Kuliah Online (KulOn) yang diselenggarakan oleh Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM digelar pada Kamis (30/6). Topik yang dibahas pada acara kuliah online kali ini adalah “Regulasi Diri: Antara Aku dan Pandemi”. Pembahasan topik tersebut dibersamai oleh Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog. Selain dilakukan secara online dengan aplikasi pertemuan Zoom dan disiarkan melalui kanal YouTube CPMH, KulOn kali ini untuk pertama kalinya juga ditayangkan menggunakan fitur Instagram Live.
“Kalau berbicara transisi dalam hal apapun, pasti yang pertama muncul itu kondisi uncertainty. Hal itu biasanya menyebabkan individu mengalami kebingungan”, jelas Nurul. Selain kebingungan, kondisi uncertainty juga dapat memunculkan sisi-sisi kecemasan. “Kecemasan yang muncul di masa pandemi seperti ini menjadi berbeda karena ini (pandemi) lama dan berubah-ubah. Ditambah tidak ada kepastian, tentang sampai kapan pandemi akan berakhir”, sambung Wirdatul.
“Pada awal-awal pandemi, kita merasa bahwa ini (pandemi) akan segera berlalu. Berusaha seadaptif mungkin dan melakukannya bersama-sama”, ungkap Nurul. Akan tetapi, ketika apa yang dipikirkan oleh seseorang tidak menemukan kenyataan, maka hal tersebut memunculkan fase-fase lain, seperti muncul perasaan hopeless yang pada akhirnya mengubah tantangan. Awalnya tertantang karena semangat bahwa pandemi akan berakhir, tetapi pada akhirnya tertantang karena mengalahkan pikiran-pikiran negatif.
Dengan demikian, topik regulasi diri dibahas dalam KulOn kali ini karena berkaitan dengan persiapan individu dalam beradaptasi, khususnya menghadapi perubahan yang telah dan akan terjadi setelah pandemi berakhir. “Topik ini mungkin ketika dibahas tidak seberat ketika membicarakan tentang gangguan jiwa dan sebagainya. Akan tetapi, ternyata ini (regulasi diri) adalah masalah yang sepenting itu”, jelas Wirdatul.
Menurut Nurul, tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi dapat meruntuhkan usaha-usaha regulasi diri yang sudah dilakukan sebelum pandemi terjadi. Salah satu contoh sederhananya adalah keluarga yang sudah menerapkan aturan-aturan tertentu dan memberikan pemahaman pada anak yang pada akhirnya menjadikan seorang anak memiliki kontrol diri terkait diri sendiri, emosi, pikiran, bahkan tingkah laku. “Tiba-tiba pandemi terjadi, menyebabkan keluarga tersebut terkurung di dalam rumah tidak boleh kemana-mana. Akses ke dunia luar hanya dari layar yang mungkin dulu adalah hal yang ketat diatur di dalam rumah. Mau tidak mau hal itu menjadi bebas dan diperbolehkan”, terang Nurul.
Perubahan seperti itu bagi anak kecil bukan suatu hal yang mudah, “sesuatu yang sebelumnya mereka dibentuk, terlepas mereka (anak kecil) sadar atau tidak sadar terbentuk. Tiba-tiba berubah yang bagaimana mungkin kita mengharapkan anak-anak kita yang prefrontal cortex-nya belum berkembang harus menganalisis perubahan itu. Adanya mereka malah bingung”, ungkap Nurul.
Di penghujung acara, Nurul juga menitipkan pesan bahwa pentingnya meningkatnya kesadaran tentang softskill-softskill kesehatan mental secara bersama-sama, salah satunya softskill regulasi diri. Bagaimana agar regulasi dapat dikenalkan sedini mungkin pada anak-anak.