Tamu Kita: Prof Byron Good Dari Harvard University Diskusi Tentang Indigenous Psychology

Prof. Byron Good bersama istrinya Prof. Mary-Jo Delvicio Good bukan tamu asing bagi Fakultas Psikologi UGM. Beliau datang pertama kali sebagai Fullbright visiting professor di Fakultas Psikologi UGM pada tahun 1996, sementara itu istrinya menjadi visiting professor di Fakultas Kedokteran  UGM. Pada saat itu pak Byron (begitu panggilan akrab beliau) memberikan kuliah untuk mahasiswa S-2 selama satu semester di bidang Culture and Psychopathology. Beliau adalah seorang antropolog yang mendalami bidang kesehatan mental. Sejak kunjungan pertama itu pak Byron secara rutin datang ke UGM bahkan sering 2-3 kali dalam setiap tahun. Beliau melakukan penelitian-penelitian bersama dengan bapak Subandi, Bu Nida dan bu Muhana. Empat tahun terakhir ini beliau juga melakukan penelitian di Aceh dengan fokus pada masalah kesehatan mental akibat konflik berkepanjangan.

Kunjungan pak Byron dan Bu Mary-Jo tanggal 1-27 Juli 2008 merupakan kunjungan mereka yang kedua untuk tahun ini. Karena Fakultas Psikologi UGM telah menyatakan diri untuk fokus pada pengembangan indigenous psychology, maka pada kunjungan kali ini pak Byron diminta untuk menjadi narasumber dalam diskusi dengan para dosen, yang dilaskanakan pada tanggal 20 Juli 2008 yang lalu. Hadir pada kesempatan ini adalah bapak Dekan, Prof. Djamaludin Ancok, Prof. Endang Ekowarni, dan sekitar 15 dosen lain.

Dalam diskusi ini Pak Byron pertama kali memberikan masukan-masukan bagi pengembangan bidang Public Mental Health, (PMH) yang akan mengganti kegiatan Crisis Centre. Diharapkan bahwa PMH tidak hanya fokus pada persoalan psikologis akibat bencana, tapi juga problem-problem lain, seperti konflik sosial-politik.

Setelah itu pak Byron mendiskusikan tentang pengembangan Indigenous Psychology (IP). Beliau mempertanyakan arahnya kemana? Pak Byron mengacu pada pendapat Richard Schweder yang membagi perpaduan antara Psikologi dan Budaya menjadi tiga kelompok, yaitu  cross-cultural psychology, ethno psychology dan cultural psychology. Menurut beliau cross-cultural psychology lebih dominan unsur Psikologi. Budaya dijadikan sebagai salah satu variabel yang akan dibandingkan, sehingga pendekatannya bersifat ethic. Sementara itu ethno psychology lebih dominan unsur culture yang bersifat emic, sedangkan cultural psychology mempertimbangkan culture dan psychology secara seimbang. Pak Byron mengatakan bidang ini sungguh-sungguh memperhatikan dimensi budaya dan sungguh-sungguh memperhatikan unsure Psikologi. Namun demikian jika cultural psychology yang memang merupakan fokus dari IP, maka kita harus siap dengan munculnya konflik antara kedua bidang itu. Misalnya dalam diskusi pada hari itu muncul isu tentang pola mendidik anak di daerah Nusatenggara Timur dimana orangtua pada umumnya menggunakan metode yang sangat keras dalam mendidik anak. Tidak jarang mereka dipukul dengan rotan sampai kesakitan. Mereka berdalih di balik kerasnya rotan ini ada madu. Itulah pandangan budaya mereka yang dipelajari secara turun temurun. Tetapi dari sisi Psikologi hal ini bisa dianggap sebagai maltreatment.

Diskusi ditutup dengan usulan supaya untuk merealisasikan bidang ini, perlu ada lembaga atau unit khusus yang menangani. Diusulkan selain ada unit kajian public mental health, juga ada unit kajian indigenous psychology.***