Psikologi forensik merupakan bidang yang baru di Indonesia bahkan dunia. Di berbagai negara tidak banyak yang mengakui profesi psikologi forensik sebagai profesi yang penting. Namun, seiring berjalannya waktu bidang psikologi forensik semakin dibutuhkan terutama dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum dan keadilan sosial.
Hal itu diungkapkan oleh pakar psikologi forensik dari Maastricht University, Prof. Dr. Corine de Ruiter, pada kuliah umum di ruang Auditorium G-100, Fakultas Psikologi UGM. Kuliah umum tersebut mengusung tema “Psikologi Forensik dalam Upaya Penegakan Hukum”. Tak kurang dari 150 peserta hadir pada acara yang dilaksanakan pada hari Rabu (30/1) atas kerjasama Fakultas Psikologi UGM dengan Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR).
Corine menjelakan bahwa psikologi forensik merupakan bidang yang berkaitan erat dengan hukum. Hal-hal seperti persidangan, polisi, perlindungan wanita dan anak akan menjadi hal yang biasa dihadapi oleh orang yang berkecimpung pada bidang ini.
Hal tersebut yang membuat bidang psikologi forensik menjadi sangat menantang karena selain harus menguasai bidang psikologi, seorang ahli psikologi forensik juga harus menguasai bidang hukum seperti mengetahui tentang undang-undang, paham mengenai aparat hukum, memiliki banyak referensi mengenai literatur ilmiah yang berhubungan dengan tindak kejahatan dan kriminal, serta harus paham dengan instrument forensik dan cara penggunaannya.
“Pekerjaan di bidang psikologi forensik harus disertai dengan tanggungjawab tinggi dikarenakan kesaksian dari psikologi forensik dapat menentukan nasib hidup seseorang, apakah seseorang itu dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum atau bahkan tidak terbukti bersalah sama sekali oleh pengadilan. Oleh karena itu asesmen yang dilakukan oleh psikologi forensik harus sangat objektif dan dijaga kerahasiaannya”, jelas Corine.
Selain Prof. Dr. Corine de Ruiter, kuliah umum ini juga mendatangkan Nathanael E.J. Sumampouw, M.Psi., M.Sc, atau lebih sering dikenal dengan sapaan mas Nael, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sekaligus pakar psikologi forensik Indonesia.
Nael menjelaskan bahwa peran psikologi forensik di Indonesia mulai diperhitungkan terutama dalam membantu menyelesaikan kasus yang membutuhkan pakar dari bidang psikologi di persidangan, dalam hal ini diwakili oleh psikologi forensik.
Pada akhir sesi Nael mengajak mahasiswa khususnya mahasiswa psikologi untuk melakukan penelitian di bidang psikologi forensik. “Indonesia butuh banyak riset psikologi forensik agar Indonesia punya banyak pakar psikologi forensik sehingga nantinya banyak kolega yang bersedia untuk melakukan riset bersama”, jelas Nael. (Humas Psikologi UGM/Jehna)
“Manusia tanpa interaksi sosial dapat menimbulkan masalah. Lemahnya relasi sosial dapat menyebabkan bekembangnya demensia,” ujar Yohanes Heri Widodo, Mahasiswa S3 Ilmu Psikologi UGM pada ujian terbuka untuk meraih Derajat Doktor pada Selasa (29/1) di Auditorium G-100 Fakultas Psikologi UGM.
Lebih lanjut, Heri menyatakan bahwa dukungan sosial diperlukan untuk mencegah hal tersebut. Menurutnya, konsep ini sejalan dengan pola kehidupan bertetangga masyarakat Indonesia yang terkenal komunal, terutama di area perkampungan.
Akan tetapi, dengan berjalannya waktu, Heri menyebut bahwa masalah muncul ketika relasi komunal mulai bergeser menjadi relasi non-komunal seiring dengan juga bergesernya bentuk pemukiman dari pedesaan menjadi perumahan seperti di perkotaan. Berdasarkan Clark & Milis (2011), relasi komunal lebih sehat secara psikologis dibanding relasi non-komunal atau yang bisa disebut pula relasi pertukaran sosial.
