Psikolog UGM, Idei Khurnia Swasti menjelaskan, ghosting merupakan perilaku menghindar saat menjalin pacaran atau dalam tahap mencari gebetan. Perilaku ghosting banyak terjadi pada masa pendekatan, pacaran, hingga menjelang perkawinan.
Idei mengatakan ghosting memang jarang dibahas dalam perkawinan. Sebab, komitmen perkawinan telah lebih mengikat secara hukum dan juga personal. “Perilaku ghosting ini ditandai dengan sikap pelaku yang mulai menarik diri dari komunikasi,” ungkap dia melansir laman UGM, Rabu (24/3/2021). Dia mengaku, orang yang suka ghosting sulit ditemui. Selain itu, tidak membalas pesan, chat, atau telepon. Lalu, memiliki banyak alasan untuk menghindar jika diajak membicarakan hal yang serius. Lantas mengapa seseorang lebih memilih menghilang begitu saja dari kehidupan orang lain, dibanding merencanakan percakapan untuk mengakhiri suatu hubungan? Sebab, bilang dia, hal itu harus dilakukan banyak penelitian secara khusus pada fenomena ghosting. Dari hasil penelitian sebelumnya telah melihat berbagai jenis kepribadian keterikatan dan pilihan strategi perpisahan. “Bisa saja orang dengan tipe kepribadian menghindar, mereka yang ragu untuk membentuk hubungan atau sepenuhnya menghindari keterikatan dengan orang lain,” jelas dia.
Kondisi itu, kata dia, sering kali diawali karena pengalaman penolakan orangtua. Hal itu pada akhirnya membuat individu enggan untuk menjadi sangat dekat dengan orang lain karena masalah kepercayaan dan ketergantungan. Kemudian, mereka sering menggunakan metode tidak langsung untuk mengakhiri hubungan, yaitu ghosting ini. “Akan lebih mudah dengan cara “menghilang” dibanding “menghadapi langsung”, karena menghadapi secara langsung membutuhkan upaya ekstra dalam menjelaskan, yang bisa timbul konflik baru,” ucap dia. Pemicu ghosting Lanjut dia menyebutkan, perilaku ghosting juga bisa terjadi karena pelaku tidak tahu bagaimana cara mengkomunikasikan konflik dan mencari resolusi konflik. Kondisi ini biasanya sering disebut dengan malas ribut atau malas membahas. Mereka beranggapan masalah akan terselesaikan sendiri seiring dengan berjalannya waktu. Kemungkinan lain, mereka juga merasa tidak nyaman menggantungkan permasalahan.
Namun demikian, menurut mereka akan lebih mudah bersikap seperti itu daripada harus menghadapinya saat ini. “Pemicu ghosting adalah adanya perasaan tidak nyaman dalam relasi atau saat ada ketidakcocokan yang tidak bisa dikomunikasikan secara terbuka,” tegas Dosen Fakultas Psikologi UGM. Idei menyampaikan, jika alasan seseorang melakukan ghosting tidak bisa digeneralisasikan. Oleh sebab itu, dia menyarankan untuk tidak memberi label pelaku ghosting. Karena, memang tidak benar-benar mengetahui riwayat kehidupan dan dinamika psikologis pelaku ghosting. Dia menambahkan, perilaku ghosting menimbulkan berbagai dampak seperti membuat korban merasa bingung, sakit hati, dan paranoid atau menyalahkan diri sendiri. Dengan begitu membuat perasaan seseorang tidak nyaman secara berkelanjutan. Pada akhirnya menggangu hidup sehari-hari, malas makan dan beraktivitas, tidak mampu berkonsentrasi, dan penurunan performa kerja.
“Jika kena korban ghosting, jangan merendahkan diri. Jadi berhentilah untuk mengejar orang,” pungkas dia.
SumberĀ https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/24/063300671/psikolog-ugm–hati-hati-jadi-korban-ghosting-saat-pacaran?page=all#page2.
Penulis : Dian Ihsan
Editor : Dian Ihsan