Jumat (12/11) Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan acara webinar internasional dengan topik “Challenges of Living in a Diverse Society”. Topik tersebut disampaikan oleh tiga pembicara, yaitu Prof. Dr. Faturochman, M.A., Dr. Muhammad Najib Azca, dan Rogelia Pe-Pua, Ph.D. Acara webinar kali ini dihadiri oleh lebih dari 200 partisipan secara daring dimulai pada pukul 13.00 WIB. Sebelum masuk pada materi, acara ini dibuka oleh Haidar Buldan Thantowi, S.Psi., M.A., Ph.D selaku Ketua dari CICP. “Saya dan teman-teman yang hadir saat ini sangat beruntung bisa mengikuti dan bertemu dengan para pembicara”, ujar Buldan.
Pembicara pertama pada acara ini adalah Prof. Faturochman, M.A yang menyampaikan tentang “Managing Diversity for Unity”. “Ragam yang dimiliki Indonesia adalah sebuah tantangan tersendiri”, ucap Fatur. Seperti sudah diketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara besar yang memiliki banyak budaya, geografi, bahkan makanan. Oleh karena itu, menurut Fatur mengelola keragaman seperti mengaransemen dan memainkan musik. “Kearifan lokal dan berbagai pengalaman akan menjadi sumber daya yang dapat dipelajari untuk mengelola harmoni dan kesatuan psikologis sosial”, jelas Fatur.
Selanjutnya, materi kedua disampaikan oleh Dr. Muhammad Najib Azca dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. “Jadi, salah satu fokus keilmuan saya adalah tentang konflik, kekerasan, dan proses perdamaian. Oleh karena itu, kali ini saya akan berbicara tentang bagaimana kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman kita (Indonesia) dalam resolusi konflik”, ungkap Najib.
Salah satu pembahasan yang disampaikan oleh Najib adalah mengenai A Framework for Conflict Analysis yang terdiri dari profil, aktor, penyebab, dan dinamika yang terjadi pada suatu konflik. Analisis tersebut berguna untuk memahami keberhasilan penyelesaian konflik melalui pemahaman yang komprehensif. Selain itu, Najib juga menyampaikan bahwa proses penyelesaian konflik melibatkan dua mekanisme penting, yaitu mediasi dan negosiasi.
Sesi akhir pada acara ini ditutup materi yang disampaikan oleh Rogelia Pe-Pua., Ph.D dari School of Social Sciences University of New South Wales. Ada tiga hal yang Rogelia sampaikan, yaitu acculturation in Australia, acculturation from an indigenous Australian lens, dan social cohesion in a multicultural society. “Jadi, sebelum saya memulai materi, saya ingin mengajukan jajak pendapat melalui pertanyaan sederhana tentang apakah Australia adalah negara paling multikultural di dunia? Tanya Rogelia dan jawabannya memang Australia adalah masyarakat multikultural paling sukses di dunia.
Rogelia juga merekomendasikan beberapa hal untuk menjaga multikultural tetap berjalan dengan damai. Beberapa diantaranya, mempromosikan kesadaran pengetahuan, pengakuan budaya, perbedaan, serta keragaman. Kemudian menciptakan peluang untuk adanya kontak antar budaya positif yang sering, mengatasi rasisme dan diskriminasi, serta melibatkan media dalam meningkatkan kohesi sosial. Termasuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan timbal balik antar budaya, dan media sosial serta kohesi sosial adalah hal yang direkomendasikan Rogelia agar multikultural dalam suatu daerah terjaga.