Jumat (19/3) Office of Cooperatian, International Affairs, and Alumni (OCIA) Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan kuliah tamu dengan tema “Bilingualism & Cultural Factors and Language Development”. Acara ini merupakan bagian dari International Guest Lecture Series yang diselenggarakan OCIA di tahun ini.
Acara yang berlangsung pukul 09.30 pagi hingga pukul 11.00 siang ini dihadiri oelh 108 peserta. Selain dari mahasiswa Fakultas Psikologi, acara ini juga terbuka untuk umum.
Pemateri yang mengisi kuliah tamu kali ini adalah Christina Perez, M.A., mahasiswa S3 psikologi di The University of Toledo, Ohio, Amerika Serikat. Ia mempunyai focus penelitian pada perkembangan anak. Pada kesempatan kali ini ia membagikan hasil penelitiannya tentang bagaimana perkembangan bahasa pada anak yang dipengaruhi oleh faktor budaya dan multi bahasa yang terjadi pada lingkungan sekitarnya.
Dalam perkembangan kemampuan verbalnya, anak melewati fase-fase kemampuan berbahasa secara bertahap. Biasanya anak mulai bisa mengucapkan kata pertamanya pada usia 10 sampai 14 bulan. Ucapan kata pada fase ini biasa disebut holofrase.
“Pada usia 10 bulan balita berbicara dengan kata pertamanya dan pada fase ini komunikasinya hanya dengan potongan suara atau biasa disebut holofrase dan di satu frase kerja menggunakan serangkaian kalimat pendek” terang Perez.
Bilingualisme atau menggunakan lebih dari satu bahasa dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang sangat umum di seluruh dunia. Bahasa yang dipakai di lingkungan bermain, bersekolah, atau bekerja mungkin berbeda dengan bahasa ibu atau yang dipakai berkomunikasi di keluarga. Hal itu dialami oleh 20% penduduk Amerika dan 79% penduduk Eropa. Namun ada beberapa negara yang sulit diukur prosentase masyarakatnya yang bilingual, termasuk dalam hal ini adalah Indonesia.
“Di Indonesia ada lebih dari 400 bahasa dan dialek dan banyak lagi yang besar dan berhubungan satu sama lain dan sangat sulit untuk mengambil perkiraan bilingual yang jelas jika anda benar-benar memisahkannya dengan mudah” tutur Perez.
Perez juga menjelaskan bagaimana budaya sangat berpengaruh pada ingatan anak. Ia mempelajari kesesuaian budaya pada saat anak bercerita kepada orang dewasa pada tahun-tahun sebelum ia masuk sekolah. Ingatan pada masa-masa awal itu disimpan dalam bentuk kata-kata dalam bahasa yang dipahaminya sesuai dengan budaya di mana ia dibesarkan. Pemahaman terhadap pembentukan bahasa ini sangat penting implementasinya pada berbagai bidang. Dalam ranah hukum, pemahaman pengaruh budaya pada anak bilingual bermanfaat untuk menyusun beberapa pedoman investigator pada saat penyidikan dan persidangan. Gap bahasa tentunya akan sangat berpengaruh terhadap hasil penyidikan.
“Dengan meningkatnya migrasi internasional, profesional hukum semakin mungkin bertemu dengan saksi dwi bahasa (bilingual). Namun kenyataannya saat ini, masih belum ada pedoman formalnya” kata Perez.
Acara ini berlangsung sangat interaktif. Beberapa peserta memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada pemateri terkait dengan permasalahan tentang kemampuan berbahasa pada anak dan pengaruhnya terhadap berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari. Panitia berharap dengan diadakannya acara ini peserta bisa lebih memahami lagi tentang pentingnya riset tentang perkembangan bahasa dan dapat lebih mengeksplorasinya secara lebih mendalam.