Meninggalnya mahasiswa UGM belum lama ini yang menjadi korban dari aksi klitih para remaja anggota geng sekolah kian memprihatinkan. Aksi para pelaku kekerasan yang masih di bawah umur bukan lagi dikategorikan bentuk kenakalan remaja, namun bukan pula sebagai pelaku tindak kriminal karena mereka adalah korban dari indoktrinasi geng sekolah serta kurangnya perhatian orang tua dan sekolah terhadap masa tumbuh kembang anak-anak dari remaja ke dewasa.
Hal itu mengemuka dalam seminar ‘Membongkar Akar dan Mencari Solusi Masalah Klitih, Kamis (12/7), di Gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Seminar yang dilaksanakan oleh unit Pengabdian kepada Masyarakat FIB UGM ini menghadirkan empat pembicara, yakni Bagian Psikologi Polda DIY, AKP Muhtar Efendi, S.Psi, M.Psi., Sosiolog UGM, Drs. Suprapto, Su., Dosen Psikologi UGM, Dr. Arum Febriani dan dosen sejarah FIB UGM, Julianto Ibrahim.
Muhtar Efendi menyebutkan rata-rata pelaku klitih yang ditangkap oleh Polda DIY berusia di bawah umur 17 tahun. Menurutnya, para pimpinan geng aksi klitih ini mengerti bahwa anak di bawah umur tidak bisa dipidanakan. “Anggota geng yang sudah berusia 17 tahun, hanya berada di belakang layar,” kata Muhtar saat memaparkan hasil penyidikan terhadap pelaku klitih di Yogyakarta.
Umumnya, para pelaku aksi klitih ini berasal dari anggota geng sekolah SMA. Hampir setiap sekolah SMA memiliki geng yang visi misinya melakukan aksi kekerasan atau bahkan membunuh anak laki-laki dari siswa sekolah lain. “Tapi biasanya setiap sekolah mengingkari ada geng di sekolahnya karena kita tahu aktivitas geng ini mirip gerakan bawah tanah,” imbuhnya.
Dari hasil investigasinya terhadap beberapa anggota geng sekolah yang sudah ditangkap, ia menyebutkan geng pelaku klitih paling banyak ada di Kota Yogyakarta sebanyak 35 geng, selanjutnya 15 geng klitih di Sleman, 16 geng di Bantul, 4 di Kulonprogo dan satu geng dari satu sekolah di Gunungkidul.
Dari pengakuan pelaku anggota geng RIB, singkatan dari geng Revolution In Boda, geng ini sering menjadikan warung burjo atau angkringan sebagai tempat untuk berkumpul. Mereka mencari korban anak laki-laki dari SMA lain yang menjadi musuhnya. “Visi misi mereka itu membunuh atau dibunuh, dengan membawa seragam korban sebagai bukti dan senjata yang dipakai untuk membunuh akan dijadikan pusaka bagi geng mereka,” katanya.
Setiap melakukan aksinya, kata Muhtar, para pelaku tidak sendirian tapi secara bersama-sama dengan pembagian tugas satu sama lain. “Biasanya aksi klitih tidak terencana, seperti kasus korban mahasiswa UGM yang meninggal dan kasus pembacokan di Wirobraja. Awalnya mereka berkumpul di burjo dengan membawa lima motor berboncengan,” katanya.
Muhtar mengaku prihatin terhadap para remaja yang melakukan aksi klitih yang menyebabkan korban jiwa. Dia juga tidak menyangka bahwa pelaku klitih ini umumnya penduduk asli Jogja. “Antara lucu, sedih, dan tragis, saya menganggap Jogja punya budaya yang khas orang Jawa, tidak suka kekerasan, tidak suka menggunakan senjata tajam. Tapi semua yang kami periksa, pelakunya asli orang Jogja meski beberapa ada pendatang,” tuturnya
Dosen Fakultas Psikologi UGM, Dr. Arum Febriani, M.A., mengatakan penelitian yang mereka lakukan terhadap pelaku klitih yang saat ini masuk dalam pengawasan Lembaga Pembinaan Khusus Anak diketahui para pelaku ini sebagian besar adalah laki-laki meski ada satu orang perempuan. Setelah dilakukan tes psikologi diketahui para pelaku aksi klitih ini memiliki kematangan emosi yang rendah dan kurang mendapat perhatian maupun pengawasan dari orang tua.
Dikatakan Arum, relasi buruk dengan orang tua dan pernah memiliki riwayat kekerasan fisik di keluarga menjadikan para pelaku ini memiliki komitmen kuat dengan kelompok geng sekolah karena merasa senasib. “Semua pelaku merasakan hilangnya figur ayah mereka, selalu merindukan sosok ayahnya,” katanya.
Dari hasil penelitian tim Psikologi UGM ini juga diketahui para pelaku aksi klitih memiliki motivasi rendah di bidang akademik karena motivasi belajar yang rendah dan pernah memiliki riwayat drop out dari sekolah. Disamping hubungan keluarga yang kurang harmonis. “Mereka memiliki kematangan emosi yang buruk, hubungan dengan ayah dan ibu kurang hangat tapi kedekatan dengan kelompok sangat kuat, bahkan mereka mengaku rela mati demi kelompok geng tidak masalah dan merasa terhormat,” pungkasnya.
Sosiolog UGM, Drs. Soeprapto, S.U., mengatakan aksi klitih terjadi sejak adanya peraturan dari Walikota Yogyakarta yang menindak tegas peserta aksi tawuran dengan ancaman mengeluarkan mereka dari sekolah. Alhasil antar geng sekolah mencarikan musuhnya sendiri dengan melakukan aksi klitih. Lemahnya pengawasan dari orang tua dan sekolah menjadikan pelajar bisa direkrut masuk menjadi anggota kelompok geng yang melakukan perbuatan menyimpang. “Makin melemahnya fungsi keluarga karena orang tua tidak melakukan sosialisasi budaya, nilai dan norma,” ujarnya.
Menurutnya, orang tua diharuskan berperan dalam memberikan perhatian serius dan melakukan pengawasan setiap aktivitas anak selama menempuh pendidikan di bangku sekolah SMA. Soal penegakan hukum, Soeprapto berpendapat penanganan aksi klitih ini tidak bisa selesai hanya sampai pada penegakan hukum pelakunya, namun mengusut tuntas siapa dalang di balik setiap aksi kekerasan klitih yang terjadi di Yogyakarta selama ini, “Jangan hanya sampai pada pelaku, semua ditindak dengan tidak pandang bulu,” katanya. (Humas UGM/Gusti Greheson)
Sumber: https://ugm.ac.id/id/berita/16529-perhatian.orang.tua.diperlukan.untuk.meminimalkan.aksi.klitih
Tautan terkait: