saat ada tekanan yang tidak tertahankan bisa jadi relapse”, jelas Nurul

Akan tetapi, Nurul juga menyampaikan bahwa relapse jangan dijadikan sebagai sebuah momok. Hal itu dikarenakan gangguan psikis pada dasarnya sama seperti gangguan fisik. “Ketika memang gangguan atau tekanan dari luar semakin berat, maka akan terpengaruh. Hal itu juga terjadi pada gangguan fisik”, terang Nurul.

Dengan demikian, gangguan psikis yang dialami seseorang bisa terjadi dalam kurun waktu bulanan bahkan tahunan. Kemudian kondisi tersebut dapat membaik dan berfungsi normal seperti individu pada umumnya. Sampai pada akhirnya, tekanan semakin berat yang pada akhirnya mengalami relapse. “Hal itu harusnya kita pandang sebagai suatu keniscayaan dalam hidup ini”, ungkap Nurul.

Menurut Nurul, ketika individu terdiagnosis suatu gangguan mental umum yang pada dasarnya memiliki prevalensi tinggi merasa bahwa apa yang terjadi bukan hanya dirinya yang mengalami. Ada perasaaan tidak sendiri yang muncul. “Jadi perasaan senasib dan sepenanggungan ternyata juga membantu, sehingga kata “umum” memberikan dampak positif. Menjadi penyemangat untuk lebih baik lagi dan pulih”, ucap Nurul.

Selain membahas mengenai gambaran umum tentang gangguan jiwa umum, acara ini juga menjelaskan tentang gangguan suasana hati berdasarkan etiologi. “Selanjutnya yang akan kita bahas adalah asal muasal. Berkaitan dengan kira-kira apa yang menyebabkan seseorang bisa mengalami gangguan jiwa umum”, jelas Wirdatul. Beberapa penyebabnya antara lain faktor genetik, gangguan zat kimia di otak yang terjadi, terjadi gangguan yang berkaitan dengan hormone stres utama (kortisol), faktor sosial, maupun faktor kepribadian.

 

Photo by Hello I’m Nik on Unsplash

Pelepasan Wisudawan/Wisudawati secara Bauran Periode III T.A 2021/2022 Program Sarjana dan International Undergraduate Program

Fakultas Psikologi Univesitas Gadjah Mada menyelenggarakan Pelepasan Wisudawan/Wisudawati Periode III Tahun Ajaran 2021/2022 pada Rabu (25/05). Diikuti oleh 62 mahasiswa Program Sarjana dan 4 mahasiswa International Undergraduate Program, acara wisuda periode ini diselenggarakan secara bauran, daring maupun luring dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Pada periode wisuda kali ini, tampil Belinda dari Program Sarjana sebagai wisudawati dengan Indeks Prestasi Kumulatif tertinggi 3.99 sekaligus meraih predikat cumlaude. Sementara untuk masa studi tercepat diraih oleh Lintang Pambayun Hindriasari, yaitu 3 tahun 5 bulan 22 hari. Kemudian, untuk International Undergraduate Program, Indeks Prestasi Kumulatif tertinggi diraih oleh Ratri Yanfa Salsabila dengan 3.9 sekaligus meraih predikat cumlaude. Lalu, masa studi tercepat dari International Undergraduate Program diraih oleh Nabila Hilna, yaitu 3 tahun 6 bulan 1 hari.

Tampil sebagai perwakilan wisudawan/wisudawati pada periode ini adalah Lovena Nadira Setiawan yang menyampaikan kesan yang teringat ketika menjadi mahasiswa baru. “Rasa bahagia, haru, serta bangga bercampur dengan rasa cemas karena pada saat itu kita disambut untuk membuka lembaran baru dunia perkuliahan”, kenang Lovena. Selain itu, Lovena juga mengucapkan rasa syukur dan berterimakasih yang mendalam kepada orang tua, sanak keluarga, dan keluarga besar Fakultas Psikologi UGM yang mengiringi langkah selama berkuliah.

