Alumni Sharing Session “Studi Lanjut Bagi Sarjana Psikologi: Sebuah Keharusan atau Kebutuhan?”

Jumat (20/8) Fakultas Psikologi UGM kembali mengadakan acaran Alumni Sharing Session dengan tema “Studi Lanjut Bagi Sarjana Psikologi: Sebuah Keharusan atau Kebutuhan?”. Acara ini merupakan sarana berbagi pengalaman dari alumni Fakultas Psikologi UGM kepada adik-adik tingkatnya.

Acara berlangsung pukul 14.00 WIB hingga pukul 15.45 WIB dengan dihadiri oleh 56 peserta dari kalangan mahasiswa, lulusan S1 bahkan SMA. Kepala OCIA Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc. dalam sambutannya berharap acara sharing alumni ini dapat memberikan inspirasi pada calon wisudawan wisudawati S1 UGM untuk dapat memaksimalkan kesempatan berkarir ataupun melanjutkan studi dengan berbagai beasiswa yang tersedia.

Pada kesempatan ini pemateri yang membagikan pengalamannya adalah alumnus S1 Fakultas Psikologi UGM yaitu Wulan Nur Jatmika, S.Psi. yang kini tengah bersiap menjalani kuliah S2 di University College London dan Aliyaturohmah Supriyadi, S.Psi. yang sedang menjalani kuliah S2 di John Hopkins University. Keduanya menjalani kuliah lanjutan berkat beasiswa dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Keduapemateri berbagi cerita tentang latar belakang mereka melanjutkan kuliah sekaligus bagaimana perjuangan mereka dalam mendapatkan beasiswa.

Keduanya mempunyai kesamaan minat keilmuan yaitu public mental health. Hal itu terbangun oleh keterlibatan mereka yang begitu intens di salah satu unit penelitian Fakultas Psikologi UGM yang berfokus pada kesehatan mental masyarakat yaitu CPMH (Center for Public Mental Health). Pengalaman turut aktif di berbagai riset kesehatan mental masyarakat di CPMH itu pulalah yang mengantar Wulan dan Aliya memilih jurusan public mental health di studi masternya.

Keterlibatan aktif Wulan di CPMH membuatnya sadar bahwa sistem kesehatan mental masyarakat itu sangat penting namun di Indonesia belum berjalan secara baik dan sistematis. Permasalahan kesehatan mental masih lebih banyak dibahas secara mikro daripada makro. Oleh sebab itu Wulan mengubah minat keilmuan yang awalnya di neuropsikologi ke ilmu kesehatan masyarakat.

“Pada akhirnya saya tertarik ke public mental health. Kayaknya itu dampak jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjangnya itu juga public mental health itu sangat dibutuhkan” ujar Wulan.

Mengenai pertimbangan untuk melanjutkan studi ke S2 Aliya memilih kuliah di luar negeri karena keilmuan tentang public mental health di Indonesia belum banyak berkembang. Dengan melanjutkan kuliah di S2 Aliya berharap hal itu akan menambah keterampilannya dalam riset dan advokasi di bidang public mental health.

“Saya butuh untuk level up gitu, tidak hanya yang S1 tapi butuh yang levelnya S2,” ungkap Aliya.

Pilihan kuliah di luar negeri itu jugalah yang membuat baik Wulan ataupun Aliya memutuskan untuk mengambil program beasiswa. Setelah mencoba beberapa kali mendaftar di berbagai jenis beasiswa, akhirnya Aliya berhasil mendapatkannya di LPDP.

Wulan juga mempunyai cerita unik dalam berburu beasiswa. Mencoba mendaftar di beberapa universitas di luar negeri dan berhasil lolos tidak serta merta diambil oleh Wulan karena program beasiswa yang diharapkan dapat memenuhi biaya kuliah belum berhasil diraih. Oleh sebab itulah Wulan mengubah strateginya yaitu bagaimana memastikan beasiswanya dulu baru kampus tempat kuliah yang dituju.

“Mendingan beasiswanya dulu aja yang secured daripada ini kan, apa, kayak diterima tapi nggak bisa bayar, sakit banget” ujar Wulan sambil tertawa.

Meraih kesempatan kuliah S2 di luar negeri dengan beasiswa juga membutuhkan perjuangan yang cukup berat. Kedua pemateri sependapat bahwa kehadiran support system juga sangat menentukan dan menguatkan dalam usaha untuk terus mencoba meskipun seringkali mengalami kegagalan dalam mencoba mendaftar berbagai macam beasiswa yang tersedia.

“Kadang kita butuh didorong orang juga sih untuk berani coba hal baru” ujar Aliya menanggapi pendapat Wulan tentang pentingnya support system bagi kesuksesannya dalam meraih beasiswa.