“Semakin banyaknya relasi non komunal membawa konsekuensi melemahkan interaksi dan interdepedensi kehidupan bertetangga yang berdampak negatif terhadap psikologis dan fisik bagi individu-individu di dalamnya,” sebutnya.
Heri menjelaskan bahwa pada masyarakat komunal pola dukungan sosial menjadi lebih sederhana karena tiap individu dipastikan saling mengenal, kebersamaan sangat menonjol bahkan menjadi kedekatan, serta pola relasi resiprositas muncul dan bekembang dengan lancar. Sedangkan pada masyarakat non-komunal karena tidak semua individu saling kenal pola yang sama terjadi, namun cenderung lebih kompleks dan tidak terlalu kuat.
Perbedaan ciri tersebut, menurut Heri, membuat perbedaan pula pada cara pandang kedua jenis masyarakat terhadap dukungan sosial. “Masyarakat komunal menganggap dukungan sosial sebagai bagian dari interdependensi yang memunculkan adanya jaminan dan rasa aman, sementara masyarakat non-komunal menganggapnya secara fungsional dalam konteks individual,” terangnya.
Selain itu, Heri menjabarkan bahwa kebutuhan akan rasa aman ditafsirkan secara berbeda oleh kedua jenis masyarakat. Masyarakat non-komunal mendapat rasa aman didapat dari adanya pagar rumah, sementara masyarakat komunal didapatkan dari relasi yang dibangun dengan tetangga sekitarnya.
Heri menemukan dalam penelitian Landman (2010) bahwa pembatasan yang dibuat masyarakat non-komunal semacam itu tidak hanya akan berdampak negatif terhadap pada keberlanjutan relasi dengan masyarakat di luar perumahan. Namun, hal itu juga berdampak pada mereka yang tinggal di dalamnya.
“Individu yang tidak mendapat dukungan sosial yang memadai akan meningkatkan depresi dan stres dalam dirinya. Sebaliknya, ketika mendapat dukungan sosial yang cukup, individu akan menjalani kehidupan dengan lebih positif sehingga lebih sehat tidak hanya secara psikologis, namun juga fisik,” pungkas dosen Prodi Bimbingan Konseling Universitas Sanata Dharma itu. (Humas UGM/Hakam)
Tim mahasiswa Pecinta Alam Psikologi (Palapsi) UGM siap mengarungi sungai-sungai di sepanjang pegunungan Alpen Eropa.
Rencananya mereka akan melakukan pengarungan pada bulan September 2019 mendatang. Dalam ekpsedisi bertajuk 2019: A Journey Under The Alps, Palapsi akan mengirimkan lima anggotanya untuk menaklukan derasnya sungai di Pegunungan Alpen.
Kelima mahasiswa tersebut Giri Putra R, Muhammad Adzkia F, Muhammad Nabhan H, Muhammad Fadhil R, dan Dita Marfuah.
Project Officer XPDC 2019, Luthfi, mengatakan mereka akan melakukan pengarungan menggunakan kayak selama dua hingga tiga hari. Nantinya mereka akan menghadapi medan yang berat karena sungai yang akan dilalui memiliki karakter yang berbeda dengan sungai-sungai yang ada di Indonesia.
“Sungainya berbeda dengan di Indonesia, bentukan sungai sempit ditambah suhu yang dingin menjadi tantangan dalam pengarungan mendatang,” tuturnya, Kamis (24/1).
Guna mempersiapkan pengarungan di Eropa tersebut, mereka telah menjalani serangkaian latihan rutin sejak awal tahun 2018. Salah satunya melakukan latihan pengarungan di sejumlah sungai yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah, seperti Sungai Elo, Sungai Progo, serta Sungai Serayu.
“Setiap akhir pekan dalam training center, para atlet turun sungai sebagai proses pematangan keterampilan dan kompetensi,” jelasnya.