Pada periode wisuda kali ini, Fakultas Psikologi memberikan penghargaan kepada mahasiswa yang berprestasi dalam aktivitas akademik maupun aktivitas kemahasiswaan. Pada prestasi bidang akademik, terdapat 52 orang wisudawan/wisudawati yang meraih predikat cumlaude. Sementara, terdapat 22 mahasiswa yang berprestasi dalam aktivitas kemahasiswaan, yaitu Rico Arika Rifendy, Erwin Dian Saputra, Nadine Salsabila Sjuhada, David Andrean Santosa, Imam Zhafir Alam, Dandi Dwi Prasetyo, Almira Rahma Safira, Belinda, Ratri Arista, Ratri Yanfa Salsabila, Afina Hanifansha Putri, Antonius Aji Prakoso, Lovena Nadira Setiawan, Muhammad Faiq Al-Bassam, Nuhida Kinansa Husainy, Sinta Kartika Widyowati, Zafira Amani, Aliffa Milanisty, Bonefasius Ananda Jehandut, Hastinia Apriasari, Maria Hertanti Tri Melani, dan Sekarayu Tunggadewi Anugraputri.

Selain sesi pemberian penghargaan, periode wisuda kali ini diisi oleh sambutan-sambutan dari berbagai pihak. Pertama, sambutan diberikan oleh perwakilan orang tua dari Jinggan Anggun Permani, Kasno Riyanto. “Perguruan tinggi memiliki peran yang sangat penting dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa. Alhamdulillah, Fakultas Psikologi UGM mampu membuktikan eksistensinya dengan menciptakan suasana akademik yang tetap kondusif”, ucap Kasno.

Kemudian, pemberian sambutan dilanjutkan oleh Ketua Keluarga Alumni Psikologi Gadja Mada (KAPSIGAMA), Prabaswara Dewi, S.Psi., Psikolog. “Hari ini merupakan tonggak sejarah bagi adik-adik untuk naik ke tingkat selanjutnya”, ucap Prabaswara. Selanjutnya, Prabaswara juga mengingatkan bahwa apapun nanti profesi wisudawan/wisudawati, harapannya tetap membantu dan mendukung di bidang kesehatan mental. Terakhir, sambutan juga diberikan oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., MSc., Ph.D. “Hari ini kita tidak hanya melepaskan begitu saja, tetapi dilepaskan dengan gelar sarjana psikologi. Dengan begitu, semoga dapat membuka jaringan yang lebih luas serta jalan rejeki dan jalan keberhasilan”, ujar Rahmat. Sebagai penutup, acara pelepasan wisuda periode ini ditutup dengan pembacaan doa oleh Prasetyo Wibowo.

Kuliah Online CPMH: Pertolongan Pertama Psikologis di Sekolah

Jumat (20/5) Fakultas Psikologi UGM dengan Center for Public Mental Health (CPMH) mengadakan kuliah online yang mengangkat topik “PFA di Setting Sekolah dan Alur Rujukannya”. Berbeda dengan kuliah online yang telah diselenggarakan sebelumnya, topik kuliah online kali ini hanya disampaikan oleh Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog. “Ini adalah tema (PFA) kesekian kalinya yang coba kita bagikan. Nah kali ini kita akan spesifik pada pembahasan di setting sekolah”, ujar Nurul di awal acara.

Psychological First Aid (PFA) atau bisa disebut sebagai Pertolongan Pertama Psikologis (PPP) adalah bantuan secara psikologis yang paling dasar. Biasanya bantuan tersebut diberikan kepada individu-individu yang sedang mengalami kejadian traumatik. “Pertolongan pertama psikologis amat sangat penting untuk kita terapkan, untuk bisa diterapkan, mari kita belajar bersama, memahaminya lebih jauh dan lebih mendetail sehingga kita bisa menerapkan dengan tepat”, jelas Nurul.

