Jumat (14/1) Center for Public Mental Health (CPMH) UGM mengadakan acara dengan tajuk Stigma dan Masalah Kesehatan Mental. Acara ini merupakan ragkaian kegiatan Kuliah Online (Kulon), program literasi kesehatan mental yang rutin diadakan CPMH setiap dua minggu sekali. Acara ini bersifat terbuka untuk umum dan dilaksanakan secara daring.
Acara dilaksanakan pada pukul pukul 13.00 WIB hingga 15.00 WIB. Acara ini diikuti oleh 55 peserta. Pemateri dalam acara ini adalah Nurul Kusuma Hidayati M.Psi., Psikolog , manager CPMH yang juga aktif sebagai psikolog di Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi UGM dan di Gadjah Mada Medical Center (GMC) dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog, peneliti aktif di CPMH yang juga aktif sebagai psikolog di Unit konsultasi Psikologi (UKP) Fakultas Psikologi UGM dan di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Sleman. Pada kesempatan ini Nurul dan Anisa membawakan sebuah tema yang akrab dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yaitu stigma kepada pengidap gangguan mental dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Selain kepada ODGJ, stigma juga sering muncul pada mantan narapidana dan pengidap virus HIV. Nurul mengawali persentasinya dengan menangkap sebuah berita yang mengangkat kisah seorang pengidap HIV yang selama 13 tahun dijauhi masyarakat dan kesulitan mendapatkan pengobatan. Hal itu akan memperparah keadaan penderita HIV karena tidak mendapatkan penanganan medis dengan layak dan intensif.
“Stigma itu menjauhkan dari yang seharusnya. Menjauhkan dari (penanganan medis) yang terbaik yang bisa diakses dan dapatkan,” terang Nurul sembari menjelaskan bahwa stigma-stigma baru mudah muncul di masyarakat dan menjadi tugas bersama untuk menghapuskannya.
Selanjutnya pemateri kedua menjelaskan tentang stigma. Menurut Anisa, stigma adalah label negatif yang disematkan kepada orang dan kelompok tertentu. Stigma ini dibentuk dari budaya dan struktur sosial yang ada di masyarakat.
Anisa juga menjelaskan dua tipe stigma yaitu public stigma dan self stigma. Public stigma adalah sikap negatif yang dimiliki anggota masyarakat tentang orang-orang dengan karakter terdevaluasi atau dipandang lebih rendah dan buruk. Sedangkan self stigma adalah sikap negatif dari masyarakat yang diinternalisasi ke diri sendiri.
“Jadi kitapun, diri kita sendiripun bisa menstigma (diri) kita. Jadi nggak cuman lingkungan sekitar yang memberikan stigma tentang kesehatan mental. Tapi kita juga bisa punya stigma itu,” terang Anisa.
Dampak stigma pada pengidap gangguan mental menyebabkan beberapa perlakuan yang semakin membatasi pengidap gangguan mental untuk mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Anisa menjelaskan bahwa tidak dilibatkannya pengidap gangguan mental dalam kegiatan masyarakat membuatnya semakin tidak berdaya dan merasa tidak berharga yang pada akhirnya akan mempengaruhi kalitas hidupnya.
Selanjutnya Anisa juga menjelaskan tentang bagaimana cara mengatasi stigma. Untuk mengatasi self stigma yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan literasi kesehatan mental, restrukturisasi kognitif, pemberdayaan individu, dukungan keluarga, dan peer support. Sedangkan untuk mengatasi public stigma bisa dengan menggunakan edukasi kesehatan mental, kontak sosial, dan advokasi sistemik dari semua lapisan masyarakat. Mengatasi stigma juga bisa dilakukan dengan intervensi psikologis. Di antaranya adalah Go-To Educator Training (GTET), Acceptance and Commitment Therapy (ACT), dan art intervensions.
Pada sesi terakhir pemateri membahas tentang mitos dan fakta yang sering sulit dibedakan oleh masyarakat ketika menghadapi permasalahan gangguan kejiwaan. Acara ditutup dengan sesi tanya jawab dan diskusi interaktif antara pemateri dan peserta acara.