Dalam ekspedisi di Eropa mendatang, tim Palapsi tidak hanya akan melakukan pengarungan saja. Mereka juga akan melakukan riset tentang psikologi budaya dan sosial masyarakat Eropa yang hidup di sekitar sungai. Selain itu, juga akan mengadakan audiensi dengan komunitas kayak di Eropa untuk mempromosikan wisata sungai di Indonesia.
“Kegiatan ini tidak hanya untuk memperkenalkan kegiatan kayak pada masyarakat Indonesia, tetapi juga sekaligus untuk mempromosikan kepada dunia tentang keindahan sungai-sungai Indonesia,” pungkasnya.
Sebelumnya, tim Palapsi UGM juga telah berhasil menjalankan ekspedisi kayak di Selandia Baru pada tahun 2015 silam. Dalam ekspedisi bertajuk “Spirit of Kiwi Kayaking” tersebut tim Palapsi UGM sukses menaklukan ganasnya arus diantara tebing yang tinggi dan curam di sungai-sungai Selandia Baru. (Humas UGM/Ika)
Indonesia saat ini masih kekurangan tenaga ahli di bidang psikologi forensik. Sementara di setiap persidangan yang menangani kasus kriminal, korupsi dan terorisme, dibutuhkan masukan dari tenaga ahli forensik untuk menjadi pertimbangan para hakim dalam menjatuhkan putusan akhir.
Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi, Psikolog, menuturkan saat ini terdapat 300 anggota asosiasi psikologi forensik yang jumlahnya masih sangat terbatas dibandingkan jumlah kasus yang harus ditangani atas permintaan pihak aparat hukum. Ia menyebutkan untuk kasus teroris saja, pihaknya sudah menangani 200 kasus terorisme.
“Sekitar 200 terduga pelaku teroris yang kita rekomendasi, apakah mereka termasuk memiliki tingkat radikal yang tinggi atau tidak sehingga perlu atau tidak dilakukan deradikalisasi atau memang harus diisolasikan ke lapas,” kata Reni kepada wartawan di sela-sela kegiatan workshop Asesmen Psikologi Forensik Dalam Praktik: Studi Kasus yang diselenggarakan Fakultas Psikologi UGM bekerja sama dengan APSIFOR di ruang seminar Fakultas Psikologi UGM, Selasa (29/1).
Selain kasus teroris, kata Reni, pihaknya juga diminta bantuan untuk melakukan analisis psikologi forensik untuk terduga dan tersangka kasus korupsi. Sejak 2010 lalu, sedikitnya 50-an kasus korupsi yang sudah ditangani. “Sejak kasus AU hingga SN, kita rutin membantu untuk memberikan analisis rekomendasi,” ujarnya.
Menurut Reni, analisis dan rekomendasi dari tim ahli psikologi forensik sebagian sudah menjadi rujukan para hakim dalam menentukan putusan di persidangan. “Syukur alhamdulillah, rekomendasi para ahli kita cukup didengar oleh hakim,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga banyak memenuhi permintaan bantuan untuk menangani kasus lain, seperti kasus pembunuhan, pencabulan hingga kasus perkosaan. Menurut Reni, meski ia mengapresiasi langkah pihak kepolisian dan kejaksaan yang meminta bantuan mereka dalam menanganai kasus, ia mengakui keterbatasan jumlah anggota asosiasi masih ada sehingga tidak semua permintaan tersebut bisa terpenuhi. “Tidak jarang banyak kasus dalam satu bulan harus ditangani dengan orang yang sama,” katanya.
Keterbatasan tenaga psikologi forensik ini diakui Reni disebabkan tidak adanya lembaga pendidikan formal yang khusus mencetak tenaga psikologi forensik, padahal bidang ini memiliki keterampilan tertentu. Menurut Reni selama ini anggota asosiasi merupakan para psikolog yang telah mendapat sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. “Meski tidak ada pendidikan formal, tidak jadi maslah yang penting kode etik psikologi selalu dikedepankan dengan mengikuti uji kompetensi dan pelatihan,” katanya
Pakar Psikologi Forensik dari Maastrich University, Prof. Corine De Ruiter, Ph.D., mengatakan bidang profesi psikologi forensik merupakan bidang pekerjaan baru di dunia. Di berbagai negara, menurutnya, tidak mudah menempatkan profesi ini dalam daftar profesi yang dianggap penting dalam penanganan sebuah kasus hukum.