Lalu apa hubungannya PFA dengan sekolah? Hal tersebut dijawab dengan penjelasan Nurul yang menyampaikan bahwa sebagian besar yang mengalami gangguan mood adalah anak-anak usia sekolah. “Tidak harus menunggu sampai memburuk, karena selama bisa kita cegah sedini mungkin, kenapa tidak?”.

Ketika sekolah berhasil melakukan PFA, maka pihak sekolah dapat membentuk resiliensi dan menambah faktor protektif para siswa. Secara performa, baik akademik maupun sosial siswa pun akan meningkat. Oleh karena itu, dibutukan lingkungan sekolah yang aman, menyenangkan, saling mendukung, serta memberikan kesadaran diri tentang pentingnya kesehatan mental.

“Selalu kami tegaskan di tiap materi PFA yang dibagikan, bahwa PFA bisa dilakukan oleh siapa saja. Lintas usia, lintas pekerjaan, lintas keterampilan, lintas struktural, siapapun”, tegas Nurul. Jadi, mulai dari tukang kebun sampai ibu kantin sekolah dapat melakukan PFA sesederhana memberikan senyuman tulus hangat sebagai sebuah keterkaitan dengan PFA.

“Dengan atau tanpa training pada bidang kesehatan mental, guru, kepala sekolah, pegawai TU dapat melakukan pertolongan pertama psikologis ini”. Akan tetapi, ada hal-hal penting yang perlu diketahui dalam praktik PPP di sekolah. Hal-hal tersebut meliputi, praktis dan tidak memaksa, dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan siswa, membantu siswa untuk mendapatkan kebutuhan dasar, mendengarkan tanpa mengharuskan siswa bercerita, dan membantu siswa terhubungkan dengan bantuan yang dibutuhkan.

 

Picture from: https://www.freepik.com/premium-photo/medical-equipments-with-first-aid-kit-blue-background_2773662.htm

Virtual Open House 2022: Mengenal Lebih Dekat Mapro dan Mapsi

Program Magister Fakultas Psikologi UGM pada Rabu (11/5) mengadakan acara “Bincang Asyik Virtual Open House 2022: Mengenal Lebih Dekat Mapro dan Mapsi”. Acara tersebut diawali oleh sambutan dari Dekan Fakultas Psikologi UGM, yaitu Rahmat Hidayat, M.Sc., Ph.D.  “Dengan open house virtual ini kita bisa membuka partisipasi yang seluas-luasnya”, ujar Rahmat.

Selanjutnya, Rahmat sempat menjelaskan sedikit sejarah dari Fakultas Psikologi UGM yang menjadi salah satu fakultas yang tertua di Indonesia. Dirintis oleh pendirinya yang dimulai pada tahun 1957 yaitu pemerintah pusat kementerian pendidikan tinggi. Salah satu hal yang dilakukan ketika mendirikan Fakultas Psikologi UGM adalah dengan cara mendatangkan dosen yang terkualifikasi, yaitu Doktor Eksperimental Psikologi dari Oxford University yang ditugasi untuk merintis berdirinya seksi penyelidikan psikologi yang kemudian berubah menjadi Fakultas Psikologi UGM pada tanggal 8 Januari 1965.

Kemudian, untuk Program Magister Psikologi berdiri pada tanggal 1 September 1980. Sementara pada tahun 1995, Psikologi UGM menyelenggarakan Pendidikan Profesi Psikolog. “Kepada rekan-rekan yang mendaftar dan lolos seleksi bersyukur, selamat sudah diterima. Sementara yang belum mendapat kesempatan untuk diterima pada tahun akademik saat ini, saya sampaikan tetap semangat karena jalan ilmu bisa ditempuh dari pintu manapun”, ucap Rahmat.

