Psikosis pada umumnya merupakan gambaran seseorang yang tengah menderita sakit jiwa. Seseorang yang mengidap ini biasanya mengalami kesulitan membedakan antara kenyataan dan imajinasi.
Diana Setiyawati, M.HSc.Psy., Ph.D, Direktur Center for Public Mental Health (CPMH) UGM mengatakan seorang yang mengidap psikosis terkadang memiliki pikiran dirinya mau dibunuh. Atau dalam kondisi lain, penderita terkadang berbicara sendiri, membayangkan seolah-olah ada seseorang yang mengajaknya bicara.
“Ada juga yang senyum-senyum sendiri, karena memang pikirannya lagi eror seolah ada yang mengajaknya senyum. Ada pula yang jalan-jalan kemana-mana, sehingga biasanya keluarga kemudian memasungnya, maksudnya sayang agar tidak hilang”, ujar Diana Setiyawati, di UC UGM, Jum’at (16/11) saat berlangsung International Workshop on CBT for Psychosys.
Menurut Diana cara-cara pasung semestinya tidak perlu terjadi, karena dengan pemberian obat yang teratur dan psikoterapi para penderita gangguan jiwa bisa kembali normal. Ibarat penderita diabetes, maka seorang yang mau minum obat secara rutin dan menyuntik insulin pada akhirnya akan normal.
“Memasung itu karena keluarga tidak tahu harus diapain, mungkin saking sayangnya takut mereka hilang, takut ngamuk dan sebagainya’, ujarnya.
Diana mengakui pemberian obat sebagai treatmen selama ini memang menjadi pendekatan yang paling diandalkan. Sayangnya, banyak kasus terjadi dimana obat tidak bekerja, sehingga meski sudah diobati pasien kambuh kembali.
Untuk itu, katanya, harus ada ketrampilan yang harus dimiliki yang dapat mencegah para pasien kambuh kembali. Pasien bisa dibantu dengan sebuah pendekatan yang relatif baru, yaitu Cognitive Behavioral Therapy untuk Psikosis (CBT-P).
CBT-P ini merupakan metode yang berfokus untuk meluruskan pemikiran yang keliru. Metode ini belum begitu popular di Indonesia, namun sudah banyak dipergunakan di luar negeri.
“Dikatakan baru, karena selama ini CBT dipergunakan bukan untuk pasien psikosis, namun untuk orang-orang yang mengalami depresi atau cemas. Mumpung ada kolega yang memiliki ahli dibidang ini, maka kita ingin agar mereka mentraining para klinisi kita”, ujar Diana.
Disebutkan jumlah penderita psikosis di Indonesia cukup tinggi. Data Riskesdas tahun 2013 menunjukan 1,7 per 1000 rumah tangga dijumpai penderita psikosis. Jumlah ini di tahun 2018 meningkat cukup tajam, yaitu 7 per 1000 rumah tangga.
“Angka yang meningkat, dimana dalam setiap 1000 rumah tangga ada 7 sakit jiwa berat. Angka ini tentu lebih banyak daripada penderita kanker. Kita berharap dengan metode ini para penderita akan sembuh dan normal kembali”, katanya.
International Workshop on CBT for Psychosys yang digelar Fakultas Psikologi UGM dalam rangka memperingati hari kesehatan jiwa sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2018. Workshop bertujuan untuk membuat cognitive behavioral therapy (CBT) untuk psikosis lebih mudah diakses oleh dokter di seluruh dunia.
Selain itu, workshop sebagai wujud dukungan terhadap keinginan Indonesia bebas dari pasung. CBT adalah terapi yang dipelajari secara teliti dan diperbarui secara konsisten, dan CBT untuk psikosis adalah salah satu perkembangan terbaru.
“Kegiatan ini tentu sangat penting bagi para dokter, karena ada kebutuhan besar untuk intervensi untuk psikosis yang akan dikembangkan di Indonesia, mengingat beban yang signifikan pada pasien dan keluarga. Ini terbukti masih adanya cara-cara pemasungan orang-orang dengan gangguan mental. Intervensi yang efektif dan memberdayakan untuk psikosis akan sangat mendukung aktualisasi Gerakan Bebas Pasung di Indonesia”, imbuhnya.
Workshop digelar dengan topik-topik seperti pencegahan dini, stigmatisasi dan efektivitas CBT. Materi lainnya adalah melakukan kontak, rencana perawatan dan tujuan, intervensi CBT spesifik dan kelompok CBT. Tiga pakar luar negeri yang dihadirkan adalah Prof. dr. Marieke Pijnenborg (Psikologi Klinis, Universitas Groningen), Dr Nynke Boonstra (NHL Stenden University of Applied Science), dan Prof. dr. Theo Bouman (Psikologi Klinis, Universitas Groningen). (Humas UGM/ Agung)