Di Belanda, kata Corine, saat ini rekomendasi tim tenaga psikologi forensik menjadi bahan pertimbangan bagi para hakim sebelum menentukan putusan akhir bagi tersangka di persidangan.”Peran dan rekomendasi para psikologi forensik didengar untuk masukan bagi hakim apalagi pekerjaan mereka ada payung hukumnya,” kata Corine.
Di negaranya, kata Corine, setiap terdakwa yang akan dijebloskan ke lapas atau dikirim ke rumah sakit jiwa sangat bergantung dari rekomendasi tim psikologi forensik.
Meski tidak mengetahui lebih jauh pekembangan dan peran para tenaga psikologi forensik di Indonesia, Corine mengapresiasi dengan adanya asosiasi tersebut yang kini sudah memberikan peran di setiap kasus di persidangan, bahkan didengar masukannya bagi para hakim. Untuk mendapatkan perlindungan payung hukum dan mendapat pendidikan formal bagi profesi ini, menurutnya, sangat diperlukan oleh profesi ini di kemudian hari. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Gangguan kecemasan bisa menyerang siapa saja. Rasa khawatir ini bisa dengan mudah dialami banyak orang, termasuk mahasiswa.
Tidak sedikit mahasiswa yang mengalami kecemasan sosial saat menjalani masa kuliah. Dampak yang muncul akibat rasa cemas sangat berpengaruh terhadap kehidupan mahasiswa.
Sejumlah penelitian menyebutkan dampak kecemasan pada mahasiswa antara lain memengaruhi kemampuan mengingat, penyesuaian diri di perguruan tinggi yang rendah, performansi akademik yang buruk, bahkan hingga putus kuliah. Selain itu, juga berdampak pada hubungan sosial, kesuksesan pekerjaan, pendidikan, serta aktivitas lainnya.
Kecemasan sosial merupakan sindrom cemas saat berada dalam situasi sosial. Banyak faktor yang berperan terhadap berkembangnya kecemasan sosial.
“Salah satunya konstrual diri sebagai faktor terkait budaya berkontribusi terhadap tinggi rendahnya kecemasan sosial melalui efikasi diri dan strategi regulasi emosi,” ungkap Cahyaning Suryaningrum, Selasa (29/1) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Psikologi UGM.
Konstrual diri merupakan sikap seseorang menempatkan diri dalam hubungannya dengan orang lain didasarkan pada asumsi-asumsi yang berlaku dalam budayanya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang ini menyampaikan konstrual diri interdependensi juga berpengaruh terhadap tingginya tingkat kecemasan sosial melalui efikasi diri dan supresi. Selain itu, konstrual diri indepensi juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kecemasan sosial melalui efikasi diri dan strategi penilaian kognitif.
Hasil penelitian Cahyaning terhadap 341 mahaisswa di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa juga menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak berperan sebagai penentu efek mediasi efikasi diri. Hal tersebut berlaku baik pada pengaruh konstrual diri maupun independensi terhadap kecemasan sosial. (Humas UGM/Ika)
Komunikasi risiko masih menjadi persoalan dominan di Indonesia karena efektivitas menajemen risiko sering terhambat oleh adanya kesenjangan persepsi risiko antara publik dan otoritas. Kesenjangan dapat diatasi dengan memahami bagaimana individu menilai risiko. Sementara kondisi geografis Indonesia yang rawan terhadap bencana alam masih memengaruhi persepsi individu dan masyarakat soal isu perubahan iklim global sebagai risiko yang nyata, meskipun belum tentu ditindaklanjuti dengan tindakan antisipatif karena ada risiko-risiko lain yang harus diperhatikan.
Hal itu dikemukan oleh Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Aquilina Tanti Arini, saat mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Psikologi UGM, Senin (28/1). Aquilina mengatakan penelitiannya yang mengulas pengaruh teori kultural pandangan dunia terhadap persepsi risiko perubahan iklilm global, membuktikan bahwa dalam satu risiko perubahan iklim global terdapat beberapa dimensi risiko yang menjadi perhatian setiap isu pandangan global.