Acara kali ini dibagi menjadi 3 sesi dengan sesi pertama diisi mengenai perbedaan Program Magister Profesi Psikologi dengan Program Magister Psikologi, peminatan apa saja yang ada, informasi tentang pendaftaran, dan data peminat calon mahasiswa yang dibersamai oleh masing-masing Ketua Program Studi. Lalu pada sesi kedua dibersamai oleh Koordinator Bidang dengan membahas proses perkuliahan termasuk perbedaan satu peminatan dengan peminatan lainnya dan gambaran mata kuliah pada masing-masing peminatan.

Terakhir, pada sesi ketiga dibersamai oleh alumni dan mahasiswa aktif yang menyampaikan kesan selama kuliah, peluang pekerjaan, dan kemampuan yang dibutuhkan. Berbeda dengan sesi sebelumnya, pada sesi tiga para peserta yang mengikuti acara dapat memilih untuk bergabung pada ruang breakout zoom yang telah dibuat berdasarkan program studi. Hal tersebut dilakukan agar para peserta memiliki gambaran dan informasi yang lengkap mengenai program studi yang akan diikuti.

 

Photo by Zulian Firmansyah on Unsplash

Kuliah Online CPMH: Kesehatan Mental Anak dan Remaja

Rabu (27/4) Center for Public Mental Health Fakultas Psikologi UGM mengadakan kuliah online atau bisa juga disebut dengan kulon. Acara yang dimulai pada pukul 13:00 WIB diisi oleh Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog. Topik yang disampaikan kali ini adalah “Kesehatan Mental Anak dan Remaja” secara daring. “Semakin kesini, semakin kita terbukakan oleh banyaknya kasus depresi yang dialami oleh anak SMA ke bawah”, ungkap Nurul.

Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan UNICEF, bahwa remaja di Indonesia sudah tidak memiliki minat beraktivitas dan depresi. Menurut Nurul, Gejala depresi jika tidak segera ditangani akan benar-benar menjadi gangguan mental. Temuan lagi juga mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 membuat anak berpotensi mengalami depresi 2x lipat berisiko. “Mengapa anak? Karena anak belum cukup memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan baik”, jelas Nurul.

Anak dan remaja yang mengalami tekanan psikologis disebabkan oleh beberapa hal, seperti tidak ada hubungan emosional yang dekat dengan keluarga, menjadi korban konflik rumah tangga, mengalami perpisahan maupun kehilangan, mengalami kekerasan, perundungan, dan lain sebagainya. Apabila tekanan psikologis yang dialami oleh anak dan remaja tidak segera ditangani, tidak menutup kemungkinan akan mengalami gangguan mental. Beberapa gangguan mental yang umum terjadi pada anak dan remaja, antara lain ADHD, autis, gangguan perilaku, gangguan belajar spesifik, gangguan makan, PTSD, gangguan kecemasan, gangguan suasana hati, kecanduan, dan psikosis.

“Hal yang terlewat oleh orang-orang dewasa di sekitar anak dan remaja adalah bagaimana mereka (orang-orang dewasa) mendampingi anak dan remaja untuk belajar dari masalahnya”, ungkap Wirdatul. Terkadang orang-orang dewasa hanya sekedar membiarkan agar anak dan remaja tersebut tumbuh dan berkembang dari masalah yang dihadapi, namun orang-orang dewasa lupa bahwa anak dan remaja masih perlu pendampingan dalam menghadapi masalahnya.

Masalah kesehatan dan gangguan menta dapat ditangani, dengan cara mendekati dan berbicara tentap apa yang mereka rasakan serta pikirkan tanpa penghakiman. “Ketika terjadi perubahan perilaku-perilaku yang signifikan pada anak dan remaja, maka orang dewasa di sekitarnya perlu untuk menanyakan karena perilaku yang ditampilkan adalah cara anak dan remaja berkomunikasi dengan orang di sekitarnya”, jelas Wirdatul.

 

Photo by Caleb Woods on Unsplash