Kuliah Online CPMH Break the Stigma: Gangguan Bipolar

Jumat (25/3) Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM mengadakan Kuliah Online yang merupakan sebuah program rutin tiap dua pekan sekali. Kuliah Online diadakan untuk memberikan literasi kesehatan mental kepada masyarakat. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi salah pemahaman dan juga memunculkan stigma di tengah mulai merebaknya isu-isu kesehatan mental di masyarakat.

Dibawakan oleh dua narasumber, yaitu Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog, acara Kuliah Online kali ini mengangkat topik “Break the Stigma: Gangguan Bipolar”. Topik tersebut diangkat karena bertepatan dengan Hari Bipolar Sedunia sekaligus untuk mengkaji fenomena yang saat ini sedang berkaitan dengan pandemi, yaitu emosi. Menjadi salah satu hal yang dikaitkan dengan pandemi, seringnya perubahan emosi yang dialami apakah termasuk gangguan bipolar?

Gangguan bipolar merupakan gangguan mental yang menyebabkan terjadinya perubahan suasana hati yang berlebihan. Perubahan suasana hati tersebut terjadi secara tiba-tiba, dari sangat bahagia (mania) menjadi sangat sedih (depresi). Perubahan suasana hati yang ekstrem dapat memengaruhi aktivitas sehari-hari tidak hanya dalam hitungan jam, namun hingga hitungan bulan.

“Orang dengan gangguan bipolar yang sedang berada pada kondisi mania, secara emosi cenderung lebih sensitif, lebih gampang marah. Selain itu, juga menjadi orang yang berbicara lebih banyak karena idenya banyak dan pikirannya cepat”, jelas Wirdatul.

Selain menjelaskan tentang apa itu gangguan bipolar, Kuliah Online kali ini juga menjelaskan tentang apa saja yang dapat dilakukan orang lain untuk memberikan dukungan kepada ODB (Orang dengan Bipolar). Beberapa hal yang dapat diberikan sebagai bentuk dukungan adalah tidak melakukan pelabelan/stigma, menemani pasien mengunjungi profesional, mendukung dalam mencari pengobatan/terapi, mendukung proses pemulihan, sampai ikut mengetahui faktor risiko, gejala, maupun pemicu gejala.

“Psikis sama dengan fisik. Ketika kita pernah didiagnosis terkena tipes, apakah kita akan menjadi kebal dari tipes? Tentu tidak. Artinya, ketika kita sudah pernah mengalami itu, kita menjadi orang yang menyadari bahwa kita memiliki kerentanan yang lebih dibandingkan orang lain”, jelas Nurul.

 

 

 

Photo by Nick Fewings on Unsplash