Ia menerangkan, penyajian infromasi yang dikemas dengan cara tertentu dapat menonjolkan risiko sesuai dengan pandangan global. Informasi dapat dikemas bisa berisiko untuk mendukung atau mengancam kesejahteraan pribadi (individualisme), kesejahteraan kolektif (egalitarianisme), norma sosial dan tradisi (hierarki), serta pemberdayaan (fatalisme).
Ia menambahkan individualisme umumnya merupakan kultur yang banyak diadopsi oleh orang muda atau laki-laki. Adapun hierarki kebanyak terjadi banyak pada orang tua. Lalu egalitarianisme terjadi pada usia yang lebih tua, berpendidikan tinggi dan kaum perempuan. “Sedangkan fatalisme banyak terjadi pada usia muda atau kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah,” katanya.
Studi ini memberikan bukti baru tentang hubungan fatalisme dan persepsi risiko perubahan iklim global. Sebab, fatalisme cenderung skeptis dengan risiko. Bahkan, memiliki hubungan negatif dengan persepsi risiko perubahan iklim global. Ketidakberdayaan fatalisme, menurutnya, kemungkinan berkaitan dengan perhatian selektif mereka terhadap informasi bencana alam yang disampaikan oleh ilmuwan baik yang pro maupun kontra. “Ketidakberdayaan biasanya tercermin dalam sikap skeptis dan apatis,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Komunikasi orang tua dengan remaja terkait pacaran berpengaruh langsung terhadap perilaku berpacaran remaja.
Hal ini diutarakan oleh Farida Harahap saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Senin (28/1) di Fakultas Psikologi UGM.
“Komunikasi orang tua terbukti masih sangat dibutuhkan remaja karena secara langsung memengaruhi perilaku berpacaran remaja,” ujarnya.
Perilaku berpacaran remaja pertengahan yang berusia 15-18 tahun, menurutnya, berada pada tahap perkembangan hubungan romantis remaja yang bersifat intimasi.
Pada tahap tersebut, perilaku berpacaran remaja adalah melakukan interaksi bersama dengan pacar (couple dating) sehingga kegiatan dilakukan bersifat romantis, yaitu kegiatan merayu atau mengucapkan kata-kata sayang, berkencan, dan intimasi fisik.
“Perilaku berpacaran berpasangan atau couple dating pada remaja pertengahan ini sudah memasuki tahap perilaku berpacaran seperti pada tahap akhir remaja yaitu berfokus pada keintiman dengan pasangan,” terang Farida.
Ia menjelaskan, komunikasi orang tua yang diterima remaja secara positif berkaitan dengan konteks, yaitu bagaimana orang tua mengondisikan dirinya menjadi lebih meyenangkan untuk berkomunikasi, serta frekuensi, yaitu seringnya orang tua berkomunikasi dengan remaja mengenai pacaran.
Ketiadaan keduanya menyebabkan komunikasi orang tua tidak tepat waktu serta tidak bersifat membimbing karena norma, sikap, dan aturan orang tua tidak tersampaikan.
Selain orang tua, teman sebaya juga berpengaruh terhadap perilaku romantis remaja yang berpacaran melalui sikap, kontrol perilaku yang dipersepsi, dan intensi berpacaran, meski pengaruhnya lebih kecil dibandingkan dengan komunikasi orang tua.
Teman sebaya berpengaruh tidak langsung terhadap tinggi rendahnya perilaku berpacaran remaja melalui sikap terhadap pacaran, kontrol perilaku eksternal, dan intensi berpacaran.
“Perilaku teman sebaya yang dianggap berpengaruh oleh remaja adalah norma injunktif atau sikap teman sebaya,” imbuhnya.
Melihat hasil temuan ini, orang tua perlu meningkatkan konteks dan frekuensi komunikasi, termasuk jika perlu orang tua dapat menerima pendampingan untuk komunikasi tersebut.
Remaja yang berpacaran perlu memahami tahap perkembangan hubungan romantis remaja sehingga mengetahui apa yang terjadi selama menjalani hubungan romantisnya serta pengetahuan apa yang dibutuhkan untuk mencapai tugas-tugas perkembangan, seperti identitas diri, intimasi yang sehat, pengelolaan emosi, serta bagaimana menjaga diri untuk tidak melakukan perilaku berpacaran yang intens dan intim yang bisa mendorong ke arah perilaku berpacaran yang berisiko.
Guru Bimbingan Konseling serta pihak sekolah juga perlu memberikan pendampingan pada remaja yang berpacaran mengenai relasi yang sehat dalam berpacaran dan pendidikan seksual dalam rangka menjaga diri dari perilaku berpacaran yang berisiko. (Humas UGM/Gloria)
Puteri Indonesia merupakan kontes kecantikan yang diselenggarakan setiap tahun oleh Yayasan Puteri Indonesia. Kandidat Puteri
Indonesia disaring dari provinsi-provinsi yang ada di Indonesia, salah satunya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Brain, Beauty, and Behavior merupakan slogan utama dalam memilih kandidat yang akan diajukan sebagai perwakilan Indonesia pada kegiatan serupa bertaraf internasional.
Kontes Puteri Indonesia DIY 2019 telah dilaksanakan pada tanggal 13 Januari 2019 di Atrium Hartono Mall Yogyakarta. Dua puluh satu puteri mengikuti rangkaian seleksi yang terdiri dari seleksi public speaking, modelling, dan pengalaman aksi sosial. Penghargaan yang diberikan dalam acara tersebut diantaranya Top 3 (yang mewakili DIY dalam ajang nasional), Puteri Intelegensia, Puteri Persahabatan, Puteri Berbakat, dan Puteri Favorit.
Zahwa Islami, merupakan salah satu kontestan yang merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia berhasil meraih gelar Puteri Indonesia Intelegensia DIY 2019. Gelar tersebut merupakan sebuah penghargaan dari kecerdasan Zahwa menjawab pertanyaan, pengalaman prestasi, serta aksi sosial yang nyata.
Walaupun Zahwa maju dengan tinggi badan yang hanya 161 cm dan busana hijabnya, ia tetap mampu menunjukkan bahwa arti cantik tidak hanya pada tampilan fisik melainkan dari kecerdasan dan aksi nyata. Tentu ini menjadi sebuah pencapaian tersendiri dan kebanggaan bagi para peserta lain yang merasa terwakilkan melalui kemenangan Zahwa.
Menurut Zahwa terdapat tiga semangat juang yang ia deklarasikan sebagai motto hidupnya saat perkenalan di awal acara. Hal tersebut lahir dari pengalaman serta pembelajaran yang dilalui sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UGM. Tiga semangat itu diantaranya Empati, Aksi, dan Arti. Empati ada dikala melihat sebuah permasalahan dari berbagai kaca mata, sehingga terhindar dari kesalahpahaman dan bersumber dari hati nurani. Aksi adalah hasil dari sebuah renungan empati yang memberikan kontribusi nyata pada sesama. Dan Arti ada dikala aksi dan empati yang bersumber dari hati serta ketulusan mampu memberikan inspirasi dan semangat untuk berjuang bersama.
Zahwa merasa pencapaiannya ini juga berkat dukungan berbagai pihak yang selama ini ia terima, “terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk terus berprestasi di akhir masa-masa perkuliahan. Kepada orangtua dan sahabat yang telah memberikan dukungan serta kasih sayang selama berlaga di kontes Puteri Indonesia. Dan juga kepada Fakultas Psikologi UGM yang telah memberikan banyak pengalaman serta sudut pandang untuk melihat keberagaman yang harmonis” ucap Zahwa.
Bencana alam tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018 lalu di Banten dan Lampung Selatan menelan cukup banyak korban. Tak kurang dari 400 jiwa meninggal dunia akibat bencana alam yang disebabkan oleh erupsi gunung Anak Krakatau ini. Sejak tsunami terjadi, banyak bantuan dan dukungan datang untuk para korban. Universitas Gadjah Mada (UGM) juga turut serta memberikan bantuan dengan mengirimkan para relawan untuk membantu korban tsunami yang selamat dari bencana. Relawan UGM yang diterjunkan merupakan gabungan dari beberapa kelompok relawan yaitu Departemen Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) UGM, DERU UGM dan Repsigama.
Relawan yang diterjunkan sebanyak 17 orang ini berasal dari berbagai fakultas di UGM, diantaranya dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK), Fakultas Farmasi, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sekolah Vokasi dan Fakultas Psikologi.
Para relawan akan terjunkan di daerah Dusun Kenali, Desa Sukaraja, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada tanggal 22 Januari 2019. Mahasiswa Fakultas Psikologi yang ikut dalam kelompok relawan ini adalah Kusuma Amir, Dandi Dwi Prasetyo, Saktya Hirmadhana, Hasan Rais Umam, Akhi Rizqi Satyawan, Dimas Bayu Nugroho, Maryam, Alaidama Noutika Widodo, Adella Savira, Hakam Aji Ramadhan, dan Muhammad Nabhan Husein.
Selama kurang lebih 10 hari para relawan akan berada di Dusun Kenali membantu para korban bencana tsunami terutama dalam hal pemulihan keadaan psikis dan penanganan trauma pasca bencana. Kegiatan yang akan dilakukan para relawan dari Fakultas Psikologi diatranya adalah Training of Trainers (TOT) mengenai Psychological First Aid (PFA), pemberian materi mitigasi bencana, outbound, PHBS, pelatihan kerajinan, konseling kelompok sederhana, TPA, olahraga bersama, program untuk anak-anak seperti kolase, dongeng, bermain plastisin, origami. (Humas Psikologi UGM/Jehna)
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan acara pengambilan sumpah profesi dan pelepasan wisudawan program pascasarjana pada 23 Januari 2019. Jumlah lulusan dari Program Magister Psikologi Profesi sebanyak 16 psikolog dengan rincian 3 pria dan 13 wanita. Jumlah lulusan dari Magister Psikologi sebanyak 18 ilmuwan dengan rincian 2 pria dan 16 wanita. Hingga saat ini, keseluruhan lulusan pascasarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada berjumlah 2.755 orang.
Pada Program Magister Psikologi Profesi, Indeks Prestasi Kumulatif tertinggi adalah 3,82 diraih oleh I Gede Indra Surya Lasmawan sekaligus berpredikat cumlaude. Selain Hanif predikat cumlaude juga diraih oleh Putu Aninditha Veera Lakshmi, Ida Ayu Karina Putri, dan Fatiya Halum Husna. Pada periode ini, terdapat 10 lulusan berpredikat sangat memuaskan dan 2 orang berpredikat memuaskan. Masa studi terpendek 2 tahun 1 bulan diraih oleh Putu Aninditha Veera Lakshmi dan Subekti Azis Biyantara.
Beralih ke Program Magister Psikologi, Indeks Prestasi Kumulatif tertinggi adalah 3,77 yang diraih oleh Alma Marikka Geraldina sekaligus berpredikat cumlaude. Pada periode ini, terdapat 13 lulusan berpredikat sangat memuaskan dan 4 orang berpredikat memuaskan. Untuk masa studi terpendek 1 tahun 10 bulan diraih oleh Indah Andika Octavia.
Fakultas Psikologi memberikan penghargaan kepada Putu Aninditha Veera Lakshmi dan Rizky Triandina Putri sebagai lulusan dengan naskah publikasi tesis terbaik. Putu melakukan penelitian tentang “Career Success Reviewed from Perception of Career Development and Career Commitment on Millennial Workers” di bawah bimbingan Dr. Sumaryono, M.Si. Sedangkan tesis milik Rizky berjudul “Peran Religiusitas, Kematangan Emosi dan Komitmen terhadap Kepuasan Pernikahan Suami Istri Generasi Milenial” bimbingan Dr. Budi Andayani, MA.
Selamat dan sukses.